Kamis, 28 April 2011

Teroris dari Gang Pesanggrahan

Syukri Rahmatullah
Kamis 28 April 2011.

Di tengah perjalanan pulang kantor ponsel saya bergetar, ternyata di salah satu forum BB mengabarkan ‘polisi tangkap sutradara film aceh, diduga teroris’. Mendapat info ini, saya pantulkan ke email kantor agar ditindaklanjuti.

Sepintas tak ada yang aneh dari informasi itu, saya menganggapnya hal biasa yang sama seperti informasi lainnya yang datang mengabarkan sebuah kejadian. Ternyata keesokan harinya, sutradara tersebut adalah otak pelaku bom buku yang dikirim ke kantor Ulil, Yapto, dan Ahmad Dhani.

Yang mengejutkan pelaku berinisial ‘P’ itu kabarnya adalah alumni mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN), tempat saya pernah menimba ilmu selama empat tahun.
Dari sini saya masih bersikap biasa, karena sebelumnya pernah ada penggerebekan di salah satu kos-kosan mahasiswa yang ternyata dihuni teroris, kasus ini juga melibatkan alumni Universitas Islam Negeri (UIN).

Yang lebih mengejutkan ternyata pria berinisial ‘P’ ini bernama Pepi dan dia ternyata adalah orang yang pernah kongkow dengan saya dan kawan-kawan di Gang Pesanggrahan, samping kampus UIN.

Pepi hanya salah satu dari banyak orang yang mungkin berbeda dengan kami -aktivis gerakan UIN- tapi tetap saja berteman dan kongkow. Seingat saya, Pepi bukanlah aktivis, dia tidak pernah terlibat dalam gerakan mahasiswa,

Kejutan belum selesai, Pepi ternyata adalah pemimpin dari 19 orang lainnya yang berhasil dia pengaruhi untuk membuat dan menyebarkan bom buku. Ternyata ada beberapa lagi alumni UIN yang terlibat, sebut saja Muhammad Maulana Sani alias Maulana alias Alan. Dia pernah kuliah di jurusan sastra Arab UIN Syahid Jakarta.

Ada lagi Hendi Suhartono alias Tono alias Zokaw. Dia S1 fakultas filsafat Ushuludin UIN. Ada juga Muhammad Fadil, dia juga satu jurusan dengan Tono alias Jokaw.
Selain alumni UIN ada juga yang bukan jebolan kampus atau hanya lulusan SMA yang terlibat, seperti Mohammad Syarif alias Aip alias Culik.

Saya kurang hapal benar dengan Pepi. Mungkin jika melihat wajahnya akan mengingat kembali dia adalah orang yang pernah nongkrong di Jalan Pesanggrahan. Tapi, ada beberapa nama yang saya ingat dan masih hapal wajahnya.

Misalnya M Maulana yang biasanya kami panggil Alan. Jika benar dia adalah angkatan 1997 dan pernah ngekos di lantai 2 persis dekat samping pintu kampus, dia adalah Alan yang kami kenal.

Beberapa teman yang sama-sama sering kongkow juga mengenal Jokaw. Tapi, jujur saya lupa wajahnya, sama seperti Pepi. Mungkin jika melihatnya saya akan mengenalnya.
Ada satu lagi yang saya kenal dan ini sudah pasti dia. Dia adalah Muhammad Syarif alias Aip. Kami biasa memanggilnya Culik. Dia adalah warga yang tempat tinggalnya berdekatan dengan kampus. Melalui tongkrongan saya sempat mengenal dia, bahkan dia pernah mengikuti beberapa aksi demontrasi yang pernah kami lakukan di luar kampus sebagai massa cair.

Sampai sekarang saya seolah tak percaya jika mereka benar-benar terlibat dalam kasus terorisme. Karena, mereka bukan berasal dari kelompok organisasi rohis kampus seperti KAMMI atau dekat dengan kelompok pengajian masjid atau kelompok kecil lainnya.

Mereka, dulunya, adalah orang-orang abangan, anak tongkrongan, yang sering menghabiskan waktu dengan minum di malam hari, dan lain-lain yang jauh dari
aktivitas keagamaan. Jadi jujur saya heran.

Dari peristiwa ini saya mendapatkan dua kesimpulan. Pertama, keyakinan seseorang bisa saja mudah berubah. Dari yang tadinya disebut ‘anak nakal’ malah sekarang berjihad. Tergantung ruang (kondisi sekitar dia) dan juga waktu.

Kedua, jangan pernah merasa benar-benar mengenali dengan baik sekeliling Anda. Bisa jadi dia teman Anda sekarang, tapi kemudian berubah menjadi orang yang tidak Anda kenal sama sekali.

Yang pasti jagalah diri Anda da keluarga dari serbuan ‘pengaruh’ kelompok Islam keblinger. Yang mengaku mengenal Tuhan padahal mereka jauh dari Tuhan. Semoga Allah memberikan mereka hidayah…amien.

Menguji Ketajaman Pedang Keadilan



Syukri Rahmatullah
Kamis, 28 April 2011 - 11:49 wib

LEMBAGA peradilan kembali diuji. Kali ini dalam kasus mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar. Apakah pedang hukum mampu menunjukkan keadilan atau justru sebaliknya.

Kasus Antasari Azhar belakangan ini kembali disorot setelah adanya surat kaleng yang datang kepada kuasa hukum terpidana penembakan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, Daniel Daen Sabon, yaitu Mbalembout.

Mbalembout mengaku menerima surat tersebut pada 17 April lalu. Surat yang diketik itu dikirimkan melalui pos. Apakah surat kaleng ini benar?

Memang surat kaleng ini tidak bisa dijadikan bukti hukum bahwa kasus ini merupakan konspirasi segelintir elit yang ingin ‘menendang’ Antasari dari KPK.

Tapi pengakuan ini bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya, mantan Kapolres Jakarta Selatan, Komisaris Besar Polisi Williardi Wizard membuat pengakuan mengejutkan di pengadilan. Dia mengaku adanya rekayasan berita acara pemeriksaan yang dilakukan petinggi Polri dalam kasus ini.

Williardi mengungkap, seorang penyidik memintanya merekayasan BAP agar menyudutkan Antasari Azhar. Dia diiming-imingi akan dibebaskan dari kasus ini. Karena janji tak dipenuhi, Williardi pun membongkar rekayasa tersebut dan mencabut BAP yang telah dia lakukan.

Rekayasa berita acara pemeriksaan, memaksakan seseorang menjadi tersangka, atau salah tangkap bukan hal baru di negeri ini. Masih ingat kasus Imam Chambali alias Kemat di Jombang tahun 2008 lalu?.

Saat itu, Kemat bersama David Eko Priyanto, dan Mamat Sugianto alias Sugik ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan seorang pria bernama Asrori alias Aldo di Kebun Tebu Dusun Braan Desa Kedungmulyo, Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Jombang, 24 September lalu.

Korban yang tidak dikenal ketiganya ini dibunuh di sebuah rumah kosong lalu dibawa ke kebun tebu untuk dibakar dengan pelumas mobil. Tak tahan disiksa di dalam penjara, Kemat dan David akhirnya terpaksa mengakui. Sedangkan Sugik menolak mengaku dan terus dipukuli. Kemat pun divonis 17 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jombang Jawa Timur.

Belakangan polisi ternyata salah identifikasi, ternyata mayat tersebut bukanlah Asrori, melainkan Fauzin Suyanto. Fauzin merupakan korban pembunuhan yang dilakukan Ryan, seorang gay dari Jombang yang ditangkap karena membunuh pacar sesama jenis di Depok, Jawa Barat.

Kasus salah hukum juga pernah dialami Sengkon dan Karta pada tahun 1970-an. Keduanya ditangkap dan menjalani hukuman bertahun-tahun karena sebuah kejahatan yang tak dilakukannya.
Keduanya malah bertemu pembunuh asli Sulaiman dan Siti Haya, yaitu Gunel. Dia ditangkap dan dipenjara karena kasus lain. Karena kasihan melihat Sengkon sekarat dan hampir meninggal dunia di LP Cipinang, akhirnya Gunel pun mengaku jujur bahwa dia lah pembunuh sebenarnya.

