Selasa, 25 September 2007

“Kesejahteraan” Pemicu Bentrokan TNI-Polri

Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menyebut kesejahteraan sebagai pemicu seringnya terjadi bentrokan hingga saling tembak antara anggota TNI-Polri di lapangan, seperti yang terakhir terjadi di Ternate. Dalam kejadian ini 2 polisi tewas dan beberapa anggota TNI-Polri luka-luka.

Tidak dijelaskan, apakah kesejahteraan yang dimaksud adalah gaji prajurit yang masih dianggap belum cukup atau “kesejahteraan” lain.

Penulis sendiri mencatat melihat ada beberapa masalah “Kesejahtaraan” yang diduga sebagai pemicu bentrokan TNI-Polri yang sering terjadi paskareformasi ini.

Pertama, semenjak Polisi berpisah dari dwifungsi ABRI, polisi kerap kali menjadi “anak emas”. Bayangkan saja, berapa banyak bantuan internasional dari Amerika, Australia dan negara-negara lain terhadap polisi, khususnya dalam program terorisme, dalam bentuk Detasemen 88.

Konon, tekhnologi yang dimiliki Detasemen 88 lebih canggih, ketimbang alusista yang dimiliki TNI, karena disuplai dari negara-negara maju. Bahkan banyak yang menyebut, pasukan detasemen 88 merupakan pasukan elit Polisi.

Sementara TNI dilarang membeli dan memakai senjata dari Amerika, karena dinilai melanggar HAM dalam kasus Tim-tim dan yang terakhir penembakan di Alas Tlogo.

Kedua, masalah otoritas TNI-Polri. tiga angkatan TNI memiliki satu Panglima yang berada langsung di bawah Presiden. Sedangkan Polisi yang hanya satu angkatan saja memiliki Kapolri yang langsung berada di bawah Presiden.

Makanya kemudian timbul RUU Kamnas yang bertujuan memasukkan Polisi di bawah salah satu departemen. Tapi, sampai saat ini Polri masih ngotot untuk berada langsung di bawah Presiden, dengan alasan khawatir kembali ke masa Orde Baru.

Kalau dulu, jika ada sanak famili ditangkap polisi, tinggal bawa keluarga yang menjadi anggota TNI, khususnya marinir atau PM ke kantor polisi, maka urusan jadi beres. Tapi, polisi sekarang tidak akan membiarkan hal itu, terjadi, karena polisi sudah merasa sejajar bahkan lebih tinggi dari TNI.

Ketiga, meskipun tidak diakui tapi nyata, yaitu pemasukan sampingan. Bisnis sampingan menjadi backing diskotik, hotel, panti pijat, perjudian hingga peredaran miras, dulu pasti masuk ke kantong Danramil, Danrem, dan Kodam.

Tapi sekarang, sekalipun sudah uang sudah masuk, tapi polisi tetap melakukan razia, jika tidak ada setoran ke Kapolsek atau Kapolres mereka. Sehingga bos-bos hiburan malam, judi, hotel dan sebagainya lebih memilih “memasok” uang ke Kapolsek, Kapolres dan Kapolda agar usahanya aman, ketimbang ke pimpinan TNI setempat.

Ketiga masalah setidaknya menjadi bara yang terus-menerus membakar api kecemburuan TNI terhadap Polri, sehingga sekali saja “senggolan”, maka saling tembak pasti akan terjadi.

Tentu saja, ketiga masalah ini tidak bisa dibenarkan sebagai alasan sehingga TNI dibolehkan menyerang Polri. Dari kejadian ini, TNI-Polri masih dinilai belum menjadi aparat yang professional, menggunakan kewenangannya bukan untuk kepentingan bangsa dan negara, juga menegakkan hukum.

Tapi, menggunakan kewenangannya, khususnya dalam menggunakan senjata untuk kepentingan korps ataupun menggunakan korps untuk kepentingan pribadi, sangat naif!

Sedangkan, jika masalahnya kesejahteraan yang dimaksud adalah gaji prajurit yang masih minim. Dalam catatan anggota Komisi I Gus Choi, sebelum reformasi TNI mendapatkan Rp5 triliun, setelah reformasi meningkat menjadi Rp9 triliun, terus naik menjadi Rp12 triliun.

Pada tahun 2007 ini anggaran TNI Rp32 triliun, tahun 2008 mendatang anggaran menjadi Rp33 triliun.

Melihat kenaikan anggaran ini, sepertinya tidak masuk akal permasalahan kesejahteraan prajurit masih menjadi masalah saja. Jangan-jangan, anggaran untuk TNI tidak dialokasikan untuk kesejahteraan prajurit, tapi untuk kesejahteraan para Jenderal?.

Kronologis

Berdasarkan kronologis versi Polisi,disebutkan kejadian ini diawali Sabtu malam 22 September, terjadi perselisihan Briptu SDM dengan anggota TNI Prada SN yang saat itu bersama warga LT, kejadian ini berujung pengeroyokan terhadap Briptu SDM. Briptu SN akhirnya diserahkan ke Propam, sedangkan LT diserahkan ke Polsek setempat.

