Minggu, 17 Januari 2010

Perlukah Sekolah Wakil Rakyat?


Syukri Rahmatullah
Jum'at, 8 Januari 2010 - 10:36 wib

PERNYATAAN presiden keempat almarhum Abdurahman Wahid beberapa tahun silam yang menyebut anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai taman kanak-kanak, bisa jadi membuat merah kuping ratusan anggota dewan saat itu.

Apalagi setelah Gus Dur dilengserkan, mantan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU ini malah menurunkan tingkatannya menjadi play grup. Lebih rendah dari taman kanak-kanak.

Tahun-tahun itu mungkin boleh saja mayoritas partai tak sepakat dengan pernyataan Gus Dur, yang sangat nyeleneh itu. Akan tetapi, beberapa tahun belakangan julukan yang diberikan Gus Dur sepertinya bisa menjadi benar adanya.

Lihat saja, adu mulut antara anggota Partai Demokrat Ruhut Sitompul dan anggota PDI Perjuangan Gayus Lumbuun, dalam rapat Pansus Angket Kasus Century. Keduanya sama sekali tidak menunjukkan kualitas mereka sebagai wakil rakyat.

Bahkan,anggota DPR dari partai pemenang pemilu itu dengan santainya di depan media massa memaki-maki Gayus Lumbuun, yang saat itu sedang memimpin rapat Pansus, dengan kata-kata (maaf) “bangsat”.

Adu mulut ini merupakan kali kedua di antara keduanya. Sehari sebelumnya, adu mulut cukup keras pun terjadi di antara keduanya. Meskipun panas, tidak sempat keluar kata-kata kotor dari mulut kedua anggota dewan yang terhormat itu.

Apapun yang diperdebatkan saat itu. Penulis pikir semua orang setuju bahwa kata-kata kotor tidak pantas keluar di dalam sidang anggota dewan. Yang lebih ironis, Ketua Fraksi Partai Demokrat Anas Urbaningrum menganggap hal tersebut adalah hal biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan.

Dari sini terlihat, bahwa Partai Demokrat menganggap kata-kata “bangsat” yang keluar dari mulut seorang Ruhut Sitompul adalah hal yang biasa dan tidak perlu dibahas ataupun ’dibenahi’.

Ada pepatah bilang guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Jika ada anggota dewan yang emosi lalu mengucap kata ”bangsat” di dalam sebuah rapat lembaga terhormat. Kira-kira apa yang akan dikatakan anggota dewan kelurahan ketika emosi dalam membahas kepanitian 17 Agustusan?

Memang tidak ada sekolah khusus untuk menjadi anggota DPR. Akan tetapi, sebagai wakil rakyat seharusnya mereka menyadari betul, bagaimana beretika sebagai wakil rakyat. Tidak bisa mereka bertindak seenaknya.

Kesadaran beretika di kalangan anggota dewan sebenarnya pernah muncul, ketika banyak kasus asusila yang muncul, seperti korupsi sampai main perempuan.

Dibentuklah Badan Kehormatan DPR, yang salah satu pimpinannya adalah Gayus Lumbuun. Akan tetapi, melihat kejadian adu mulut yang memalukan itu, seperti Badan Kehormatan DPR saja tidak cukup untuk mendisiplinkan wakil rakyat.

Meskipun dipilih rakyat, anggota dewan yang duduk di DPR merupakan kader-kader partai politik yang mengusungnya. Karenanya, seharusnya disiplin ditegakkan lewat partai politik pengusungnya.

Pencegahan dini sebenarnya bisa dilakukan oleh partai politik. Yaitu dengan cara menyeleksi ketat calon perwakilannya di parlemen. Melihat attitude, pendidikan, kapabelitas, apakah si calon pantas duduk di DPR.

Akan tetapi, sering kali demi mendulang suara partai politik menggadaikan pendidikan, kepantasan, dan attitude seseorang untuk duduk di dewan. Yang penting terkenal di masyarakat, bisa mendulang suara, maka dia bisa menjadi calon anggota DPR. Maka, wajar saja dalam pemilu 2009 kemarin banyak selebriti yang menjadi calon anggota dewan. Inilah hasilnya.

Atau lebih ekstrem lagi. Perlukah sekolah wakil rakyat? Sehingga seseorang yang akan melamar untuk maju sebagai calon wakil rakyat dari partai politik tertentu harus memiliki sertifikat sekolah wakil rakyat?

Karena bagaimana pun calon anggota DPR hanya sekedar mendapatkan pembekalan selama tiga hari, atau paling lama sepekan. Kebanyakan isinya juga bukan soal bagaimana menjadi anggota DPR yang baik menjaga etika dan lain sebagainya.

Semuanya berpulang kepada partai politik. Jika partai politik tidak mau atau tidak berani menindak anggota yang tidak beretika dan hanya mengganggapnya wajar, maka akan ada balasannya. Memang tidak ada sanksi secara langsung. Tapi ingat, sanksi dari masyarakat akan berlaku di pemilu mendatang.

Politik Rekaman Melawan Makelar Kasus


Syukri Rahmatullah
Selasa, 10 November 2009 - 16:39 wib

Beberapa hari yang lalu, Mahkamah Konstitusi memutar rekaman penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Anggodo Widjojo. Isinya cukup mengejutkan! Anggodo beberapa kali melakukan komunikasi dengan sejumlah orang penting di kalangan penegak hukum. Misinya adalah menyelamatkan kakaknya Anggoro Widjojo, yang dijadikan buronan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam rekaman itu, dia juga menyebut pejabat kunci di lembaga penegakan hukum. Seperti Kabareskim Mabes Polri Komjen Polisi Susno Duadji, Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga. Bahkan, yang lebih mengejutkan, nama orang nomor satu di republik ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan sebutan RI 1.