Dalam hal ini penulis tidak bermaksud menyamakan bahwa kasus Antasari Azhar sama dengan kasus Kemat dan Sengkon-Karta. Tetapi, dalam kasus Antasari Azhar ini penegak hukum kembali diuji, apakah mampu menegakkan keadilan atau hanya menjadi kepanjangan tangan dari pelaku konspirasi yang sengaja menjerat seseorang agar masuk ke dalam penjara.

Setidaknya pengakuan Williardi patut menjadi perhatian bahwa kepolisian kita masih memaksakan kehendaknya dengan melakukan rekayasa berita acara pemeriksaan. Jika praktek seperti ini masih terus berlangsung, maka keadilan yang seharusnya bisa tercipta melalui lembaga hukum sangat mustahil diharap.

Kasus Antasari Azhar ini merupakan tantangan berat bagi lembaga peradilan untuk membuktikan jika memang benar masih ada keadilan di negeri ini.

*http://suar.okezone.com/read/2011/04/28/59/450898/menguji-ketajaman-pedang-keadilan

Berantas Gerakan Cuci Otak NII KW9

Syukri Rahmatullah
Rabu, 20 April 2011 - 13:55 wib

PENCULIKAN yang marak kembali terjadi di Tanah Air disinyalir dilakukan kelompok Negara Islam Indonesia (NII) KW9.

Setidaknya ada dua peristiwa penculikan yang menunjukkan pola yang sama dan mengarah kepada aktivitas NII KW9. Yaitu penculikan terhadap sembilan orang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan penculikan terhadap pegawai perempuan dari Kementerian Perhubungan bernama Lian Febriarni.

Fenomena penculikan orang untuk dicuci otaknya agar ikut kepada gerakan mereka ini sudah terjadi sejak tahun 1990-an. Akan tetapi, sampai saat ini gerakan cuci otak tersebut masih terjadi.

Gerakan cuci otak yang dilakukan NII KW9 ini memang terbilang unik. Pola hit and run yang mereka lakukan tak hanya menyulitkan orangtua korban dalam proses pencarian anak mereka yang berhasil direkrut aktivis NII KW9.

Dari beberapa mantan korban ‘penculikan’ yang sempat berbincang dengan penulis, ada beberapa kesimpulan mengenai pola yang dilakukan aktivis NII KW9 ini adalah mengincar korbannya. Pertama, yang diincar mereka adalah orang yang dalam usia labil. Makanya yang banyak diculik adalah dari kalangan sekolah menengah atas dan mahasiswa yang masih dalam proses pencarian jati diri.

Kedua, mereka mengincar orang yang tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup. Atau sekalipun pernah mengenyam pendidikan agama, tidak teguh dalam bersikap.

Makanya, dalam proses merekrut korban. Aktivis NII juga melihat terlebih dahulu kapasitas korban dalam pengetahuan agamanya. Jika korban diajak diskusi soal agama dan tidak kritis atau ngeyel, maka ini adalah calon potensial untuk menjadi target mereka.

Di awal pertemuan, biasanya aktivis NII ini tampil dengan penampilan yang perlente, jauh dari kesan agamis yang berjubah dan berjenggot tebal. Akan tetapi, mereka memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengagitasi korbannya dengan sejumlah dalil-dalil alquran untuk membenarkan argument mereka.

Setelah korban masuk dalam kategori potensial, barulah aktivis NII KW9 tersebut membawa mereka ke dalam lingkungan pertama mereka untuk mendapat doktrin lebih lanjut. Salah satu kawan saya mengaku pernah dibawa ke dalam suatu rumah dan di sana dia mendapatkan doktrin setiap saat dan diharuskan membaca buku-buku mereka. Dia tidak diperbolehkan pulang.

Dalam fase ini, ada juga yang berhasil kabur dan mengalami syok. Karena tidak kuat dengan doktrin dan keharusan membaca buku yang membenarkan argumentasi mereka itu.

Biasanya yang berhasil kabur itu, akan terus dikejar dengan dihubungi ataupun didatangi rumah atau tempat tinggalnya. Jika tidak berhasil dibawa kembali, biasanya aktivis NII ini akan berpindah tempat mencari tempat tinggal baru untuk menghilangkan jejak jika si korban membocorkan lokasi tempat mereka.

Menelusuri NII ini tidaklah mudah, karena mereka tergolong ketat dalam menyeleksi kadernya. Ada banyak fase, sehingga korban yang baru saja berhasil masuk ke dalam kelompok mereka tidak mudah dapat bertemu dengan pemimpin NII KW9 regional apalagi di tingkat pusat.

Melihat tipologi di atas sebenarnya yang menjadi pokok utama adalah mengenai penyesatan pembelajaran agama. Karenanya, saat ini sangat penting untuk mengenal latar belakang guru ngaji atau ustaz yang mengajar agama. Di mana dia menimba ilmu agama dan seperti apa tempat dia menimba ilmu.

Kemudian, yang penting juga adalah pendampingan keluarga. Karena, kebanyakan yang terjadi adalah keluarga kurang mendampingi korban dalam proses pembelajaran agama. Sehingga, ketika doktrin agama yang menyesatkan masuk sangat sulit untuk ditanggulangi.

Hal ini sebagaimana terjadi kepada pelaku pengeboman di Cirebon yaitu M Syarif. Orangtuanya, Abdul Ghofur mengaku anaknya berubah setelah mengikuti salah satu pengajian. Dalam sebuah kesempatan, M Syafir mengkafirkan ayahnya dalam berdiskusi soal agama.

Selain dua pencegahan di atas. Yang lebih penting adalah tindakan dari pemerintah melalui aparat keamanan. Aparat keamanan seharusnya lebih sikap dalam menyikapi pergerakan NII KW9 ini. Karena gerakan ini sudah terjadi di Indonesia sejak dua dasawarsa lalu dan korbannya juga cukup banyak.

Sudah sepatutnya NII KW9 ini menjadi target operasi intelijen Tanah Air. Karena kelompok ini dapat mengancam kedaulatan negara. Jangan menunggu penculikan lagi terjadi!

Norman dan Wibawa Kepolisian


Syukri Rahmatullah
Kamis, 7 April 2011 - 12:12 wib

ANGGOTA Brimob Gorontalo, Briptu Norman Kamaru, mendadak terkenal berkat aksinya di Youtube, menyanyi lipsync dan berjoget India saat bertugas. Polemik pun mencuat, apakah yang dilakukan Norman itu dibenarkan atau tidak.

Adalah anggota DPR Komisi III, Ruhut Sitompul, yang menyoal aksi Norman. Dia menyebut aksi Norman tersebut tidak pantas apalagi sedang bertugas. Di samping dia juga, seorang anggota Brimob lainnya sibuk mengetik SMS. Di mata Ruhut, tindakan anggota Brimob Gorontalo ini menyalahi etika dan menjatuhkan wibawa polisi, dia harus mendapat sanksi

Apakah benar aksi Norman tersebut dapat menjatuhkan wibawa kepolisian dan dia patut mendapatkan sanski? Tampaknya hal ini sangatlah berlebihan. Mengingat aksi Norman hanyalah aksi biasa saja, tak bedanya dengan Shinta-Jojo yang menari dengan lagu “Keong Racun” dan Bona yang menyanyikan “Gayus Tambunan”.

Kemungkinan besar, aksi penggemar berat Shah Rukh Khan, karena mengikuti jejak Shinta-Jojo dan Bona. Buktinya, saat dia diberikan sanksi untuk menghibur rekan-rekannya di lapangan dan disorot media, Norman tampak menikmati dan tak ada beban berat sama sekali. Jangan-jangan Norman ingin terkenal melalui Youtube?

