Rabu, 25 Juli 2007

DIlema Nasibmu, Hai Calon Independen

Rabu, 25/07/2007 15:10 WIB
Catatan Redaksi
Dilema Nasibmu, Hai Calon Independen
Cetak E-mail
Syukri Rahmatullah - Okezone

ukay.jpgTAK disangka, itulah yang dirasakan banyak kalangan setelah mendengar Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengizinkan calon independen ikut di dalam Pilkada.

Bukan hanya kalangan nonpartisan, pejabat teras partai politik juga kaget mendengar keputusan MK dalam uji materi UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah Senin 23 Juli.

Namun, keterkejutan kalangan nonpartisan dengan partisan tentu jauh berbeda. Kalangan nonpartisan melihat putusan MK ini sebagai kemajuan yang cukup progressif dalam proses pemilihan di Indonesia. Sedangkan, bagi kalangan partisan, keputusan ini tentu saja ancaman serius bagi kelanggengan masa depan partai.

Keputusan MK mengizinkan calon independen bisa maju bukan berarti serta-merta, dibutuhkan revisi dari pemerintah dan DPR terhadap undang-undang No 32 tahun 2004 mengenai Pemerintah Daerah (Pemda). Disinilah, jalur independen akan mengalami “tembok besar”.

Seperti diketahui, ajang pilkada merupakan “surga” bagi partai politik. Setiap calon akan berlomba-lomba melakukan lobi, mengerahkan jaringan hingga keuangan agar direstui parpol untuk maju sebagai calon. Sebab di dalam UU No 23/2004 -sebelum keputusan MK- hanya parpol yang punya hak untuk mengajukan calon.

Akibatnya, banyak kasus money politic yang muncul. Kita tentu masih ingat mundurnya almarhum Nurkholis Madjid dari Konvensi Partai Golkar di tahap awal. Cak Nur mengaku mundur, karena setiap keliling ke basis Golkar selalu ditanyakan “gizi” oleh pengurus arus bawah Golkar.

Cerita lain muncul dari Pangdam Jaya Mayjen (Purn) Slamet Kirbiyanto yang gagal dicalonkan PDIP dan PPP untuk menjadi cawagub dari Fauzi Bowo di Pilkada Jakarta. Dia mengaku menghabiskan uang Rp3 miliar untuk PDIP dan PPP agar direstui sebagai cawagub.

Bahkan calon lainnya, juga melakukan hal serupa. Tercatat di media, Mayjen (Purn) Edi Waluyo habis Rp4 miliar, Mayjen (Purn) Djasri Marin Rp2,5 miliar, dan Mayjen (Purn) Asril Tandjung Rp3,7 miliar. Ini baru calon yang gagal, bagaimana jika cagub yang berhasil dicalonkan, berapakah biaya yang dihabiskan?

Melihat besarnya uang yang hilir mudik saat pilkada, tentu sangat sulit bagi parpol untuk legowo membiarkan calon pilkada melalui jalur independen. Maka. Perlawanan keras dari DPR dan pemerintah pasti akan terjadi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi ini.

Minimal, syarat calon independen akan dibuat sangat sulit, sehingga membuat semakin sedikitnya orang yang akan mendaftar dan lolos verifikasi persyaratan.

Tetapi, jika dilihat secara bijak. Menguatnya calon independen sebenarnya tak lepas dari rusaknya manajemen partai politik dalam menjalankan roda demokrasi baik di internal maupun eksternal parpol. Sehingga banyak kader yang mumpuni terabaikan begitu saja dan parpol memilih mencalonkan tokoh yang berduit.

Kemudian, apakah keputusan MK ini menjadi semangat bagi parpol untuk mengevaluasi diri dalam menerapkan demokrasi di partainya atau justru menjadikannya sebagai musuh, sehingga harus dilenyapkan semaksimal mungkin. Kita lihat saja nanti … (*)