Senin, 26 November 2007

Enaknya Jadi Haji Abidin

Kamis, 22/11/2007 - 16:53 WIB
Enaknya Jadi Haji Abidin

Syukri Rahmatullah - Okezone

Masih ingat Haji Abidin dan Haji Kosasih?. Keduanya bukanlah nama seseorang yang sudah naik haji, melainkan singkatan dari Haji Atas Biaya Dinas (Abidin) dan Haji Ongkos Dikasih (Kosasih), atau orang naik haji secara gratisan.

Idiom ini seringkali disebut-sebut di masa orde baru. Karena banyaknya pejabat atau keluarga pejabat, bahkan kerabat pejabat diberangkatkan haji dengan biaya dari keuangan negara.

Meskipun sudah 9 tahun era reformasi bergulir sepertinya perilaku Haji Abidin dan Haji Kosasih tidak pernah hilang. Mungkin bentuknya berbeda, tapi semangatnya tetap sama.

Lihat saja mengenai membengkaknya jumlah tim pengawas haji DPR tahun 2007 ini. Kalau tahun 2006 hanya 20 orang, tahun 2007 ini membengkak menjadi 43 orang.

Yang lebih mengejutkan, sejumlah media merinci 43 yang didaftarkan sebagai pengawas haji adalah 20 anggota DPR dari Komisi VIII, staf sekretariat DPR 5 orang, Istri dan keluarga 14 orang, 3 orang anggota DPR nonpengawas haji, dan 1 orang mantan anggota DPR.

DPR komisi VIII sibuk membantah dan membenarkan. Membantah jumlah 43 orang tersebut, ada yang membenarkan jumlah tersebut, namun mengatakan yang lainnya menggunakan biaya sendiri, bukan dibiayai negara.

Anggaran untuk pengawas haji tahun 2007 sebesar Rp874 juta yang dibagi menjadi 2 fase. Yaitu untuk tim pengawas haji tahap pertama, yang bertugas mengawasi pelaksanaan haji saat jemaah berdatangan dianggarkan Rp322 juta.

Untuk tim pengawas haji fase kedua, yang bertugas mengawasi pelayanan jemaah haji saat puncak ibadah haji dianggarkan Rp552 juta.

Selain fasilitas anggaran, tim pengawas haji juga akan mendapatkan pelayanan ekstra dari Panitia Pelaksana Ibadah Haji (PPIH) selama melakukan pengawasan. Menurut kebiasaan tim pengawas haji selama di Mekkah, Madinah, Arafah, dan Mina akan mendapatkan kendaraan, sopir, pemandu, penginapan, belum lagi makanan, minuman, hingga pengurusan dokumen.

Jadi, meskipun beralasan istri, keluarga ataupun kolega yang tercatat di tim pengawas haji menggunakan biaya sendiri, tetap saja fasilitas di atas, yang tentunya dibiayai negara, akan mereka dapatkan selama berada di tanah suci. Lalu, dimana perbedaannya dengan praktek KKN yang dilakukan pejabat negara di era orde baru?

Masalah ini harusnya menjadi perhatian besar untuk dikrititis guna memperbaiki kinerja lembaga tinggi negara di Indonesia. Tentu saja, kita tidak mau reformasi yang diciptakan dengan pengorbanan akan sia-sia hanya karena segelintir anggota dewan yang mau enaknya sendiri.

Rabu, 07 November 2007

Perlawanan Menteri Tersangka Korupsi

Catatan Redaksi
Perlawanan Menteri Tersangka Korupsi


Syukri Rahmatullah - Okezone
Masuk penjara terlebih dengan label koruptor tentu bukan keinginan setiap orang. Tapi bagaimana jika hukum mampu membuktikan tindakan korupsi telah dilakukan? Kemungkinan terbesar jawabannya adalah perlawanan segala cara. Itulah yang dilakukan mantan Menneg BUMN Laksamana Sukardi saat ini.

Setelah ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam penjualan Kapal Tanker VLCC milik Pertamina, mantan Komisaris Utama Pertamina yang juga mantan Menneg BUMN era Presiden Megawati Soekarnoputri ini langsung mengerahkan segala daya upaya.

Perlawanan Laks dilakukan mulai dari rencana bertemu dengan Presiden SBY, bertemu Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Adnan Buyung Nasution, meminta mantan Presiden Megawati dan mantan Menkeu Boediono ikut diperiksa, sampai dengan mengerahkan seribu massa pendukung dari Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) saat diperiksa pertama kali sebagai tersangka.

Biasanya kalau sudah diperiksa sebagai tersangka, kemungkinan besar akan langsung ditahan dengan alasan khawatir pelaku menghilangkan barang bukti atau melarikan diri. Mungkin itu alasan Laks mengerahkan pendukung ke Kejagung hari ini.