Selain itu, Norman juga mengupload video lainnya berjudul Polisi Gorontalo Idol. Bedanya, dia menyanyi berdua temannya dan tidak berseragam polisi. Apakah tindakannya ini sebuah pelanggaran, tampaknya tidak juga. Apa tidak boleh polisi mengekspresikan diri?. Mengenai seragam, beberapa waktu lalu juga pernah ada seorang polisi Ambon mengikuti sebuah acara pencarian bakat di salah satu televisi. Apakah itu sebuah kesalahan?

Tampaknya tidak juga. Justru yang menjatuhkan wibawa polisi adalah anggota polisi yang menggunakan seragamnya melakukan pungli di jalanan kepada para pengendara dengan berbagai alasan. Polisi yang menggunakan seragam dan wewenangnya untuk menakut-nakuti orang dari etnis tertentu ketika terkena kasus.

Justru yang bermasalah adalah polisi yang meskipun tidak berseragam tetapi menjadi beking dari diskotik-diskotik, beking penjual DVD porno di Glodok. Dalam survei yang dilakukan Transparancy Internasional (TI), Polri merupakan salah satu institusi yang masih sarat akan suap. Bahkan peringkatnya sangat tinggi.

Karenanya lebih baik DPR Komisi III, Propam Polri dan lembaga terkait mengurusi polisi-polisi yang menyalahgunakan wewenangnya tersebut. Bukannya malah sibuk mengurusi Norman. Karena, Norman sudah berhasil menyedot perhatian media, tidak usah diurusi lagi.

Tinggal tunggu saja, rekaman album atau single Norman keluar.

Bintang Porno & Kemajuan Film Tanah Air

Syukri Rahmatullah
Kamis, 31 Maret 2011 - 13:03 wib

BEBERAPA waktu lalu Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata merencanakan pengurangan pajak untuk pembuatan film lokal. Hal ini diharapkan mampu mendorong para sineas lokal untuk berkreatif dalam meningkatkan produktivitas dan mutu film Tanah Air.

Tak lama berselang, Maxima Pictures berencana mendatangkan bintang porno asal Jepang untuk yang ketiga kalinya. Setelah Rin Sakuragi dan Miyabi, kini mereka akan mendatangkan bintang porno bernama Sora Aoi.

Memboyong bintang porno luar negeri tak hanya dilakukan Maxima Pictures, K2K Production juga mendatangkan bintang porno. Kali ini berasal dari Negeri Paman Sam, Tera Patrick.

Entah apakah strategi dua rumah produksi tersebut sejalan dengan semangat pemerintah dalam meningkatkan mutu dan produktivitas film Tanah Air? Kalau dari segi produksi, mungkin bisa dibilang ada peningkatan. Bayangkan saja, Maxima yang telah berdiri 2006 lalu telah membuat 20 film, kebanyakan didominasi film horor dan komedi. Di antaranya ada Air Terjun Pengantin, Menculik Miyabi, Hantu Tanah Kusir, dan Suster Keramas.

Produksi film Tanah Air memang beberapa tahun ini meningkat dibandingkan tahun 1992 yang hanya 41 film dalam setahun, 1998 hanya 11 film, bahkan tahun 2001 hanya empat buah film nasional saja.

Tahun 2010 kemarin film nasional sudah mencapai 70 buah film, tahun ini ditargetkan mencapai 100 buah film. Akan tetapi bagaimana dengan mutunya. Di tahun 2010 memang film nasional meningkat

Pertanyaan selanjutnya, apakah hanya jumlah film saja yang kita tingkatkan. Bagaimana kabar dengan mutu film Indonesia. Apakah akan dibiarkan film nasional berbau esek-esek ini terus muncul. Padahal, secara penjualan tak sebagus film nasional lain yang tidak berbau esek-esek.

Contohnya, film yang dibintangi Rin Sakuragi ternyata tak mampu menyaingi film yang Air Terjun Pengantin yang diproduksi PH yang sama. Keduanya, juga belum mampu bersaing dengan pendapatan film Ayat-Ayat Cinta dan juga Laskar Pelangi.

Di samping itu juga masih banyak sineas yang memiliki idealisme dalam membuat film. Sebut saja Mira Lesmana dan Riri Reza yang terus berupaya mengangkat film nasional baik secara kuantitas dan juga kualitasnya. Terbukti dua film terakhir yang mereka sajikan selalu diburu para pecinta film.

Lihat juga Hanung Bramantyo, yang mengangkat produksi film nasional melalui Ayat-Ayat Cinta dan Sang Pencerah. Dan yang tak kalah idealis adalah Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen. Pasangan selebriti yang pernah menggarap film Senandung di Atas Awan ini sering menggarap film bertema nasionalisme, seperti King dan Tanah Air Beta.

Artinya dari sini terlihat jelas. Bahwa, kuantitas dan kualitas masih tetap perlu berjalan seiring seirama dalam memajukan film Tanah Air. Tinggal bagaimana niat baik pemegang wewenang, dalam hal ini Kemenbudpar, Lembaga Sensor Film, dan juga pelaku, sutradara, aktor, dan aktris.

Bom Buku Ingin 'Dibaca' Siapa?

Syukri Rahmatullah
Jum'at, 18 Maret 2011 - 12:04 wib

Bom Buku memang menarik untuk dibaca. Karena hingga saat ini belum diketahui secara pasti motifnya untuk apa. Sehingga, banyak pihak yang mencoba memelesetkan tujuan si pengirim bom dengan tafsirnya sendiri-sendiri.
Misalnya, saat bom meledak di kawasan kantor lama Ulil Absar Abdalla di Jaringan Islam Liberal dan melukai Kasat Reskrim Jakarta Timur, Kompol Dodi. Kala itu, Ulil langsung menafsirkan bom buku tersebut bertujuan politis karena perannya di Partai Demokrat. Dikaitkan juga dengan permasalahan koalisi yang tengah menghangat.

Tapi ternyata bom buku tidak hanya datang ke eks kantor Ulil, kantor Goris Mere dan rumah Ketua Umum Pemuda Pancasila, Yapto S. Dua hari setelahnya bom juga menyasar ke rumah artis Ahmad Dhani.

Tampaknya Ulil dan rekan-rekannya di Partai Demokrat terlalu cepat menyimpulkan bom buku menyasar partai besutan Presiden SBY tersebut.

Ditambah lagi kesimpulan pengamat politik Bachtiar Effendy dan anggota DPR Effendy Choirie yang menilai bom tidak ditujukan kepada Ulil secara personal. Karena Ulil belum lama baru pulang kuliah dari luar negeri dan belum terlihat perannya di Partai Demokrat. Sehingga belum memiliki ‘ancaman serius’ bagi orang lain.

Ada analisis mengatakan, Ulil hanya dijadikan simbol Jaringan Islam Liberal. Kelompok masyarakat yang dianggap nyeleneh dan membuat penafsiran tersendiri, sehingga mengancam keberadaan Islam.

Hal ini diperkuat dengan ancaman bom kepada Goris Mere yang pernah menjadi pentolan Densus 88, detasemen yang terus memburu dan menghancurkan kelompok teroris. Begitu juga Ahmad Dhani, yang belakangan disebut-sebut kelompok Islam kanan sebagai agen Yahudi.

Terlepas dari berbagai analisis di atas. Saat ini masyarakat dalam kondisi resah dan ketakutan. Sehingga tidak berani membuka paket berisi buku yang datang ke rumah mereka. Misalnya Indra, warga di Pondok Indah yang memanggil Gegana karena mendapat kiriman buku dari orang yang tidak dikenalnya.

Dalam hal ini intelijen bisa saja disebut kecolongan. Karena tidak dapat mengantisipasi gerakan teroris yang kini hidup kembali dan membuat situasi mencekam kembali. Mengutip mantan kepala BIN Hendropriyono, seharusnya intelijen tidak melepaskan pengawasannya dari kelompok teroris seperti ini.

Intelijen harus tetap menaruh orang di kelompok ini dan terus mengawasi pergerakan mereka agar tidak ada lagi ancaman-ancaman bom yang berpotensi mengancam keselamatan masyarakat.