Beberapa jam kemudian, pukul 01.30 WIT sejumlah oknum TNI melakukan sweeping dan mendapati Bripda RW yang sedang piket di rumah Wakapolres Ternate diserang oleh pengendara motor, kemudian ditikam hingga tewas.

Pukul 04.30 WIT, sweeping balasan dilakukan oknum polisi di Pelabuhan Bastiong, dalam kejadian ini dua anggota TNI luka dianiaya.

Mendengar temannya dianiaya, sweeping balasan dilakukan Senin pagi pukul 07.30 WIT di dan mengakibatkan 5 anggota polisi luka tembak.

Selanjutnya, pukul 22.15 WIT, seorang anggota Polri bernama Bripda SN dianaya di daerah Bacan.

Hingga Selasa dini hari, aksi sweeping terus berlangsung dan peristiwa terakhir terjadi pukul 01.30 WIT. Anggota Polri Briptu Muchdi dianiaya saat pulang sahur oleh orang tak dikenal hingga meninggal dunia.

Usai buka puasa
Kebon Sirih, Selasa 25 September

Senin, 24 September 2007

Liputan di Padang, Megawati Batal Berkunjung ke Mentawai

JAKARTA – “Bu Mega batal ke Mentawai, ada boikot,” kata seseorang berbisik, saat itu pukul 10.10 WIB, Minggu 23 September atau setengah jam setelah rombongan tiba di Bandara International Minangkabau (BIM), Sumatera Barat dari Jakarta.

Awalnya penulis tidak percaya dan terus mencatat rekaman jumpa pers pernyataan Megawati di ruang VIP Bandara BIM, mengenai bencana dan tujuan kunjungan ke Mentawai.

Tak lama kemudian, perempuan setengah baya, diketahui Wasekjen PDIP Agneta Singedikane mendekati wartawan yang sedang duduk di salah satu sudut ruangan dan langsung berbicara lantang mengungkap adanya larangan tersebut.

Sudut tersebut semakin lama menjadi perhatian seluruh orang yang ada di situ, baik wartawan dari Jakarta, lokal ataupun jajaran pengurus dan aktivis PDIP di Sumatera Barat.

Penulispun, yang saat itu sedang berada di sudut ruang tunggu VIP langsung mencoba mendekat dan memahami apa yang terjadi secara perlahan. Tanpa dikomando, teman-teman wartawan langsung mencoba merunut dengan berkali-kali melontarkan pertanyaan ke Agneta soal pelarangan naik helikopter AU dan AD tersebut.

Hasil wawancara dengan Agneta, sama seperti yang bisa di baca di media-media, baik yang muncul saat itu juga (online media) ataupun di Koran keesokan harinya.

Pembatalan mendadak ini tentu saja mengagetkan seluruh pihak. Sejak berangkat dari Bandara Halim Perdanakusumah, tidak ada kabar ataupun selentingan rencana akan berubah, terkait adanya larangan.

Bahkan, ketika tiba di Bandara dengan disambut Wagub Sumbar Marlis Rahman dan jumpa pers di ruang VIP Bandara, tidak dirasakan sama sekali akan adanya perubahan yang drastis.

Setiba di Bandara, penulis juga sempat bertanya kepada salah seorang PDIP, kenapa kita tidak langsung berangkat? Dengan bercanda dia bilang, “Heli buat Ibu lagi dipanasin, he he he”. Artinya memang tidak ada perubahan situasi.

Setelah pernyataan Agneta, situasi di ruang VIP menjadi “gerah”, meskipun terdapat beberapa AC di ruangan tersebut, rasa panas yang dirasakan beberapa jajaran PDIP tidak dapat disembunyikan.

Danrem 032 Winabraja Kolonel Infanteri Bambang Subagyo dan Danlanud Tabing Padang Kolonel Penerbang Sugiharto yang menyampaikan berita pembatalanpun terlihat serba salah.

Dalam pandangan penulis Sugiharto yang berkulit hitam dan berbadan tegap dengan pakaian biru telur asin ini terlihat menerawang sambil memandang lapangan lapangan terbang, sesekali dia menerima telepon atau menelepon.

Hal yang tidak jauh berbeda juga terlihat dari Subagyo, meskipun membawa tongkat komando, tapi terlihat merasakan beratnya perintah yang diembannya saat itu.

Sesekali teman wartawan berbisik dan mengintip untuk mencoba wawancara kedua orang terkait, tapi raut muka mereka sudah menunjukkan penolakan. Tapi salah seorang wartawan tetap ada yang nekat mendekat dan bertanya-tanya. “Sudahlah jangan diperkeruh,” tepis Sugiharto.

Di dalam ruang VIP I juga terjadi rapat DPD Sumbar bersama Megawati dan jajaran pengurus PDIP. Akhirnya diputuskan, kunjungan tetap dilakukan, tapi ke lokasi yang bisa dijangkau lewat darat, dan dipilihlah Kabupaten Pesisir Selatan.