Hal lainnya yang membuat Laks melakukan perlawanan adalah disinyalir bekas partainya, PDIP di DPR melakukan intervensi kasus VLCC, sehingga ia merasa dijadikan target.

Perlawanan tersangka korupsi atau terpidana korupsi kerapkali dilakukan sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk. Dari menyerang balik dengan melaporkan pelapor korupsi ke aparat hukum dengan pasal-pasal karet seperti pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan, menyerang pribadi komisioner KPK seperti yang pernah dialami Wakil Ketua KPK Erry Riyana, hingga membongkar keterlibatan pejabat tersohor lainnya.

Dari seluruh perlawanan tersangka atau terpidana korupsi yang paling menghebohkan adalah perlawanan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri yang terjerat korupsi dana nonbudjeter Departemen Kelautan dan Perikanan.

Ia membongkar nama-nama pejabat tersohor hingga pemuka agama yang menerima dana nonbudjeter DKP yang divonis Pengadilan Tipikor sebagai tindakan korupsi.

Mulai dari Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, mantan Ketua MPR Amien Rais, tim sukses SBY-JK, tim sukses Megawati-Hasyim, hingga sejumlah anggota dewan di senayan sana.

Seperti biasa, ada yang mengakui tapi tidak tahu dan ada juga yang tidak mengakui sama sekali, "menghindar dari perangkap". Masalah ini menjadi semakin besar ketika mantan Ketua MPR Amien Rais yang mencalonkan diri sebagai capres 2004 mengakui menerima uang tersebut dan menyebut ada capres menerima dana asing.
Tapi kemudian, masalah ini menjadi antiklimaks setelah pertemuan Amien Rais dengan SBY selama 10 menit di Bandara Halim Perdana Kusumah, yang isinya hanya diketahui keduanya.

Dari kisah perlawanan ini, ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil. Pertama, mantan pejabat yang terlibat korupsi tidak percaya dengan supremasi hukum, mereka percaya hukum masih bisa diintervensi kekuatan politik, sehingga melakukan perlawanan dengan berbagai macam cara.

Kedua, syndrome pejabat yang selalu diperlakukan khusus masih melekat ketika selesai menjabat, sehingga "meminta" perlakukan khusus atau "jalur cepat" masih ditempuh baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Seperti rencana bertemu presiden atau wantimpres setelah ditetapkan sebagai tersangka.

Ketiga, di sisi lain banyak yang meyakini bahwa penegakan hukum di Indonesia masih tebang pilih. Karena lebih banyak mantan pejabat dari lawan politik yang diusut, sedangkan dari mantan pejabat rekan penguasa tidak disentuh, bahkan terkesan diamankan. Lihat Aburizal Bakrie dalam kasus Lapindo.

Kisah perlawanan ini menunjukkan bahwa hukum secara de facto belum menjadi panglima dan prinsip equal before the law yang biasa didengar sarjana hukum saat kuliah, masih menjadi slogan belaka. Lalu, dimanakah letak supermasi hukum itu, hanya pejabat berkuasalah yang tahu.

Perselingkuhan Politik Aliran Sesat

Syukri Rahmatullah- okezone

Setelah “Nabi” aliran Al Qiyadah Al Islamiyah Ahmad Musaddeq atau Abdul Salam menyerahkan diri ke Mapolda Metro Jaya, Kapolda Adang Firman menyebut aliran yang divonis sesat oleh MUI ini diikuti 40.000 orang di 9 daerah di Indonesia. Sebagai sebuah kelompok sempalan, jumlah ini cukup fantastis!

Aliran ini hanya satu di antara ratusan aliran sempalan lainnya di Indonesia yang bermunculan dan “tertangkap” media massa. Di luar ini, puluhan bahkan ratusan aliran lain juga ada. Lalu kenapa kok bisa aliran sempalan seperti ini menjamur dan peminatnya banyak di Indonesia?

Berbagai pendapatpun bermunculan, dari pimpinan ormas-ormas Islam sampai politisi. KH Hasyim Muzadi misalnya, Ketua Umum PBNU ini menilai maraknya muncul aliran sesat sama seperti prolog G30S PKI, tapi bukan berarti PKI akan bangkit lagi. Ia hanya menyiratkan menjelang momentum politik besar, aliran sesat menjadi marak.

Ada juga pendapat yang menyejukkan hati, seperti KH Said Agil Sirad dan Muslim Abdurahman yang mengajak ormas-ormas Islam seperti PBNU dan Muhammadiyah untuk mengevaluasi diri dalam membina umat.