Imbauan Presiden SBY belakangan diharap bisa menjadi pendorong bagi kalangan intelijen di kepolisian, TNI, dan juga BIN agar bergerak lebih cepat lagi dalam menyingkap siapa sebenarnya pelaku pengirim bom tersebut. Agar tidak terjadi saling tuding mengenai pengirim bom.

Dan yang pasti agar masyarakat merasa terlindungi dan tidak lagi dalam kondisi terancam.

Mainanku Mautku

Syukri Rahmatullah
Jum'at, 11 Maret 2011 - 12:02 wib
Syukri Rahmatullah.

BERMAIN seharusnya menjadi hal yang menyenangkan bagi anak-anak. Tapi, apa jadinya jika permainan justru berujung maut.

Tewasnya seorang bocah kelas 1 SD di Depok, Rivaldi, di tangan kawannya sendiri, Rsk (11) harus menjadi perhatian serius. Apalagi, dia tewas karena tertusuk besi di bagian kepala yang mereka jadikan alat permainan mereka.

Permainan yang dilakukan Rivaldi dan Rsk tergolong sadis. Mereka bermain perang-perangan dengan teman-temannya dengan menggunakan peralatan yang tidak semestinya.

Di Amerika Serikat sebanyak 235.000 anak sepanjang tahun 2008 masuk unit gawat darurat karena mengalami luka akibat mainan mereka.

Pada tahun yang sama, 19 orang meninggal karena mengalami kecelakaan mainan mereka. Kebanyakan anak mengalami tersedak karena menelan mainan kecil.

Di Indonesia, akhir tahun 2010 sebanyak 20 anak masuk unit gawat darurat dan 8 di antaranya terancam buta permanen. Mereka masuk UGD, setelah bermain perang-perangan dengan pistol mainan yang pelurunya mengenai mata mereka.

Dari fenomena ini, mainan bisa menyenangkan dan juga berbahaya. Karenanya, perhatian serius terhadap mainan dan permainan anak haruslah ditingkatkan.

Setidaknya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dari fenomena ini. Dari segi regulasi, pemerintah seharusnya menjaga ketat mainan yang masuk ke Indonesia. Mainan yang bisa membuat cedera bahkan mencabut nyawa, sebaiknya sudah disetop dan dilarang peredarannya.

Kedua, anak-anak adalah peniru yang ulung. Karenanya, sebaiknya mereka tidak melihat kekerasan baik secara verbal ataupun melalui media. Karenanya, media seperti televisi berperan penting untuk mencegah kekerasan di kalangan anak-anak dengan tidak menayangkan hal-hal yang berbau kekerasan.

Terakhir, kembali ke orangtua. Permainan anak memang terkesan sederhana dan tidak diambil serius oleh kebanyakan orangtua. Padahal, beberapa contoh kasus di atas membuktikan bahwa kebanyakan permainan anak yang mengakibatkan cedera atau hilangnya nyawa, disebabkan tidak adanya pengawasan dari orangtua.

Anak-anak adalah masa depan bangsa. Menjaga mereka sama juga dengan menjaga masa depan bangsa ini.

Reuni Yoyok dengan 'Sobat Lama'

Syukri Rahmatullah
Selasa, 1 Maret 2011 - 11:27 wib

Sobat Padi tentu terhenyak mendengar personel band yang digemarinya, Padi, yaitu Yoyok, tertangkap tangan saat tengah mengonsumsi sabu-sabu di Apartemen Sudirman Park lantai 40, kamar 40 BA.

Yoyok pun langsung digelandang polisi dan diancam dengan hukuman penjara karena memiliki 0,5 gram sabu-sabu. Kabar persahabatan Yoyok dengan barang haram narkoba sudah berhembus lama, dia pernah dikabarkan dekat dengan narkoba jenis heroin.

Bahkan kabarnya, karena heroin dan perselingkuhan itulah Rosa menyingkirkan Yoyok dari kehidupannya sebagai suami.

Kasus narkoba dan selebriti bukan pertama kali terjadi, sederet artis ternama juga pernah merasakan jeruji penjara karena masalah narkoba. Dari pelawak, pemain sinetron, hingga musisi.

Dari kalangan musisi selain Yoyok, ada juga Samuel Hendra Simorangkir alias Sammy dan Imam S Arifin. Pemain sinetron dan film ada Roy Marten, Revaldo, Ibra Azhari. Bahkan Roy Marten dan Revaldo sudah dua kali menikmati jeruji penjara karena narkoba.

Sedangkan dari kalangan pelawak, ada nama Polo, Doyok, dan Gogon yang juga menikmati dinginnya ubin penjara.

Persaingan di dunia selebriti yang cukup berat tampaknya cukup mempengaruhi kehidupan seseorang. Dari yang tadinya tenar, banyak job, dan berkantong tebal, menjadi tergusur dengan artis yang baru muncul. Ketika sudah tidak kuat, si artis pun akan lari ke narkoba.

Hal tersebut diakui Sammy, mantan vokalis Keripatih. Dia mengakui bahwa dia mengalami tekanan yang cukup berat di band sehingga melarikan diri ke narkoba. Beberapa selebriti yang terjerat narkoba, kebanyakan sudah jarang muncul di layar kaca lagi.

Sebut saja Roy Marten, Revaldo, Ibra Azhari. Roy Marten merupakan artis pria yang sangat populer di tahun 1980-an. Siapa tak kenal Roy Marten saat itu, pria ganteng yang membintangi Kampus Biru. Kisah percintaan mahasiswa Universitas Gajah Mada yang diperankan Roy Marten.

Revaldo, namanya juga sempat naik saat membintangi sinetron Ada Apa dengan Cinta. Dia berperan sebagai Rangga. Kemudian Ibra Azhari, dia juga cukup populer dalam membintangi film-film panas di tahun 1980-an. Tapi, ketiganya tidak lagi meramaikan layar kaca.

Tampaknya hal ini menjadi pasar yang empuk bagi para pengedar narkoba di Tanah Air. Karena, tak sedikit pengedar narkoba yang mendekati selebriti dan membuat mereka ‘jatuh hati’ dengan narkoba.

Seperti dalam kasus Yoyok dan Imam S Arifin. Polisi sudah menguntit keduanya. Yoyok ditangkap saat menggunakan sabu, sedangkan Imam ditangkap setelah transaksi narkoba. Inilah bukti betapa dekatnya hubungan para artis dengan para pengedar narkoba.

Sebaiknya aparat kepolisian tak hanya selesai dalam menangkap artis yang mengonsumsi narkoba. Akan tetapi juga memutus jaringan pengedar narkoba di kalangan selebriti yang memiliki mata rantai yang cukup kuat.

Selain itu, hal ini juga menjadi peringatan kepada masyarakat yang ingin menjadi selebriti untuk bersiap menghadapi post power syndrome. Karena tak selamanya seseorang berada di puncak ketenaran selamanya, Saat jatuh ya harus siap menghadapinya dan tidak menjadi pengecut dengan melarikan diri kepada narkoba.

"Tak Ada Kawan Sejati"

Syukri Rahmatullah
Jum'at, 25 Februari 2011 - 17:25 wib

SIDANG paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu lalu, yang memutuskan menolak hak angket Mafia Pajak berlangsung tragis. Karena perbedaan suaranya hanya dua suara saja.

Ada yang unik dalam sidang paripurna ini, karena dua partai yang tergabung dalam sekretariat gabungan koalisi pemerintah, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Golkar tidak sejalan dengan Partai Demokrat.

PKS dan Golkar justru bergabung bersama PDIP untuk mengusulkan agar hak angket digulirkan. Yang lebih unik, Partai Gerindra yang sebelumnya sejalan dengan PDIP, justru mendukung upaya Partai Demokrat untuk menolak hak angket.

Padahal, Ketua Umum Partai Golkar yaitu Aburizal Bakrie dipercaya Presiden SBY untuk menduduki sebagai ketua umum setgab partai koalisi pemerintah. Lalu apa yang terjadi dengan koalisi, sehingga tak seirama lagi.