Sebenarnya, rekaman yang menyebut soal RI 1 bukan yang pertama kali ini muncul. Rekaman yang sama, sebelumnya sudah beredar di kalangan media massa. Namun, tidak selengkap rekaman penyadapan yang diputar di Mahkamah Konstitusi, yang mencapai empat jam lebih.

Kontan saja Presiden SBY berang dan langsung memerintahkan juru bicara Presiden, Dino Pati Djalal untuk menggelar jumpa pers untuk membantah hal tersebut.

Setelah pemutaran rekaman di MK, Presiden SBY pun kembali menggelar jumpa pers secara langsung, tanpa diwakili juru bicara presiden ataupun anak buahnya di kabinet. Saat itu, Presiden mengaku namanya dicatut di dalam rekaman. Merasa dirugikan, pasti. Namun, sampai tulisan ini dibuat, Presiden tidak mengusut atau menyuruh jajaran kepolisian atau intelejen untuk mengusut perihal pencatutan namanya ini.

Kasus ini pun kemudian menggelinding terus. Bibit Samad Rianto, Chandra Hamzah, dan KPK mendapat simpati masyarakat, Polri pun mendapat simpati dari Komisi III DPR. Sejumlah nama yang disebut pun didesak mundur atau dipecat. Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga memilih mundur dari jabatannya. Kabareskrim Komjen Polisi Susno Duadji juga dikabarkan mengajukan pengunduran diri, namun Kapolri tidak memberhentikannya, melainkan hanya menonaktifkannya sementara.

Melihat pemutaran rekaman ini, penulis teringat kembali pemutaran rekaman yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Sebut saja, rekaman percakapan antara Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani (Ayin), wanita yang diduga makelar kasus BLBI.

Dalam rekaman tersebut disebut-sebut sejumlah petinggi di Kejaksaan Agung, misalnya Jamintel Wisnu Subroto. Pria bertubuh tambun ini juga terdapat dalam rekaman penyadapan Anggodo Widjojo. Tercatat dua kali dia berkomunikasi melalui telepon dengan Anggodo.

Namun dalam kasus Artalyta ini, Wisnu Subroto selamat. Jaksa Agung Hendarman Supandji hanya mencopot Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman, Direktur Penyidik di Jampidsus Muhammad Salim, dan Jaksa Agung Muda bidang Pidana Umum (lupa).

Selain kasus Artalyta suryani, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengungkap kasus korupsi dengan cara penyadapan. Masih ingatkah dengan kasus yang melibatkan anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Al Amin Nasution.

Saat itu, KPK mengungkap pembicaraan Al Amin Nasution dengan makelar kasus untuk melemahkan pengawasan DPR terhadap konservasi alam yang ingin dijadikan tempat usaha di Bintan (perlu dicek lagi di google).

Dalam kasus penyadapan ini, Al Amin Nasution bak sebuah anekdot 'Sudah Jatuh Tertimpa Tangga'. Karena, selain ditangkap dan ditahan, Al Amin juga digugat cerai istrinya yang cantik yang juga penyanyi ternama, Kristina. Apa pasal?

Pasalnya, dalam rekaman tersebut terungkap Al Amin mendapatkan 'bonus' wanita dari makelar kasus, untuk kesuksesannya menggolkan upaya markus tersebut. Kristina pun menyadari, bahwa suaminya yang notabene dari partai Islam itu, diduga menikmati 'bonus' tersebut.

Sejumlah rekaman ini dan rekaman yang mengungkap kasus suap dan korupsi ini punya dampak positif, tapi ada juga dampak negatif. Salah satu dampak negatifnya adalah, merusak keluarga mereka (berkaca dalam kasus Kristina dan Al Amin Nasution).

Akan tetapi, kepentingan yang lebih besar tetaplah harus didahulukan. Karenanya, penyadapan terhadap orang yang diduga melakukan penyuapan, penerima suap, dan koruptor haruslah tetap berlangsung. Tapi, tetap harus melalui prosedur yang benar dan tidak asal sadap.

Fenomena penyadapan dan pemutaran rekaman ini membuka mata masyarakat luas bahwa ternyata di lembaga-lembaga hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan Agung masih dihinggapi makelar kasus. Bahkan, di lembaga perwakilan rakyat!. Ironis memang, sudah 10 tahun reformasi digulirkan, ternyata kedua institusi hukum tersebut, belum juga melakukan reformasi di tubuh mereka.

Pantas saja, beberapa tahun lalu dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai salah satu lembaga baru, yang diharap bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat, bahwa pemberantasan korupsi masih berjalan di Indonesia. Dengan harapan, kedua lembaga institusi hukum yang sudah puluhan tahun dibentuk, Kepolisian dan Kejaksaan berbenah diri.

Pada akhirnya, kasus Anggodo dan Anggoro ini menunjukkan kepada kita, bahwa tugas mereformasi lembaga hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan Agung masih berjalan di tempat. Tapi, bukan berarti reformasi di kedua lembaga tersebut tidak bisa dilakukan, pasti bisa!