-------------
Akibat pembatalan penggunaan helikopter membuat seluruh rencana yang sudah dicanangkan pengurus PDIP menjadi batal semuanya. Hal ini juga berakibat pada kepulangan rombongan yang sedianya dijadwalkan pukul 15.00 sudah take off dari Padang dan tiba di Jakarta pukul 16.30 WIB.

Namun, pada pukul 16.30 WIB, rombongan masih dalam perjalanan dari Kampung Sikabu dan baru tiba di kota Painan pukul 17.30 WIB dan terpaksa berbuka puasa di rumah dinas Bupati Kab Pesisir Selatan, Nasrul Abed.

Kemudian baru pada pukul 19.00 WIB, rombongan kembali menempuh perjalanan menuju Bandara Internasional Minangkabau. Dengan jarak tempuh 2,5 jam, pada pukul 21.30 WIB baru tiba di bandara dan take off pukul 22.00 WIB, kemudian tiba di bandara Halim, Jakarta pada pukul 23.30 WIB.

Setiba di Halim, raut muka seluruh rombongan tampak lelah dan kecewa, karena rencana awal tidak terlaksana.

Sebelum pulang, seorang pengurus PDIP berbisik “Tadi, dalam rapat, Ibu Megawati bilang: Makanya jangan sampai kalah lagi, biar gak dikuyo-kuyo seperti ini.”


Jelang Buka Puasa,
Kebon Sirih, Jakarta 24 September.

Selasa, 11 September 2007

Ramadhan dan Perda Larangan Menyumbang si Miskin

Selasa, 11/09/2007 18:12 WIB
Catatan Redaksi
Ramadhan dan Perda Larangan Menyumbang si Miskin
Cetak E-mail
Syukri Rahmatullah - Okezone

SEHARI menjelang awal bulan ramadhan 1428 Hijriyah, Perda Ketertiban Umum yang diusulkan Pemprov DKI Jakarta sudah disetujui DPRD dan tinggal menunggu persetujuan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Sekilas kata-kata ketertiban umum adalah sebuah upaya untuk menertibkan sesuatu yang buruk yang ada di masyarakat umum, sehingga patut diapresiasi oleh masyarakat.

Namun, kedua mata kita langsung terbelalak setelah membuka lembar demi lembar isi dari pasal-pasal di dalam perda tersebut. Bagaimana tidak, pasal-pasal di dalam perda tersebut melarang sesuatu dari berbagai tiga segi dari hulu hingga hilir.

Benar jika yang dimaksud, adalah permasalahan prostitusi seperti disebutkan di pasal 42 ayat 2: Setiap pemasok prostitusi, penjaja prostitusi dan pengguna jasa prostitusi dilarang dan disanksi dengan tegas. Begitu juga dengan narkoba dan hal negatif lainnya. Meskipun penulis sendiri tidak yakin upaya tersebut berhasil mengatasi masalah-masalah yang disebut di atas.

Namun, bagaimana jika mengatasi persoalan pengemis, pedagang asongan, pengamen dan pedagang kaki lima? Di dalam Perda ketertiban umum ini, pasal 40 disebutkan: Setiap orang atau badan dilarang: A. Menyuruh orang lain menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil. B. Menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil. C. Membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil.

Soal pegadang kaki lima, di dalam pasal 25 disebutkan, ayat 2: Setiap orang atau badan dilarang berdagang, berusaha di bagian jalan/trotoar, halte, jembatan penyebrangan orang dan tempat kepentingan umum lainnya di luar ketentuan dimaksud dalam ayat 1. Ayat 3: Setiap Orang dilarang membeli barang dagangan pedagang kaki lima sebagaimana dimaksud dalam ayat 2.

Jika dilihat dari dua pasal di atas saja, terlihat pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kekuasaan yang tidak melihat aspek-aspek sosial lainnya.

Pertama, sampai saat ini tidak terlihat adanya solusi dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang marak di perkotaan, seperti kemiskinan sehingga muncullah pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil. Begitu juga solusi terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL).

Yang lebih terlihat bodoh, kenapa orang yang memberikan sumbangan kepada si pengemis, pengamen, dan bahkan yang membeli jajanan Pedagang Kaki Lima (PKL) justru ikut diberi sanksi.

Kalau memang orang dilarang memberikan sumbangan kepada pengemis atau si miskin, kenapa tidak dijelaskan juga solusi kepada siapa orang yang memiliki kelebihan harta membersihkan hartanya seperti zakat mal atau zakat fitrah.

Di dalam Al-qur’an sendiri selalu disebut bahwa di harta orang kaya terdapat hartanya orang miskin. Artinya, kemiskinan itu memang ada dan niscaya di bumi ini, selama masih banyak manusia serakah dan rakus yang suka “menghisap darah manusia yang masih mengalir”.

Terlebih di dalam bulan ramadhan, di mana setiap orang yang memberikan sedekah kepada si miskin, maka pahalanya akan dilipatgandakan dari hari-hari biasa.

Lalu, apakah tuan yang duduk di dewan sana paham yang telah dibuatnya adalah kemunduran bagi bangsa ini, bukan kemajuan. Semoga tuan-tuan Paham. (*)