Tidak seiramanya partai koalisi pemerintah bukan terjadi yang pertama kali. Pada saat bergulirnya hak angket Century, PKS dan Partai Golkar juga ‘membelot’ dari koalisi. Keduanya bersama PDIP, Partai Gerindra, mendukung bergulirnya hak angket Century, sehingga Partai Demokrat kalah dalam voting di sidang paripurna.

Kedua peristiwa ini tampaknya ingin meniru apa yang pernah terjadi di tahun 2001 lalu. Yaitu saat Gus Dur berhasil dijatuhkan pendukungnya sendiri yaitu Poros Tengah melalui Pansus Bullogate.

Berbeda dengan koalisi yang terbangun di Poros Tengah, koalisi yang dibangun KIB Jilid II disebut-sebut sebagai koalisi permanen. Bahkan hingga dibentuk setgab koalisi yang dipimpin Aburizal Bakrie.

Pepatah ‘Tak Ada Kawan Abadi dalam Politik’ tampaknya menjadi nyata. Karena, partai yang sudah mendapat jatah sebagai menteri pun masih bisa berbelok arah, ketika memiliki kepentingan yang berbeda.

Ada banyak orang yang menyebut upaya Presiden SBY membentuk setgab koalisi karena ingin meniru UMNO di Malaysia, yang berhasil menyatukan beberapa partai dalam satu koalisi. Karenanya, UMNO sampai sekarang masih berkuasa di Malaysia.
Walau begitu, meski apa yang dilakukan Partai Golkar dan PKS dianggap negatif Partai Demokrat, karena tidak sejalan lagi dengan pemerintah. Apa yang dilakukan kedua partai ini juga bisa bermakna positif.

Yang pertama, politik Indonesia lebih dinamis, karena sulit ditebak. Bisa dibayangkan, jika kedua partai yang tergabung dalam koalisi hanya mengikuti apa kemauan pemerintah saja. Yang ada, mereka hanya menjadi alat legitimasi belaka.

Kedua, parlemen masih bisa mengkritisi kebijakan pemerintah yang sekiranya tidak berpihak kepada rakyat. Mudah-mudahan kritis yang dibangun di DPR bukan hanya untuk alat menambah jumlah menteri di kabinet. Semoga benar-benar untuk kepentingan rakyat.

Pil Pahit TKI dari Arab Saudi

Syukri Rahmatullah
Rabu, 16 Februari 2011 - 11:36 wib

Nia Kurnia (31), tenaga kerja Indonesia asal Desa Rancamaya, Kabupaten Bandung Barat diperkosa anak majikannya di Arab Saudi pada Mei 2010 lalu. Dua bulan kemudian, dia dipulangkan majikannya ke Indonesia.

Selama bekerja di Riyadh, Nia tidak pernah mendapatkan gaji. Penderitaan Nia tak hanya sampai di situ. Sesampainya di rumah, dia diceraikan suaminya karena diketahui pulang dengan berbadan dua. Nia pun melahirkan anak kembarnya itu tanpa suami.

Kisah pilu di atas hanya salah satu di antara ratusan kisah pilu lain dari jutaan TKI yang mengundi nasib di luar negeri. Tapi, baru-baru ini bukannya perlindungan TKI ditingkatkan, pemerintah Arab Saudi malah menghentikan perekrutan tenaga kerja Indonesia di sana yang kini nyaris mencapai 1 juta orang.

Keputusan ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia memang tidak memiliki bargaining di hadapan pemerintah Arab Saudi. Bukan tidak mungkin, negara lain juga melakukan hal serupa jika pemerintah Indonesia tidak memiliki sikap yang tegas terhadap kebijakan Arab Saudi tersebut.

Harus diakui, jutaan orang tenaga kerja Indonesia di luar negeri telah banyak mengurangi beban pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan di Tanah Air. Mereka malah turut mengisi kantong APBN setiap tahunnya.

Artinya, jika pemerintah Arab Saudi menyetop TKI maka secara tidak langsung pemerintah akan kekurangan pasokan isi kantong APBN dan juga di sisi lain harus menyediakan sekira 1 juta pekerjaan di Tanah Air. Bukan pekerjaan mudah.

Patut diketahui, negara yang menyediakan tenaga kerja sebagai PRT, sopir di luar negeri bukan hanya Indonesia. Tapi, banyak negara berkembang melakukan hal serupa. Contohnya di Arab Saudi, Indonesia harus bersaing dengan tenaga kerja asal Bangladesh, Filipina, India, Pakistan, Ethopia, Somalia, dan Yaman.

Mengikuti hukum permintaan dan penawaran, Arab Saudi telah mendapatkan penawaran yang cukup banyak sehingga permintaan mereka terhadap TKI mulai dibatasi karena banyak hal. Seperti ongkos rekrutmen dan gaji TKI yang belum disepakati antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi, persoalan penganiayaan dan pemerkosaan oleh majikan dan banyak lagi.

Agar masalah ini tak terulang, sebenarnya pemerintah Indonesia hanya memiliki dua pilihan. Pertama menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup. Atau jika memang tidak mampu, maka harus melakukan pendidikan dan pelatihan yang terarah bagi tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Agar dalam berkompetisi dengan negara lain, TKI lebih diunggulkan karena memiliki keahlian yang unik dan tidak dimiliki negara lain.

Dan yang lebih penting dari kedua hal itu, pemerintah Indonesia harus berani melindungi warga negaranya di luar negeri. Ancaman apapun harusnya berani ditepis pemerintah, demi kedaulatan rakyatnya.

Berdampingan di Antara Seribu Perbedaan


Syukri Rahmatullah
Rabu, 9 Februari 2011 - 10:22 wib

INDONESIA adalah negara yang majemuk. Seribu suku dan bahasa ada di negeri kepuluan ini. Bahkan, sebelum datangnya agama-agama mayoritas, seribu agama juga pernah hidup di negeri ini.

Hal itulah yang menginspirasi pendiri bangsa ini, Soekarno. Sehingga dia membuat konsep Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu. Soekarno sadar betul bahwa perbedaan adalah rahmat. Perbedaan bisa menjadi satu kekuatan demi merebut kemerdekakan.

Tapi sayang, tampaknya cita-cita ideal Soekarno itu hanya tinggal mimpi. Karena, ternyata sulit rasanya bangsa ini hidup berdampingan dengan seribu perbedaan. Lihat saja, kasus kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten.

Dengan mengatasnamakan agama, sebuah kelompok menyerang penganut Ahmadiyah, sehingga menimbulkan tiga orang meninggal dunia karena luka bacokan dan luka benda tumpul.

Belum usai cerita ini, muncul lagi kekerasan di Temanggung. Sebuah kelompok masyarakat mengamuk di Pengadilam Temanggung. Mereka mengamuk, karena merasa tuntutan JPU terhadap terdakwa penistaan agama Antonius Richmond Bawengan sebanyak lima tahun penjara dinilai terlalu ringan.

Dua cerita di atas hanya sekelumit cerita kecil dari ratusan kekerasan atas nama agama, suku, dan perbedaan lainnya yang terjadi di Tanah Air. Mabes Polri pernah mengungkap sepanjang tahun 2007-2010 terjadi 107 kekerasan. Polisi mengungkap, setidaknya terdapat tiga ormas yang kerap kali terlibat dalam kasus kekerasan tersebut.

Tapi sampai saat ini ketiga ormas yang disebut Kapolri yang saat itu dijabat Jenderal Bambang Hendarso Danuri, masih tetap ada dan terus menjalankan aktivitasnya, melakukan kekerasan!.

Dari sini terlihat bahwa pemerintah melalui aparat penegak hukum tidak bertindak tegas terhadap setiap kekerasan yang terjadi di negara ini. Karena ketidaktegasan aparat penegak hukum itulah, sebagian kecil masyarakat memanfaatkan peluang tersebut dengan terus melakukan kekerasan dalam setiap hal yang mereka yakini. Karena mereka juga punya keyakinan tak ada dihukum!.