Semoga saja, jutaan rakyat yang terus memasang mata melalui media massa dalam mengawal kasus ini bisa menjadi kekuatan baru untuk menata dari awal reformasi Kepolisian dan Kejaksaan.

Jumat, 15 Januari 2010

Menjadi Media Darling

Tulisan ini mengingatkan saya saat berdiskusi dengan sejumlah aktivis Gema Satu dan eks aktivis 98 yang tengah melakukan aksi menginap di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di malam itu, diskusi dinikmati bersama dengan beberapa cangkir kopi dan kepulan asap rokok.

Mereka bertanya kepada saya, kenapa demontrasi yang mereka lakukan beberapa kali, sangat minim sekali pemberitaan media. Padahal apa yang mereka lakukan adalah hal besar, yaitu mengawal penyelesaian kasus Bank Century, yang sedang diusut KPK.

Sejumlah argumentasi pun mereka sampaikan, hingga tudingan miring, yang saya sebut sebagai keputusaan, mereka alamatkan kepada sejumlah media yang tidak meliput.

Pertanyaan ini bukan hanya muncul dari kalangan aktivis, dari kalangan politisi, ormas, bahkan perusahaan pun juga muncul. Mereka sering bertanya, apakah ini menarik untuk media? Apakah ini bisa menjadi berita?

Menjadi media darling atau kekasih media, tak ubahnya menjadi kekasih bagi seorang wanita atau pria. Jika, kita berhasil merebut hatinya, maka kita akan menjadi kekasihnya. Lalu, seperti apakah hatinya media? Di sinilah yang harus dicari dan dipelajari, apa keinginan hati media.

Ada beberapa cara yang biasanya dilakukan beberapa kelompok/orang untuk mendapatkan hati media. Pertama, sama seperti halnya menaklukkan wanita, tidak sedikit orang yang mencoba menaklukkan wanita dengan cara memberinya materi. Membelikannya perhiasan, rumah, hingga mobil mewah. Apakah hati wanita tersebut bisa didapatkan, bisa saja.

Tapi mungkin tidak dalam waktu yang lama, cintanya pun tidak tulus.
Sama seperti halnya media. Mungkin jika diperlakukan seperti di atas, bisa saja ada media yang bisa terpikat hatinya. Namun, perlu diingat media tersebut hanya terpikat sementara karena materi yang ditawarkan. Bahkan, lama-kelamaan media itu pun menjadi matre.

Dalam menjerat hati media dengan cara ini, banyak pola dilakukan. Dari pola secara langsung, berupa pemberian materi kepada si reporter. Ada juga yang dilakukan dengan cara memasang iklan dengan jumlah fantastis di media tersebut. Tapi sekali lagi itu hanya sementara, hatinya hanya terpikat saat iklan tersebut dipasang atau kesepakatan dalam waktu tertentu saja.

Kedua, Ada juga yang menggunakan kekuasaan/kekuatan guna mendapatkan hati media. Seorang anak bupati gubernur, menteri, bahkan presiden mungkin mudah saja menaklukkan wanita. Akan tetapi, perlu diteliti apakah wanita itu bisa ditaklukkan karena mencintai dengan tulus, atau kagum dengan kecerdasan atau ketampanan anak pejabat. Atau karena jabatan orangtuanya. Jika begitu, maka tak ubahnya, pola memikat hati ini sama dengan yang di atas, hanya tidaklah murni dan hanya sementara saja.

Hal serupa juga sama yang terjadi dengan media. Tak sedikit pejabat menggunakan kekuasaannya untuk menaklukkan media. Ada yang dilakukan secara langsung dengan mengintimidasi redaksi, ada juga yang dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan cara mengintimidasi pemilik modal media.

Seperti penulis katakan di atas, cara menaklukan hati seperti ini hanya berlangsung sementara. Karena, setelah di pejabat tidak lagi duduk di kekuasaan, hati media tak lagi tertambat kepadanya.

Dari dua pola seperti di atas, bisa berhasil sementara saja. Akan tetapi, dalam kurun waktu tertentu, media akan berselingkuh dengan narasumber yang lain. Dua pola di atas juga akan meninggalkan jejak yang tidak mengenakkan di hati media. Dan itu akan menjadi kesimpulan tersendiri bagi awak media di dalamnya. Pola pertama, akan disimpulkan sebagai narasumber tukang suap, sedangkan yang kedua akan dicap sebagai narasumber yang otoriter.

Ada cara yang lebih gentlemen dalam menaklukkan hati wanita ketimbang dua cara di atas. Yaitu dengan menunjukkan kualitas diri, setia, dan menempatkan diri dengan apa yang disukai dan apa yang tidak disukai wanita yang dicintainya.

Begitu juga dengan media, sebaiknya narasumber menunjukan kualitas diri dan juga menempatkan diri dengan apa yang disukai dan tidak disukai media. Apa saja yang disukai media?

Dalam mencari berita, seorang jurnalis terpaku dengan beberapa unsur yang dianggap layak atau tidak layak menjadi berita. Maka sebisa mungkin, narasumber menempatkan diri masuk ke dalam beberapa unsur yang layak diberitakan media.

Apa saja unsur-unsur yang layak diberitakan oleh media:

Pertama, aktualitas. Seorang jurnalis hanya bisa memberitakan informasi yang aktual bukan yang sudah basi. Sama halnya seperti es krim, semakin lama maka esnya akan semakin meleleh. Begitulah media dalam memberlakukan sebuah informasi. Informasi yang basi, sama sekali tidak bisa dimakan oleh media.

