Kamis, 21 Juni 2007

Golput, Cermin untuk Calon Gubernur

Kamis, 21/06/2007 17:03 WIB
Catatan Redaksi
Golput, Cermin untuk Calon Gubernur
Cetak E-mail
Syukri Rahmatullah - Okezone

ukay.jpgSIANG tadi, dua buah burung merpati dilepas, bunga mawarpun dibagikan. Sebagai simbol Pilkada Jakarta damai agar tidak terjadi bentrokan sesama pendukung calon, karena hanya ada dua pasangan calon.

Selain itu, terbatasnya pilihan bagi rakyat dalam Pilkada Jakarta sebenarnya memiliki bahaya lainnya, yaitu membesarnya angka Golput atau rakyat yang tidak menggunakan hak pilihnya. Kenapa? karena pilihan yang terbatas.

Ada beberapa hal yang menyebabkan pilihan menjadi terbatas, pertama memang salah satu calon terkuat menghendakinya, sehingga semua kekuatan parpol yang punya hak untuk mengajukan calon dikumpulkan menjadi satu kekuatan untuk mendukung calon tersebut.

Kedua, karena undang-undang tidak mengizinkan calon independen untuk maju sebagai kepala daerah, sangat jauh berbeda dengan di Aceh. Banyak pihak menilai hal ini diskriminasi yang diberlakukan pemerintah SBY-JK, sehingga diperjuangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar calon independen dibolehkan di provinsi lainnya tidak hanya di Aceh.

Keterbatasan pilihan tentu saja menjadi faktor penting dalam Pilkada DKI Jakarta, karena jika calon yang ada tidak dinilai masyarakat tepat untuk dipilih, tentu saja akan berujung kepada pilihan tidak memilih atau Golput.

Akibat minimnya pilihan rakyat pada Pilkada Jakarta, Golput secara otomatis juga menjadi “calon”. Tanpa tim sukses, iklan di televisi ataupun famplet, spanduk di pinggir jalan, Golput akan punya tempat sendiri di hati sebagian rakyat Jakarta.

Tentu saja, Golput tidak patut dijadikan musuh berlebihan. Seperti yang dilakukan Garda Bangsa DKI Jakarta dengan membuat Satgas Anti Golput, ataupun kampanye-kampanye berlebihan dengan mengimbau ataupun melarang rakyat agar tidak melakukan Golput.

Bahkan pernah pada pemilu 2004, sempat muncul wacana ancaman pidana bagi yang memilih golput atau tidak memilih.

Sebenarnya Golput bukanlah lawan politik calon, sehingga harus diberangus ataupun dilarang. Jika disadari dengan baik, Golput adalah cermin bagi para pasangan calon. Cermin untuk melihat kembali dirinya dengan baik, bahwa ternyata ada yang melihat dirinya belum dinilai sebagai pilihan yang tepat untuk memimpin Jakarta.

Cermin ini tentu saja akan menjadi bahan koreksi bagi calon untuk memperbaiki segala sesuatu dari dirinya yang belum dinilai tepat untuk dipilih. Misalnya dinilai kurang jujur, atau pernah melakukan penyalahgunaan wewenang dan banyak lagi.

Seperti kata pepatah, “buruk muka cermin yang dibelah”. Jadi sekali lagi, jangan Golput yang dilarang tapi memang harus ada koreksi diri, sekali lagi koreksi diri dari sang calon.

Pada akhirnya, Golput merupakan pilihan yang tidak bisa dipaksakan tetapi memang pilihan hati nurani, sama dengan pilihan untuk memilih salah satu pasangan calon. (*)

Rabu, 13 Juni 2007

Interpelasi Iran Panas, Dagelan Politik Lagi?

Rabu, 06/06/2007 17:24 WIB
Catatan Redaksi
Interpelasi Iran Panas, Dagelan Politik Lagi?
Cetak E-mail
Syukri Rahmatullah - Okezone

ukay.jpg Namanya dagelan, itu hanya lakon dan tidak serius. Di depan panggung bisa saja mempertontonkan empati, simpati bahkan hingga berkelahi hebat layaknya Rahwana dengan Rama dalam memperebutkan Shinta, tapi di belakang bisa ngopi dan merokok bersama di sebuah kafe mewah, tertawa menceritakan dagelan mereka.

Setelah dagelan panas antara Amien Rais dan Presiden SBY bertema DKP dan Dana Asing Capres 2004 selesai dengan Cipika-Cipiki di bandara Halim secara diam-diam.

Kembali rakyat akan dipertontonkan dagelan politik baru, menampilkan Presiden SBY dan DPR dengan judul Interpelasi Iran yang sampai saat ini episode demi episodenya masih berlangsung.