Kuncinya adalah penegakan hukum! Jika aparat penegak hukumnya tegas, pasti tak ada lagi tindakan kekerasan yang diorganisir dan dijadikan tren oleh kelompok tertentu.

Di negeri ini terdapat seribu perbedaan. Tak terbayangkan jika seribu perbedaan ini selalu disikapi dengan kekerasan, penyerbuan, membawa golok dan parang. Apa jadinya negeri ini.

Semoga saja, polisi semakin bertindak tegas dalam menyikapi masalah yang sangat serius ini. Setajam apapun perbedaan yang terjadi di masyarakat, polisi seharusnya berada di tengah dan tidak boleh membiarkan terjadinya kekerasan. Apalagi hanya menjadi penonton

Kesalahan Fatal Krisdayanti


Syukri Rahmatullah
Jum'at, 23 Juli 2010 - 17:14 wib

Usai Ariel datanglah Krisdayanti. Mungkin itu tepat untuk menggambarkan pemberitaan media hiburan mengenai selebriti Indonesia. Ariel, Luna, Tari menjadi tersangka, kini muncul Krisdayanti, yang mungkin bisa jadi menyusul menjadi tersangka juga.

Lho, apa pasal?. Hal ini karena aksi ciuman di depan kamera yang dilakukan Yanti dengan kekasih barunya, Raul Lemos. Mungkin sepintas tak ada yang salah dengan ciuman dua insan yang tengah di mabuk asmara itu, wajar-sajar saja.

Tapi, melakukannya di depan televisi yang besar peluangnya ditonton anak-anak adalah peristiwa yang bisa diperkirakan atas nama asusila!. Lihat saja pasal 281 dan pasal 282 mengenai asusila.Bukan main-main, tindakan itu bisa dikenakan hukuman penjara 2 tahun 8 bulan.

Ditambah lagi, meskipun mereka sudah resmi berpacaran, Raul Lemos belum resmi bercerai. Sidang cerai perdana Raul Lemos dengan istrinya, Silvalay Noor Athalia ini baru akan digelar 6 Agustus mendatang.

Karena dua hal di atas itulah, ciuman Krisdayanti dan Raul Lemos masuk dalam kategori kesalahan yang fatal. Jika saja, Raul sudah resmi bercerai. Dua-duanya menyandang status duda dan janda, maka mungkin lain lagi persoalannya.

Tapi tetap saja, dua insan yang belum resmi menikah tidak etis mempertontonkan ciuman di depan publik, apalagi di depan media massa, yang kemudian menyiarkan aksi tersebut.

Sepertinya aksi ciuman ini akan menghantarkan Krisdayanti dan Raul Lemos ke dalam jeruji penjara. Karena, dia selain diancam dengan pasal 281 dan 282 KUHP, dia juga bisa dijerat dengan UU Pornografi. Karena keduanya dengan sengaja mempertontonkan pornografi.

Apakah Krisdayanti akan menyusul Ariel di dalam jeruji penjara, karena aksi ciuman bibirnya itu? Kita lihat saja nanti.

Video 'Ariel', Persaingan Bisnis atau Dendam?



Syukri Rahmatullah
Selasa, 22 Juni 2010 - 16:58 wib

SUDAH tiga pekan pemberitaan mengenai video mirip Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari berada di urutan teratas dari berita yang paling dibaca masyarakat. Ini artinya pembaca sangat ingin tahu mengenai kasus yang melibatkan tiga orang selebriti Tanah Air tersebut.

Di satu sisi, berita skandal mengenai tiga selebriti tersebut mendongkrak jumlah pembaca. Akan tetapi di sisi lain, peristiwa ini membuat miris jiwa kita sebagai orang timur. Apalagi mendengar, video mesum ini mengakibatkan dua bocah SD mencabuli seorang bocah SD lainnya di Jawa Timur.

Dilema! Yak itu lah yang dialami wartawan yang turut meliput pemberitaan mengenai video porno mirip Ariel, Luna Maya dan Cut Tari itu. Akan tetapi, tugas harus tetap dilaksanakan. Mengungkap fakta kepada masyarakat.

Ditambah lagi, ketiga narasumber berita penting tersebut tidak kunjung memberikan pernyataan yang lugas dan tegas mengenai video porno tersebut. Sehingga terkesan, video tersebut benar video mereka, akan tetapi mereka malu mengakuinya.

Akibatnya kejar-kejaran, dorong-dorongan terjadi antar wartawan dan selebriti yang hendak diwawancarai. Sehingga beberapa insiden pun terjadi, seperti perusakan kamera dan terlindasnya wartawati Tabloid Nova. Mungkin hal ini memang tidak disengaja, akan tetapi jika ketiga artis Ibu Kota itu mau berbicara lugas, tapi hal-hal seperti ini tidak akan pernah terjadi.

Tadi pagi, Selasa 22 Juni Mabes Polri telah menetapkan Ariel sebagai tersangka dalam kasus video porno. Luna Maya dan Cut Tari masih sebagai saksi. Polisi juga belum menetapkan tersangka, yang menyebarkan video tersebut.

Meskipun polisi tidak secara lugas mengatakan bahwa bintang video tersebut adalah Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari, penetapan Ariel sebagai tersangka adalah ‘bahasa lain’ dari kepolisian bahwa memang merekalah bintangnya.

Lalu siapa penyebarnya? Apa motifnya? Misteri ini yang hingga kini belum berhasil diungkap penyidik Mabes Polri. Bisik-bisik sesama wartawan pun menimbulkan gosip baru. Ada yang bilang, bahwa pelakunya adalah pengusaha ternama di Jakarta, yang kesal dan dendam terhadap Ariel, karena istri simpanannya pernah ditiduri Ariel dan direkam dalam salah satu video, yang gosipnya total ada 23 video.

Ada juga bisik-bisik yang lain yang menyebutkan bahwa pelakunya adalah teman dekatnya sendiri. Motifnya juga dendam, tidak ingin band dengan nama baru yang akan didirikan Ariel dan rekan-rekannya itu sukses di pasaran. Penulis ingin menekankan, kedua hal ini adalah gosip, boleh didengar, boleh dibicarakan tapi tidak boleh dipercaya, apalagi diberitakan, sebelum ada fakta yang jelas.

Penulis pun sempat berbincang-bincang dengan sejumlah musisi yang pernah malang melintang di dunia industri musik. Mereka mengakui bahwa memang ada mafia di dalam industri musik. Mafia ini bertugas bagaimana menjegal produk (grup band, penyanyi) kompetitor agar tidak sukses, mafia ini juga bertugas untuk menaikkan popularitas produk mereka sendiri dengan isu atau gosip murahan.

Salah satu musisi tersebut bahkan mengaku pernah ikut dalam salah satu meeting, yang membicarakan rencana kotor untuk menjegal produk lawan. Misalnya, jika kompetitor ingin me-launching sebuah album atau band baru. Maka, dilakukan berbagai macam cara untuk menjegalnya, dengan menghalalkan segala cara.

Dari menghembuskan isu-isu yang tidak benar sampai kepada penjegalan dengan cara membunuh karakter orang yang dituju. Tentunya ini bukanlah cara yang benar dan pantas untuk dilakukan, tapi itu memang nyata.

Semoga saja, kedua hal tadi hanya gosip murahan dan tidak benar adanya. Jika seandainya benar maka sungguh sangat ironis dan tidak dapat dibenarkan secara akal sehat. Seharusnya persaingan di antara sesama industri musik dilakukan dengan menciptakan karya yang lebih baik, bukan malah saling menghancurkan.

*diterbitkan di www.okezone.com

Selebriti Anak, Eksploitasi di Era Modern?

Syukri Rahmatullah
Senin, 17 Mei 2010 - 17:17 wib

ARTIS muda Arumi Bachsin kabur dari rumah. Dia kabur bukan diajak seorang pria yang dikenalnya dari jejaring sosial seperti facebook atau karena diculik pria yang baru dekat dengannya.