Akan tetapi ada juga sesuatu yang lama, akan tetapi baru terbongkar atau terungkap saat ini bisa menjadi berita. Contohnya, penemuan Surat Lontar Patih Gajahmada. Ada juga penemuan surat Bung Karno kepada Presiden Yugoslavia mengenai pembentukan organisasi non-blok.

Makanya, narasumber sedapat mungkin, jika ingin menyajikan informasi kepada media jangan yang sudah basi atau yang sudah pernah muncul dan diberitakan.

Kedua, proximity (kedekatan). Seorang jurnalis akan terbatas dalam membuat berita. Dia tidak bisa membuat informasi di Papua, jika tidak menyangkut masalah nasional. Dia harus mendapatkan berita yang memiliki kedekatan dengan pembacanya. Misalnya, Koran yang beredar di Jakarta, dia pasti akan lebih banyak mencari berita yang terjadi di Jakarta. Bukan di Papua, Marauke, ataupun daerah nun jauh di sana. Kecuali, jika masalah tersebut sangat besar dan menyangkut masalah nasional.
Kedekatan tidak hanya dalam bentuk wilayah atau pun lokasi. Bisa saja berita di Palestina ataupun di Irak yang jauh di sana menjadi headline media di Indonesia, jika menyangkut tentang Islam. Misalnya, umat Islam diperangi di Palestina oleh Israel.

Ketiga, dampak. Seorang jurnalis harus bisa menganalisis apakah berita yang didapatkannya berdampak atau tidak bagi orang banyak. Misalnya, kenapa berita kenaikan harga BBM mencuat dan menjadi headline media. Hal itu lebih disebabkan, kenaikan BBM akan berdampak bagi kebanyakan orang.

Keempat, humas intertest (menarik minat orang). Berita yang akan disajikan selayaknya menarik minat orang untuk membacanya. Untuk mengukur ketertarikan, dalam buku Jurnalistik, Teori & Praktik, disebutkan terdapat 10 item yang dinilai bisa membuat orang tertarik membaca:

1. Ketegangan (suspense). Kebanyakan orang akan tertarik membaca berita yang di dalamnya ada unsur ketegangan. Misalnya, soal penculikan seorang anak pengusaha bernama Raisya. Setiap hari media mengupdated perkembangan pencarian Raisya hingga akhirnya Raisya berhasil ditemukan. Berita ini sangat menarik minat pembaca.

2. Ketidaklaziman. Peristiwa atau sesuatu yang tidak lazim akan menarik perhatian dan minat pembaca. Misalnya, batu ajaib Ponari di Jawa Timur yang kabarnya bisa menyembuhkan segala penyakit. Ada juga pohon menangis di Jakarta Barat, yang akhirnya ditebang karena dikerubuti masyarakat yang mengambil airnya, katanya untuk menyembuhkan penyakit.

3. Minat pribadi. Misalnya soal tukang urut yang bisa membuat cepat langsing. Atau alat yang bisa mengirit penggunaan listrik. Berita ini, menarik minat sebagian orang saja yang berhubungan dengan yang diberitakan.

4. Konflik. Berita yang mengangkat pertentangan, pro kontra selalu menarik perhatian orang untuk membaca. Menurut sosiolog, kebanyakan orang menaruh perhatian kepada konflik. Apalagi jika mereka tidak mengalaminya.

5. Simpati. Seorang bayi yang masih merah ditinggalkan ibunya di selokan. Hal itu dilakukan karena bayi tersebut hasil hubungan gelapnya dengan pria lain. Berita ini menaruh simpati kepada bayi yang sama sekali tidak memiliki dosa.

6. Kemajuan (dalam hal teknologi). Untuk mengatasi kemacetan, pemerintah Jakarta membuat jalur busway. Bus ini akan dibuat beberapa jalur, sehingga pekerja di Jakarta tidak terhambat kemacetan.

7. Seks. Sebuah foto seorang anggota DPR Max Moein beredar di internet. Yang membuat heboh, anggota DPR dari PDI Perjuangan itu berpose dengan seorang wanita muda tanpa mengenakan pakaian.

8. Usia. Seorang bocah berusia empat tahun sudah mahir memainkan drum, layaknya pemain drum professional. Berita ini juga menarik perhatian pembaca. Di dalamnya juga terdapat unsur ketidaklaziman.

9. Binatang. Seekor beruang kutub yang cukup langka melahirnya dua ekor anak beruang kutub dengan selamat. Bayi beruang yang lahir di Ragunan ini dinamakan Dina dan Dini.

10. Humor. Seorang peserta pelatihan Hankamnas tertidur di tengah pidato presiden. Dia pun ditegur langsung oleh presiden yang memergokinya tertidur.

Penulis menambahkan satu hal lagi yang dianggap penting yang bisa menarik perhatian pembaca. Yaitu, informasi mengenai tokoh. Karena lika-liku kehidupan tokoh sangat menarik untuk diikuti pembaca.

11. Tokoh. Mantan Presiden Abdurahman Wahid wafat setelah dirawat di rumah sakit. Dia meninggal setelah menjalani cuci darah di rumah sakit tersebut. Tokoh yang akrab disapa Gus Dur ini akan dimakamkan di Jombang, Jawa Timur.