Bagaimana tidak dibilang sebagai dagelan, melaju mulusnya interpelasi soal Iran hingga ke rapat paripurna ini cukup mengejutkan banyak kalangan, termasuk mantan Ketua MPR yang sempat bernazar akan potong ayam jika interpelasi Iran jebol hingga rapat paripurna.

Tentu saja mengejutkan, melihat kekuatan partai-partai pendukung pemerintah, jika digabungkan akan menjadi suara mayoritas di DPR.

Menurut catatan okezone, partai politik yang merupakan gerbong pemerintah SBY-JK adalah, partai Presiden SBY, Partai Demokrat, partai Wapres Jusuf Kalla, Golkar dan partai-partai menteri KIB, yaitu PPP yang diketuai Menkop dan UKM Suryadarma Ali, PKB dan PAN yang sama-sama punya dua kader di kabinet, PKS yang punya tiga kader di kabinet, Ketua Umum PBB MS Ka'ban yang juga Menteri Kehutanan.

Jika digabungkan seluruh suara partai pendukung, Golkar Partai Golkar 128 suara, PPP 58, Demokrat 57, PKS 45, PKB 52, PAN 52, PBB 11. Artinya total suara yang dimiliki SBY-JK di DPR sebanyak 398 suara atau mayoritas dari 500 suara yang ada di DPR.

Sementara hanya PDIP dengan 109 suara saja yang terlihat oposisi terhadap pemerintah SBY-JK, sisa partai lainnya bermain di posisi abu-abu, menolak sebentar, mendukung atau cari aman dengan memilih abstain seluruhnya sejumlah 36 suara saja.

Jika mengacu kepada kekuatan suara SBY di DPR, tentu saja kita patut mempertanyakan keseriusan pendukung interpelasi soal Iran di DPR, sekalipun berhasil menunda sidang paripurna pertama dan "mengusir" tujuh menteri yang diutus Presiden SBY untuk menjawab interpelasi DPR soal Iran.

Akan tetapi, penundaan sidang paripurna interpelasi bukan berarti kemenangan para pengusul interpelasi, tetapi tetap kemenangan SBY-JK. Karena kepada Presiden SBY, Ketua DPR Agung Laksono mengatakan penundaan sidang interpelasi karena ada masalah internal, bukan karena ketidakhadiran Presiden SBY.

Dalam catatan okezone juga, beberapa kali DPR berupaya mengajukan hak angket maupun interpelasi baik soal impor beras hingga yang paling keras adalah soal kenaikan harga BBM, semuanya selalu kandas, karena kekuatan parpol pendukung SBY-JK sangat solid mengganjal setiap upaya-upaya menjatuhkan pemerintah.

Jika berdasarkan hitungan politik tersebut, kekuatan interpelasi Iran jelas tidak akan didukung pimpinan parpol masing-masing, seperti Yuddy Chrisnandi dari Golkar, Effendi Choerie dari PKB, Ali Mukhtar Ngabalin dari PBB, kecuali Ario Bimo dari PDI Perjuangan.

Sehingga pada saat tertentu, ketika dikembalikan kepada partai, maka interpelasi soal Iran ini pasti akan mengendur dan hilang ditelan dagelan baru lainnya yang sudah disiapkan untuk muncul.

Akhirnya, rakyat hanya menjadi penonton dagelan politik parlemen saja, tidak akan sampai tuntas, sementara rakyat yang menonton sempat menggebu-gebu atau bahkan terprovokasi mengikuti tensi yang ada di parlemen, sayangnya itu hanya akan terjadi sesaat saja, tidak lama karena memang itulah dagelan tidak pernah mencarikan solusi hanya mempertontonkan adegan-adegan saja. (*)

Tendangan bebas Rokhmin Dahuri

um'at, 25/05/2007 18:40 WIB
Catatan Redaksi
Tendangan Bebas Rokhmin Dahuri
Cetak E-mail
Syukri Rahmatullah - Okezone

ukay3.jpgAwalnya persidangan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri tidak terlalu menyita perhatian masyarakat. Sidang itu hanya diduga persidangan biasa, layaknya seorang mantan pejabat korup duduk di kursi terdakwa. Tidak ada yang aneh. Biasa saja!

Tapi, perlahan-lahan, persidangan tersebut semakin terasa hangat dan semakin panas di setiap kali di gelar oleh Pengadilan Tipikor. Karena di dalam persidangan disebut selain sang menteri, ternyata banyak pejabat yang juga ikut "mencicipi" dana nelayan yang dikumpulkan secara ilegal ini.

Tidak tanggung-tanggung, dari anggota DPR partai berlabel Islam, mantan pimpinan majelis tertinggi (MPR) hingga orang-orang di sekeliling pejabat puncak, yaitu Presiden juga disebut-sebut ikut "mencicipi". Mungkin hampir semua kelompok ada ‘wakilnya' yang ikut menikmati dana nonbudjeter DKP dengan nilai yang bervariasi.