Bintang iklan berusia 16 tahun ini kabur dengan kesadarannya sendiri, karena ingin protes kepada ibunya Maria Liana Pesch, yang menurut Arumi telah mengeksploitasi dirinya di dunia entertainment.

Sungguh mengejutkan! Karena selama ini, Arumi selalu tampil dengan senyumnya di layar kaca, baik sebagai bintang iklan, sinetron ataupun di tayangan infotainment.

Pengakuan Arumi ini mengingatkan penulis dengan kasus beberapa waktu lalu, yang juga melibatkan Komnas Perlindungan Anak. Ya, artis muda yang juga mengaku dieksploitasi adalah Aurelie Moremans.

Tapi, dia bukan dieksploitasi oleh ibunya sendiri. Dia mengaku dieksploitasi oleh production house yang cukup ternama di Indonesia. Dia pun meminta perlindungan dari lembaga yang dipimpin Seto Mulyadi.

Dua kasus ini merupakan contoh yang mungkin juga terjadi terhadap selebriti anak lainnya. Karena, sejauh ini banyak selebriti anak yang sering tampil di layar kaca melalui sinetron striping, iklan, bahkan menyanyi.

Munculnya artis cilik memang sudah terjadi sejak lama, sebut saja Rano Karno, Adi Bing Slamet, Ira Maya Sopha dan lain-lain. Namun, saat itu televisi hanya ada satu yaitu TVRI. Maka, artis di bawah umur saat ini belum begitu banyak.

Seiring tumbuhnya dunia hiburan, tumbuh juga production house dan manajemen artis yang merekrut dan mencari artis-artis cilik. Di tahun 1990-an pun artis cilik semakin ramai. Sebut saja Joshua, Sherina, Tina Toon, Derby, dan banyak lagi.

Kemudian di era sekarang ada Baim, Fahri ‘Entong’ di dunia sinetron, ada juga grup band anak-anak seperti Lucky Laki yang dibentuk pentolan Republik Cinta Manajemen, Ahmad Dhani. Selain itu ada juga grup band yang relatif sama, yaitu Pangeranku dan Radja Cilik.

Menyalurkan bakat dan hobi anak memang bagus, akan tetapi ketika menjadi tenar dan memiliki tawaran manggung yang cukup banyak, bisa jadi godaan untuk mengeksploitasi anak muncul di depan mata. Karena, bagaimana pun ‘aji mumpung’ sering kali muncul di dunia hiburan.

“Mumpung terkenal, sikat aja sekalian setiap tawaran yang masuk” begitu seringkali ucapan atau keinginan yang ada di kepala ketika si artis namanya naik daun. “Urusan sekolah, belakangan saja kalau sudah tidak tenar lagi” inilah ucapan selanjutnya.

Aji mumpung ini akhirnya menggadaikan dunia pendidikan ataupun waktu bermain yang merupakan ‘jatah’ bagi seorang anak. Karena sudah tenar, dia ‘dipaksa’ untuk bekerja oleh orangtuanya ataupun production house, agar memenuhi target yang diharapkan. Yang parah, ketika yang memaksa tidak punya target sama sekali.

Dalam pantauan penulis, selebriti biasanya terpecah ke dalam tiga sikap dalam menghadapi masalah aji mumpung ini dan dunia pendidikan. Pertama, menyetop dunia hiburan untuk sementara dan menuntaskan pendidikan terlebih dahulu. Biasanya, di mata artis ini pendidikan lebih penting.

Kedua, artis yang memanfaatkan ketenaran untuk meraup uang sebanyak-banyaknya. Ketika dirasa, ketenarannya sudah mulai menurun, barulah dia memilih ke bangku sekolah. Meskipun bisa dibilang terlambat.

Ketiga, ada artis yang sama sekali tidak menganggap penting pendidikan dan lebih memiliki dunia hiburan. Biasanya, artis ini berpikir toh tanpa pendidikan dia bisa mencari uang yang banyak. Baginya, pendidikan hanya alat untuk mencari uang belaka.

Kasus Arumi Bachsin ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah (sebagai pemangku kebijakan), Komnas Perlindungan Anak (KPA), pegiat dunia hiburan (sebagai pelaku), dan juga orangtua si anak (pelaku). Bahwa, anak memiliki hak untuk menikmati kehidupannya sebagai seorang anak, bukan kemudian menjadi sapi perah untuk mencari uang.

Semoga saja tidak muncul lagi kasus-kasus eksploitasi seperti yang dialami Arumi Bachsin, Aurelie Moremans, dan artis-artis muda lainnya.

*diterbitkan di www.okezone.com

Rabu, 27 April 2011

Akhirnya, Dia Mengaku Juga!




Syukri Rahmatullah
Senin, 12 April 2010 - 15:10 wib

AKHIR pekan kemarin seolah menjadi pekan pengakuan dosa. Anji ’Drive’ mengakui Leticia sebagai anaknya. Belum juga usai, kejutan kembali dari Krisdayanti yang mengaku berpacaran dengan Raul Lemmos.

Dua buah pengakuan ini sangat-sangat mengejutkan. Karena, selama ini keduanya menutup rapat-rapat dugaan ataupun kecurigaan masyarakat yang muncul di media massa. Bahkan, kerap kali isu tersebut ditepis keduanya bak sampah dan upaya media mencari sensasi belaka.

Akhirnya, fakta berbicara lain. Dengan wajah tertunduk, mereka mengakui kebenaran kabar yang disampaikan media di depan media.

Pengakuan Anji dan Krisdayanti memang secara langsung menimbulkan cibiran di kalangan masyarakat. Misalnya Anji yang dituding pengecut, karena baru sekarang mengaku. Padahal Sheila sudah memberitahunya sejak awal dia ditahan untuk kedua kalinya.

Anji beralasan waktunya belum tepat. Sebuah pernyataan yang bisa dibilang klise untuk seorang pria gentle sekelas Anji.

Sedangkan Krisdayanti, disebut munafik. Karena dia berkali-kali membantah di media massa bahwa dia berhubungan dengan pengusaha asal Timor Leste yang masih beristri, Raul Lemmos.

Namun kabar kedekatan KD dengan Raul terus berhembus. Bahkan, saat kabar keduanya menikah di Maumere, Timor Leste, wartawan pun menjadikan KD sebagai target utama liputan mereka. Sampai akhirnya, KD kesal karena terus dibuntuti wartawan saat menjemput Aurel dari tempat sekolahnya.

Dari ungkapan mereka saat jumpa pers, ada beberapa hal yang diduga memicu keduanya muncul di media massa. Namun yang jelas, salah satu dorongan yang utama adalah mereka ingin kontroversi ini berakhir.

Dari keduanya tersirat dengan munculnya mereka di media dan mengungkapkan semua, mereka ingin kontroversi yang melibatkan mereka selesai usai jumpa pers.

Akan tetapi, munculnya Anji dan Krisdayanti di media massa merupakan budaya baru di kalangan selebriti. Selama ini, selebriti memilih menyimpan rapat-rapat rahasia mereka sekuat tenaga, sampai kapanpun, dan berharap media melupakannya.

Misalnya hubungan Mayangsari dengan Bambang Trihatmojo. Padahal putra keluarga Cendana ini masih memiliki istri. Keduanya sama sekali tidak mau mengaku kepada media. Sampai akhirnya sebuah foto muncul yang menggambarkan kemesraan mereka.

Kasus lain juga soal kedekatan Ahmad Dhani dengan Mulan, yang diduga menjadi penyebab perceraian Dhani dengan Maia Estianty. Dhani dan Mulan sampai sekarang mengelak. Mudah-mudahan saja mereka benar-benar tidak ada hubungan apa-apa.

Setidaknya, kasus Anji dan Krisdayanti bisa menjadi contoh bagi selebriti yang lain. Dua pelajaran yang dapat dipetik. Pertama, berhati-hati. Karena seorang selebriti tak lepas dari kehidupan pribadi. Jika ada masalah dalam pribadi mereka, justru itu yang akan mencuat di media ketimbang prestasi.