Nah, bagi narasumber yang ingin menjadi media darling, bisa mengkaji dan mempelajari apa saja keinginan hati media yang sudah diungkapkan di atas. Apa yang penulis jabarkan di atas memang tidak mutlak keinginan hati media.

Setidaknya, itulah unsur-unsur peristiwa atau informasi yang layak menjadi berita bagi seorang jurnalis. Jika bisa menempatkan posisi pada unsur-unsur tersebut dan mengemasnya dengan baik, bisa saja dia akan menjadi kekasihnya media.

*Syukri Rahmatullah/Redaktur Pelaksana okezone.com

Senin, 11 Januari 2010

Ayin Dikerja(y)in?


Minggu 10 Januari malam, Satgas Mafia hukum melakukan inspeksi mendadak ke Rutan Pondok Bambu. Inspeksi itu menemukan fakta mengejutkan. Yakni, terpidana lima tahun penjara dalam kasus suap terhadap jaksa Urip Tri Gunawan, Artalyta Suryani mendapatkan fasilitas bak hotel berbintang di Rutan Pondok Bambu.

Pukul 19.30 WIB inspeksi yang dilakukan tiga anggota satgas, Denny Indrayana, Mas Achmad Santoso, dan Yunus Husein dimulai. Sipir lapas pun kelabakan dan sempat melarang ketiganya dan sejumlah wartawan yang dibawa serta.

Namun, Denny balik membentak bahwa apa yang mereka lakukan adalah atas perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kalapa Lapas pun hanya bisa pasrah menghadapi para petinggi tersebut.

Sontak peristiwa ini menjadi headline media nasional di tanah air. Bahkan, media televisi dan online tak berhenti mengupas hasil inspeksi mendadak tiga anggota satgas tersebut.

Sepintas apa yang dilakukan satgas mafia hukum ini hebat. Membongkar fasilitas hotel bintang lima yang didapatkan pengusaha yang dikabarkan dekat dengan Presiden SBY itu.
Akan tetapi jika dilihat secara kritis, sidak ini tak lebih dari sekedar aksi kehumasan dari sebuah lembaga baru yang ingin dikenal. Bahkan, aksi ini bisa dibilang kontrakproduktif.

Lagu lama kaset baru

Fasilitas yang didapatkan Artayta Suryani alias Ayin bukanlah informasi baru kepada masyarakat. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa lembaga pemasyarakatan atau rutan menyediakan sejumlah fasilitas bagi orang yang ber-uang ataupun terpidana yang memiliki koneksi dengan pejabat.

Dalam sebuah wawancara, Anton Medan yang sudah 14 tahun dipenjara di LP Cipinang tertawa geli melihat hal tersebut. Bahkan, setengah mencibir dia heran kepada ketiga orang tersebut baru tahu fasilitas untuk orang berduit di dalam rutan.
Beberapa tahun yang lalu, Anton Medan juga pernah mengungkap adanya fasilitas mewah di rutan ataupun Lembaga Pemasyarakatan.

Bukan hanya fasilitas mewah di dalam rutan, fasilitas seksual dari pekerja seks komersial yang disediakan di LP juga pernah diungkap anggota DPR dari Partai Demokrat, Ahmad Fauzi saat rapat kerja komisi III dengan Menteri Hukum dan HAM saat itu, Hamid Awaludin.

Di komisi III dia meminta Menkum HAM menyetop aksi penyediaan jasa layanan seksual di dalam LP dan rutan.

Fakta lain yang mengungkap bebasnya kehidupan napi di lapas adalah tertangkapnya artis Roy Marten untuk kedua kalinya, saat sedang pesta sabu di Surabaya 2007 lalu. Setelah diusut, Roy mengaku mendapatkan sabu melalui bandar narkoba yang sedang berada di LP Cipinang.

Bisa menikmati fasilitas mewah, mendapatkan pelayanan seksual, bahkan bisa berjualan narkoba. Itu adalah fakta bahwa sejak lama pengurusan lapas dan rutan di Indonesia memang bermasalah!.

Kontraproduktif

Sidak yang dilakukan di satu sisi bisa bernilai positif. Akan tetapi di sisi lain bisa kontraproduktif. Percaya lah, setelah sidak satgas mafia hukum beberapa waktu lalu, fasilitas mewah atau beberapa keistimewaan yang ada di lapas atau rutan lain di seluruh Indonesia, secara otomatis akan tiarap.

Ya, positif. Akan tetapi, fasilitas itu hanya tiarap sementara saja. Selama media menyoroti masalah ini. Lihat saja, jika perhatian media beralih ke masalah lain, maka fasilitas itu akan muncul lagi dengan sendirinya.

Dengan tiarap, maka jejak LP atau rutan mana saja yang menyediakan fasilitas-fasilitas tersebut akan menjadi buram. Kontraproduktif dengan tujuan satgas yang hendak memberantas pemberitan fasilitas tersebut.

Aksi membawa wartawan dalam sidak ke dalam lapas dan rutan bukanlah strategi yang jitu dalam memberantas praktek ’kerja sampingan’ sipir-sipir ataupun kepala lapas. Sebagai satgas yang mengantongi Keppres, seharusnya mereka bisa melakukan strategi yang lebih jitu dari itu.

Kalau sekedar seperti itu, wartawan juga bisa melakukannya. Cukup pura-pura menjenguk, membawa kamera kecil mereka bisa mendapatkan fakta yang kurang lebih sama dengan yang didapatkan satgas. Sebagaimana investigasi yang pernah dilakukan salah satu televisi nasional beberapa tahun lalu.