Tapi ada juga pendapat yang bersifat konspiratif, seperti Sekjen MUI Ikhwan Syam yang menyebut adanya operasi intelijen dalam maraknya aliran sesat. Tapi, ia tidak tahu apakah operasi intelijen nasional atau asing.

Secara kronologis, kembali maraknya aliran sesat setelah tahun 2000-2001 dimulai pada akhir September dengan hilangnya sejumlah mahasiswi di Bandung seperti Ahriani, kemudian sahabatnya Fitriyanti. Keduanya disinyalir kabur dari keluarga karena ikut aliran sesat bernama Alquran Suci. Kemudian banyak bermunculan keluarga di sejumlah daerah yang mengaku kehilangan anaknya dengan gelagat yang sama dengan Ahriani dan Fitriyanti.

Di tengah ramainya pencarian terhadap aliran Alquran Suci, tiba-tiba media televisi “menangkap” sebuah aliran sempalan bernama Al Qiyadah Islamiyah dan menyiarkan ketika sang “Nabi” Ahmad Musaddeq yang merupakan pensiunan PNS Pemda DKI membaiat pengikutnya dengan menyebut dirinya sebagai “Nabi”.

Kemarahan masyarakat akan hilangnya sejumlah mahasiswi di Bandung dan daerah lain seolah terlampiaskan dengan “dimunculkannya” aliran Al Qiyadah ini, sehingga di berbagai daerah dilakukan pengejaran, pemukulan, penganiayaan, disertai penangkapan terhadap aliran yang dipimpin mantan pelatih pebulutangkis nasional Icuk Sugiharto ini.

Dosen Universitas Malikul Saleh Aceh, yang juga mantan pengikut NII KW9 (Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah 9) Al Chaidar menyebutkan pola perekrutan aliran yang disebut media Alquran Suci memiliki kesamaan dengan pola perekrutan anggota NII KW9.

Kesamaan di antaranya, uang infaq yang disumbangkan pengikut dicari dengan berbagai cara, termasuk menipu orangtua sendiri. Bahkan pengikut Alquran Suci menganggap ibu kandung mereka bukanlah ibu yang sebenarnya. Ibu yang sebenarnya adalah orang yang membawa mereka ke dalam ajaran tersebut atau biasa disebut mas’ul.

Jadi, diduga kemunculan aliran Al Qiyadah merupakan penyesatan terhadap pengejaran pihak kepolisian terhadap aliran menyesatkan dan merugikan yang sebenarnya, Alquran Suci atau NII KW9.

Perselingkuhan Politik

NII KW9 selama ini disebut-sebut identik dengan Abu Toto atau Syamsul Alam atau AS Panji Gumilang yang memimpin Ponpes Al Zaitun di Indramayu dan sejak tahun 2003 menjadi Ketua Alumni UIN Syahid.

Sejumlah kalangan menyebutkan, Abu Toto ini merupakan agen intelijen yang disusupkan ke dalam Negara Islam Indonesia (NII) untuk merusak kelompok yang dilahirkan SM Kartosuwiryo tersebut dari dalam.

Meskipun kemudian MUI tahun 2005 dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) IV menyebutkan tidak ada keterkaitan antara Ma’had Al Zaitun dengan NII KW9. Setelah diteliti, Din Syamsudin mengakui adanya fakta kuat keterkaitan pendiri NII KW9 dengan pendiri Ma’had Zaitun dan ada beberapa hal yang kontroversial di dalam peraturan Al Zaitun.

29 Agustus 1999 Presiden BJ Habibie meresmikan Pesantren Al Zaitun. Kemudian secara berturut-turut mantan Ketua DPR/MPR Harmoko, mantan Menteri Koperasi Adi Sasono, mantan Menkeu Fuad Bawazier, mantan Kepala BIN Hendropriyono pernah mendatangi pesantren yang masih kontroversial tersebut.

Kemudian pada pemilu 2004, Al Zaitun dikabarkan memiliki TPS khusus dan melakukan mobilisasi pemilih dengan kendaraan TNI.

Hasilnya, pada pemilu legislatif sebanyak 10.661 dari 11.563 suara di 39 TPS Al Zaitun memilih Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Pilihan kedua 618 suara jatuh kepada Partai Golkar.

Sedangkan pada pemilu presiden, jumlah pemilih membengkak menjadi 24.818 suara, TPS menjadi 84 buah. Hasilnya sebanyak 92,84 persen suara memilih Capres Wiranto yang saat ini sedang sibuk membangun Partai Hanura untuk 2009.

Lalu, apakah semua ini ada hubungannya dengan persiapan menjelang pemilu 2009? Kita simak saja nanti!