Lihat saja, grup band Anji, Drive. Saat mereka jumpa pers pembuatan klip baru, wartawan malah lebih tertarik bicara soal anak biologisnya Leticia. Begitu juga dengan KD, sekalipun dia berduet dengan Siti Nurhaliza, ketika muncul wartawan lebih suka bicara soal Raul.

Kedua, kejujuran. Jika sudah terjadi sesuatu hal yang bisa mencoreng namanya, segeralah jujur. Ketimbang menjadi target utama media massa. Mengulur bukanlah solusi yang tepat mengatasi masalah, karena mengulur masalah hanya akan menambah masalah saja.

Terlebih, jika selebriti tersebut memiliki karya. Maka karyanya akan tenggelam dengan masalah tersebut. Semoga saja ke depan Anji dan Krisdayanti bisa menjadi contoh yang baik.

Lepas Gogon, Datanglah Imam S Arifin

Syukri Rahmatullah
Kamis, 25 Maret 2010 - 17:16 wib

Akhir pekan lalu, masyarakat mendapatkan kabar gembira. Pelawak yang cukup tenar dari grup Srimulat, Gogon, baru saja bebas dari lembaga pemasyarakatan. Dia baru saja bebas bersyarat, setelah menjalani 2/3 hukumannya 5 tahun, yaitu 2 tahun, 8 bulan penjara.

Saat tampil di salah satu stasiun TV, pemilik nama Margono ini mengaku kapok masuk penjara dan berjanji tidak akan mengulangi tindakan bodohnya itu. Pernyataan ini sedikit melegakan, setidaknya dia sudah menyadari dan kapok untuk mengonsumsi narkoba lagi. Karena bagaimana pun selebriti, kerap menjadi panutan masyarakat dalam bertindak.

Namun, belum juga sebulan, kabar buruk datang lagi. Musisi dangdut senior Imam S Arifin ditangkap karena diduga membawa barang sejenis narkoba, di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta, pukul 03.00 WIB, Kamis, 25 Maret 2010.

Imam dicurigai dua petugas polisi, Bripka Fauzan dan Briptu Doni sedang melakukan transaksi narkoba di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Polisi pun membuntuti dan menggeledah mobil tersebut di kawasan Jalan Pangeran Jayakarta.

Di sana ditemukan sebuah benda mirip sabu-sabu dan empat butir pil viagra. Namun, dalam penyelidikan polisi di laboratorium, benda tersebut bukanlah sabu-sabu karena tidak mengandung amphetamine.

Akan tetapi, polisi melakukan tes urine dan terbukti bahwa Imam mengonsumsi narkoba. Saat diinterogasi juga, Imam mengakui membeli narkoba yang belakangan diketahui palsu di kawasan Tangki, Jakarta Barat. Karenanya, dia dituntut atas pasal penggunaan narkoba.

Kisah Imam S Arifin ini mengingatkan masyarakat tentang selebriti senior yang dua kali masuk penjara karena narkoba, yaitu Roy Marten. Ayah dari presenter Gading Marten ini pertama kali ditangkap dalam kasus narkoba Februari 2006, di sebuah rumah temannya di kawasan Ulujami, Jakarta Selatan.

Saat itu, Roy diketahui memiliki 2,6 gram sabu-sabu. Dia pun divonis selama Sembilan bulan. Mendapatkan remisi satu bulan, Roy Marten akhirnya bebas 1 Oktober 2006.

Keluar dari penjara, Roy mengaku bertobat. Dia pun sering didaulat mengisi forum-forum anti narkoba di banyak tempat. Akan tetapi nahas kembali menimpa dirinya.

Beberapa hari usai menghadiri dan memberikan testimoni kampanye penanggulanan penggunaan narkoba di gedung Graha Pena, Surabaya yang dihadiri Kapolri saat itu, Jenderal Polisi Sutanto, Roy Marten kembali berulah.

Roy tertangkap sedang berpesta sabu-sabu di sebuah hotel mewah di kawasan Ngapel, Surabaya. Di kamar 465, Roy bersama empat temannya diketahui memiliki 1,5 ons sabu-sabu di laci meja, alat hisap, alumunium foil, timbangan, hape dan korek api.

Seakan tak kapok, Roy kembali masuk jeruji penjara. Dia masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang dan baru bebas 18 Agustus 2009 lalu.

Potret sejumlah selebriti yang terjerat narkoba menggambarkan bahwa, kehidupan selebrititas penuh dengan godaan. Bukan hanya uang dan wanita yang merupakan fans mereka, akan tetapi juga narkoba.

Semoga saja, penggambaran sejumlah selebriti yang terjerat narkoba di atas bisa menjadi pelajaran penting. Bahwa popularitas yang dibina bertahun-tahun lamanya, bisa saja dalam sekejap sirna hanya karena narkoba. Maka, berhati-hatilah.

Mungkinkah Pajak Artis Diturunkan?

Syukri Rahmatullah
Kamis, 11 Maret 2010 - 15:09 wib

Siang itu, Gedung Nusantara III DPR mendadak heboh. Wajah-wajah ganteng dan cantik yang biasa muncul di layar kaca berada di sana. Ya, mereka adalah artis yang tergabung dalam Persatuan Artis Sinetron Indonesia (Parsi).

Dipimpin artis senior Anwar Fuady mereka melangkah pasti naik lift menuju ruang pimpinan DPR. Mereka ingin bertemu dengan Ketua DPR Marzuki Alie. Meskipun tanpa berdemo, mereka ingin menyampaikan aspirasi dan keluhan kepada wakil rakyat. Mereka mengeluhkan tingginya pajak terhadap artis saat ini.

Dalam aturan yang baru, artis dikenakan pajak 30 persen jika berpenghasilan minimal Rp500 juta pertahun. Berpenghasilan Rp250-Rp500 juta dikenakan pajak 25 persen, Rp50 juta dikenakan 15 persen, sedangkan di bawah itu dikenakan pajak 5 persen.
Akan tetapi, bukannya mendukung aspirasi artis, mantan Sekjen Partai Demokrat ini malah memberikan ceramah tentang pentingnya pajak bagi negara. Dia pun meminta agar Parsi mendatangi komisi IX dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Dirjen Pajak M Tjiptardjo enggan menanggapi aspirasi para selebriti ini. Dia beralasan, pajak penghasilan artis itu sudah masuk ke dalam undang-undang dan tidak mudah mengubah undang-undang.

Lalu, sebenarnya apa sih masalah artis dalam soal perpajakan? Anwar Fuady menilai peraturan pajak yang baru, yaitu 30 persen dari Rp500 juta dinilai sangatlah besar dan mencekik penghasilan artis. Mereka pun mendesak agar pemerintah mengurangi persentase pajak menjadi 15 persen saja secara flat.

Sebelum undang-undang PPH No 36 tahun 2008 diberlakukan tahun 2009 lalu, artis dikenakan pajak sebesar 5 persen. Tapi, kemudian dalam UU baru ini, artis dikenakan pajak berdasarkan penghasilannya pertahun.

Memang disadari bahwa pajak adalah urat nadi dari sebuah negara. Tanpa pajak, sulit rasanya negara melakukan pembangunan jalan raya, dan fasilitas pemerintah lainnya.
Akan tetapi, tak ada salahnya pemerintah juga berempati kepada para selebriti. Atau minimal duduk bersama kembali, untuk merumuskan pajak yang patut untuk para pesohor itu.

Jika dihitung jumlah 30 persen memang tidaklah sedikit. Uang Rp500 juta yang dihasilkan melalui syuting hingga dini hari selama berbulan-bulan, akan tetapi harus dipotong sebesar Rp150 juta untuk negara.

Karena bagaimanapun berprofesi sebagai selebriti tidaklah mudah. Apalagi di zaman sekarang, di masa persaingan semakin ketat dan kompetitif. Artis pendatang baru, bisa dengan cepat menggeser artis lainnya.

Semoga saja, permasalahan pajak yang mencekik para selebriti ini menemukan jalan keluar. Karena bagaimanapun, mereka cukup berjasa dalam mewarnai jagat hiburan tanah air.