Seharusnya apa yang dilakukan satgas cukup mengumpulkan bukti dari seluruh lapas dan rutan yang menyediakan fasilitas tersebut, kemudian melaporkannya kepada presiden. Selanjutnya, Presiden akan memberikan data-data tersebut agar diselesaikan pembantunya, Menteri Hukum dan HAM.

Trik humas satgas?

Dari beberapa fakta yang janggal tersebut, akhirnya muncul kecurigaan terhadap aksi satgas mafia hukum. Jangan-jangan yang mereka lakukan tidak tulus? Apa benar seperti itu?

Kecurigaan ini sepertinya wajar. Coba lihat saja target dan waktu kapan satgas melakukan inspeksi mendadak.

Pertama, soal target. Mungkin satgas mafia hukum bisa saja mengelak bahwa mereka tidak menargetkan seseorang dalam inspeksi mendadak ini. Akan tetapi, siapapun tahu bahwa di rutan tersebut terdapat Artalyta Suryani.

Artalyta Suryani atau Ayin dikenal sebagai makelar kasus. Dia kenal dengan pejabat tinggi di Kejaksaan Agung. Lihat saja persidangannya yang memperdengarkan pembicarannya dengan sejumlah Jaksa Agung Muda di lembaga penegak hukum itu dalam mengatur kasus.

Gara-gara Ayin, dua jaksa agung muda, yakni Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman dan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Nega Untung Udji Santoso, serta direktur penyidik Jampidsus M Salim menjadi korbannya.

Satgas Mafia Hukum dibentuk oleh presiden 30 Desember 2009. Satgas dibentuk, setelah terbongkarnya setelah kasus Bibit Samad Riyanto dan M Chandra. Di tengah perjalanan kasus kedua pejabat KPK ini, terungkap rekaman pembicaraan Anggodo, saudara kandung Anggoro Widjojo, tersangka kasus radio Sistem Radio Komunikasi Terpadu (SKRT) dengan sejumlah pejabat dan penyidik Polri. Diduga Anggodo adalah makelar kasus.

Penulis curiga apa yang dilakukan satgas sudah diperhitungkan dengan matang, yakni dengan menjadikan ratu makelar kasus Ayin sebagai alat kampanye satgas di media massa. Mungkin karena itulah mereka membawa sejumlah media massa ke dalam rutan Pondok Bambu malam itu.

Kedua, soal waktu. Kenapa inspeksi mendadak dilakukan di hari Minggu dan pukul 19.30 WIB. Mungkin pertanyaan ini berlebihan, akan tetapi bagi media massa hari Minggu merupakan hari yang sepi berita. Sulit menjadi headline yang bagus untuk disajikan di hari Senin. Hari Senin, menurut data statistik antusiasme pembaca sangat tinggi, mereka ’haus’ akan informasi setelah dua hari, Sabtu dan Minggu meninggalkan aktivitas dan menikmati hari bersama keluarga.

Di hari Minggu, media pun menjadi ’lapar’ dan siap menyantap jika ada makanan lezat yang dihidangkan di meja. Sidak satgas mafia hukum tak ubahnya makanan lezat yang tersedia di meja.

Pukul 19.30 WIB, merupakan waktu yang tepat. Setelah memantau berita hingga sore dan tidak ada yang menarik. Lalu muncullah sajian sidak, jenius. Karena media massa besar biasanya memiliki deadline di atas jam tersebut. Bahkan, media besar seperti Kompas, Sindo, Media Indonesia, dan lainnya baru deadline sekira pukul 00.00, tengah malam. Cukup waktu, untuk mendapatkan bahan yang banyak dari sidak satgas mafia tersebut. Dan jadilah berita itu adalah berita yang seksi dan sangat layak headline di media-media nasional.

Ayin dikerja(y)in?

Jika logika kecurigaan di atas benar. Maka Ayin bisa jadi menjadi ratu makelar kasus yang sedang dikerjain untuk kampanye humas dari satgas mafia hukum. Nyatanya, satgas yang belum berusia sebulan ini cukup popular setelah sidak ’kamar hotel’ Ayin.
Ayin sebenarnya bukanlah orang biasa. Fakta bicara, Agustus 2008, penulis pernah memuat berita foto kehadiran Presiden SBY dan Ibu Negara Ani Yudhoyono dalam pernikahan anaknya di sebuah hotel mewah.

Kabar lain, Ayin disebut-sebut sebagai ’makelar’ yang melobi Gus Dur agar mendapatkan restu dari Gus Dur saat maju di Pilpres 2004 lalu. Ayin pun sempat masuk dalam pengurus DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) saat itu.

Entah kenapa, latar belakang Ayin yang memiliki kolega orang berpengaruh di tanah air ini bisa saja dikerjain satgas mafia hukum. Mungkin, Ayin saat ini sudah tidak bermanfaat lagi bagi mereka. Wallahu a’lam.

Yang perlu diingat, 28 Januari ini tepat 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Mudah-mudahan saja, inspeksi mendadak yang diduga menjadi ajang humas satgas mafia hukum ini tidak ada hubungannya dengan 100 hari KIB jilid II.

Karena, sejak KIB jilid II bergulir nyaris tidak ada prestasi yang bisa dibanggakan dari kinerja menteri. Bahkan, pemerintah ’dihajar’ sejumlah isu yang cukup membuat dahi menggurat.

Lihat saja kasus KPK versus Buaya. Kasus ini sangat heboh dan membuat masyarakat geram. Silent majority pun mendukung KPK dengan menjadi anggota akun facebook Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto. Hingga saat ini anggota akun facebook tersebut sudah mencapai 1.420.240 orang.

Belum lagi kasus ledakan bom di JW Marriot yang lepas dari pengamatan intelejen dan kasus bailout Bank Century yang hingga saat ini masih menjadi buah bibir di masyarakat dan media massa.

Satu-satunya prestasi pemerintah adalah ditembaknya Noordin M Top dan sejumlah pengikutnya di Solo, Jawa Tengah, September 2009 lalu. Itupun sebelumnya, masyarakat sempat terkecoh dengan kabar penembakan Noordin di Desa Beji, Temanggung, Jawa Tengah, sebulan sebelumnya.

Pemberantasan terhadap praktik mafia hukum di Indonesia, masih merupakan harapan yang tinggi dari masyarakat. Akan tetapi, cara penyelesaian dengan pola kehumasan bukanlah strategi yang tepat.

Semoga semua analisis ini salah dan semoga satgas mafia hukum memiliki niat yang sangat serius dan tulus dalam memberantas mafia hukum dan tidak hanya menjadi ajang kampanye saja. Karena masyarakat sudah lelah dengan kampanye dan yang dibutuhkan saat ini adalah tindakan konkrit. Mari kita tunggu bersama aksi konkrit dan tepat dari satgas bentukan Presiden SBY ini.

Tengah malam
Kota Bambu, 11 Januari 2010.

Tentang Gus Dur


KH Abdurahman Wahid telah meninggal dua pekan lalu. Akan tetapi pembicaraan
mengenai dirinya seolah tak pernah usai. Media memberitakannya sepekan penuh,
mulai dari RSCM hingga Pondok Pesantren Tebuireng. Bahkan, mungkin sampai hari
ini masih ada saja masyarakat yang membicarakan Gus Dur, di café-café atau di
warung kopi.

Bahkan, karena pengaruhnya yang sedemikian besar, masyarakat yang berziarah tak
Pernah henti sampai saat ini. Uniknya, dari sejumlah peziarah ada yang sengaja
mencuri tanah makam Gus Dur, hanya untuk berburu berkah.

Gus Dur memang bukanlah orang biasa. Keturunan ulama berpengaruh sekaligus
Pendiri ormas terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asyari. Selain ulama,
dia merupakan salah satu pejuang kemerdekaan. Dia pernah mengeluarkan fatwa saat
dimintai Soekarno, dengan mengatakan bahwa membela tanah air adalah jihad fi
sabilillah.

Ayah Gus Dur, Wahid Hasyim juga merupakan tokoh kemerdekaan dan pembaharu.
Dia turut mengisi kemerdekaan dengan pemikirannya. Salah satunya, dia mendobrak
tradisi ulama saat itu yang mengharamkan mengenakan setelan celana panjang, jas,
dan dasi.

Apa yang dilakukannya saat itu cukup kontroversial, akibatnya tak sedikit ulama yang
mengecamnya karena menjadi satu-satunya tokoh dari golongan santri yang mengikuti
cara berpakaian orang Belanda. Soekarno saat itu menunjuknya sebagai Menteri
Agama pertama di Indonesia.

Sikap kontroversial Wahid Hasyim sepertinya menurun kepada Abdurahman Wahid.
Setelah pulang belajar dari Mesir dan Irak, Gus Dur tiga kali diminta memimpin PBNU
yang saat itu dipimpin KH Idham Chalid. Gus Dur tak berani menolak permintaan ketiga
dari KH Bisri Syamsuri, tokoh sepuh PBNU yang juga masih keluarganya.

Sebelum memimpin PBNU, Gus Dur mulai dikenal masyarakat melalui tulisannya
mengenai hubungan Islam dan Negara, yang terus menjadi kontroversial sejak era
Soekarno. Gus Dur pun piawai dalam membuat tulisan dengan mengangkat dalil-dalil
alquran dan hadits.

Hingga wafatnya, kontroversi dia di masyarakat sangat sulit untuk dilupakan.
Bagaimana tidak, coba ingat bagaimana Gus Dur mengusulkan agar kalimat assalamu
Alaikum diganti dengan kalimat selamat pagi dalam pidato kenegaraan. Spontan saja
sejumlah ulama saat itu pun langsung meradang, terlebih dari kalangan non NU.

Belum lagi kontroversi lain. Masih ingat kontroversi haram Ajinomoto? Kala itu, MUI
Mengatakan bahwa Ajinomoto haram, karena di dalamnya ada kandungan minyak babi.
Namun, hanya Gus Dur seorang yang berani mengatakan sebaliknya.
Kontroversi pun terus berlanjut hingga saat Gus Dur menjabat sebagai presiden
Keempat, yang menggantikan BJ Habibie. Yang membuat kuping panas politisi saat itu
Adalah, saat Gus Dur mengatakan bahwa DPR tak ubahnya seperti taman
kanak-kanak. Gus Dur dikecam, dihujat karena menghina lembaga negara.

Kontroversial Gus Dur ini pun mengundang tanya banyak orang. Sebagai seseorang
yang lahir dari keluarga NU, yang dikenal sangat tradisional, Gus Dur memang sangat
berbeda. Ada yang menilai miring, ada yang menilai positif, bahkan ada yang menilai
berlebihan terhadap kontroversi Gus Dur.

Negatif dan positif adalah hal yang biasa. Akan tetapi, yang unik adalah yang menilai
Gus Dur berlebihan. Sejumlah kalangan mempercayai Gus Dur adalah seorang wali
karena itulah dia kontroversial, melewati jamannya, lokomotif Jepang tetapi gerbong
Indonesia dan banyak lainnya.

Soal ini ada banyak cerita dari kalangan orang-orang NU. Salah satu pengurus NU di
era Gus Dur pernah bercerita, saat rapat dengan sejumlah ulama Gus Dur kerap kali
tertidur, akan tetapi di saat akhir malah dia yang membuat kesimpulan dan kesimpulan
itu diterima ulama yang berdebat saat itu.

Dari cerita ini kemudian disambungkan bahwa Gus Dur memiliki ilmu ladunni. Ilmu
ladunni ini adalah ilmu yang dimiliki Nabi Khidir. Orang yang memiliki ilmu ini sangat
pintar dalam berbagai disiplin ilmu, tanpa perlu belajar.

Ada juga cerita dari salah satu ketua PBNU KH Aqil Siradj. Dia mengaku pernah
Menemani Gus Dur selama di Mekkah. Saat itu, Gus Dur minta ditemani untuk mencari
seorang ulama. Kang Said pun membantu Gus Dur mencarikannya.

Di sebuah masjid, terdapat seorang ulama dengan mengajar dengan jumlah murid yang
cukup banyak, akan tetapi bukan ulama tersebut yang dimaksud Gus Dur. Kemudian,
ada juga seorang ulama dengan kitab-kitab besar dan sorban yang besar sedang
mengajar sejumlah murid, bukan itu juga yang dimaksud.

Kemudian saat itu terdapat seseorang bersorban kecil sedang berada di masjid, tanpa
Kitab dan murid-murid. Ternyata itulah yang dimaksud Gus Dur. Kemudian Kang Said
pun mengenalkan kepada orang tersebut bahwa Gus Dur adalah ketua ormas Islam
terbesar di Indonesia. Selanjutnya, Gus Dur meminta doa kepadanya.

Setelah dua menit didoakan, kemudian ulama tersebut bangkit sembari menyeret
Sajadahnya sambil mengeluh dalam bahasa Arab. Kang Said mengungkapkan, ulama
Itu mengatakan “Ya, Allah apa dosa hambamu ini hingga Kau pertemukan dengan
orang-orang ini”.

Jadi, Kang Said menjelaskan bahwa ulama tersebut adalah Wali yang sedang
menyamar. Akan tetapi, keberadaannya malah diketahui Gus Dur. Kenapa Gus Dur
bisa tahu? Ada sebuah perkataan ulama la ya’riful wali illal wali. Tidak
lah seorang wali dapat diketahui kecuali oleh seorang wali.

Terlepas dari kepercayaan itu semua. Ada beberapa fakta nyata di depan mata, yang
merupakan hasil perjuangan Gus Dur. Sebuah fakta yang tidak bisa dielakkan, Gus Dur
adalah pembela kaum minoritas.

Lihat saja, setelah menjadi presiden. Gus Dur membela keturunan tionghoa yang
selama era Presiden Soeharto selalu menjadi warga kelas dua. Kepercayaan agama
mereka tak diakui, bahkan keberadaan mereka. Sampai kebanyakan orang tionghoa
merubah nama mereka dengan nama Jawa ataupun Islam, agar aman.

Gus Dur juga membela eks tapol/napol dan keluarga PKI. Di era Soeharto, PKI bak
nyamuk yang tak pantas hidup dan harus dilenyapkan. Bukan hanya anggota resmi
PKI, bahkan keluarga dan keturunannya pun ikut menanggung dosa yang tidak
dilakukannya.

Belum lagi. Pembelaan Gus Dur terhadap sejumlah gereja yang dihancurkan kelompok
ormas Islam konservatif. Ataupun kelompok minoritas agama seperti Ahmadiyah. Gus
Dur memasang badan bagi Ahmadiyah. Sekalipun secara prinsip agama, Gus Dur
bertentangan dengan ajaran Ahmadiyah.

Ditambah lagi diskriminasi secara persorangan, seperti yang dialami Inul Daratista yang
Dikecam Raja Dangdut, Rhoma Irama. Saat itu, Inul juga dicekal ormas Islam di
berbagai kota, Gus Dur pun membela pemilik goyang ngebor tersebut.

Dari sini, rasanya pantas saja Gus Dur disebut sebagai guru bangsa. Dia mengajarkan
banyak hal kepada masyarakat. Dari ajaran kebebasan beragama, berkelompok, dan
berpendapat. Hingga mengajarkan menghindari kekerasan dalam setiap perbedaan
pendapat.

Jika diperhatikan seksama, Gus Dur mengajarkan tidak dengan cara mendikte
ajarannya satu persatu. Akan tetapi, dia mengajarkan ajarannya yaitu berdemokrasi
dalam beragama dan berkenegaraan dengan perbuatan dan keteguhan hatinya.

Semoga saja, apa yang diajarkan Gus Dur dapat dicermati bersama sebagai sebuah
masukan besar bagi kemajuan bangsa Indonesia ke depan. Terima kasih guru bangsa.
Selamat jalan Gus Dur.