Merasa namanya disebut, sebagai mantan pejabat atau masih menjadi pejabat tentu saja langsung bersikap karena dikejar-kejar wartawan setiap hari. Ada dua sikap pejabat atau mantan pejabat dan tokoh ormas dalam menyikapi fakta ini.

Sikap pertama, jelas membantah dan mengaku tidak tahu. Ini biasanya dilakukan dengan cara tidak mengenal sang menteri atau cuci tangan bahwa yang menerima bukanlah dari kelompoknya, tetapi orang lain yang mengatasnamakan kelompoknya. Anehnya, kenapa orang yang mengatasnamakan ini tidak segera diadukan ke pihak berwajib, karena telah melakukan penipuan dengan mencemarkan organisasi atau nama baik sang pejabat.

Tapi dalam sikap pertama ini, ada juga yang mengancam Rokhmin dengan gugatan atau pengaduan dan lainnya seperti yang dilakukan mantan Presiden Gus Dur atau organisasi yang mengaku tim sukses SBY-JK, Blora Center.

Sikap Kedua, si elit mengakui tapi tidak mengetahui, hal ini dilakukan mantan Ketua MPR Amien Rais dan Ketua PBNU Hasyim Muzadi. Keduanya mengakui telah menerima uang dari Rokhmin tapi mengaku tidak mengetahui kalau dana tersebut adalah dana ilegal dari nonbudjeter DKP.

Yang lebih mengejutkan, Presiden SBY juga menyikapi secara langsung tanpa bisa menyembunyikan amarahnya kepada mantan Ketua MPR Amien Rais yang dituding sebagai orang yang menyeret dirinya.

Akhirnya masalah korupsi secara tidak langsung menjadi masalah politik atau bahkan menjadi masalah pribadi antara Presiden SBY dengan mantan Ketua MPR Amien Rais.

Tapi, bagi penulis lebih menarik untuk melihat kemana "tendangan bebas" Rokhimn Dahuri akan menuju?.

Sekedar analisa, penulis melihat ada beberapa "gawang" yang akan dituju dari dana nonbudjeter ini.

Dari sisi Rokhmin, diduga dibongkarnya keterlibatan nama-nama elit berpengaruh ini sebagai upaya agar kesalahannya dalam mengumpulkan dana nonbudjeter segera "diputihkan" dari pengadilan Timtas Tipikor, sehingga ia tidak dijerat dengan kasus korupsi yang menjerat dirinya saat ini.

Akan tetapi, akhirnya "bola" yang dimulai dari ruang pengadilan ini telah berubah menjadi "bola" politik yang bisa ditendang siapa saja menjelang pemilu 2009 yang akan terjadi dalam waktu 2 tahun lagi. Saat ini "bola" tersebut terlihat sedang dikuasai Rokhmin dan Amien Rais, karena terkesan sebagai "pendongkrak" kebobrokan perilaku elit politik di bangsa ini.

Sementara Presiden SBY menjadi terpojok atau sengaja dipojokkan, sedangkan KPK dan Timtas Tipikor menjadi pihak yang kebingungan karena terlalu banyak yang terlibat dan kalau semuanya "dimeja hijaukan" maka tentu akan menjadi "serangan balik" yang berbahaya dan sangat dahsyat.

Dari fakta-fakta keruwetan ini dan budaya kompromi elit politik di Indonesia, penulis sendiri melihat "tendangan bebas" Rokhmin akan berujung pada dua "gawang".

Pertama, Rokhmin akan mengalami "tendangan bunuh diri", karena sudah terlanjur berada di pengadilan Tipikor, jika "diputihkan" atau dibebaskan tentu ini akan menjatuhkan dua lembaga korupsi yang saat ini dikenal ampuh sebagai pemberantas korupsi, karena kasus dana nonbudjeter ini mendapatkan perhatian rakyat luas.

Maka, solusinya Rokhmin akan tetap dipenjara, akan tetapi elit-elit yang menerima dana DKP akan dikategorikan tidak tahu kalau dana yang diterima sebagai dana ilegal atau korupsi, mungkin akan diembel-embeli pengumpulan uang yang sudah diterima untuk dikembalikan kepada negara.

Kedua, "bola" ini akan menyelamatkan Rokhmin dengan modifikasi alasan-alasan hukum yang bertujuan menyelamatkan semua muka elit-elit terkemuka di bangsa ini, sehingga masih terbuka sangat luas kemungkinan elit-elit penerima untuk mencalonkan kembali sebagai Capres atau Cawapres di tahun 2009 mendatang.

Yang pasti, jika kasus ini hanya menyentuh Rokhmin saja dan tidak menyentuh elit-elit penerimanya. Maka rakyat Indonesia akan belajar untuk memilih dengan baik, siapa yang akan dipilih untuk memimpin negeri ini?. Kemungkinan besar jika ada tokoh baru yang belum "tercoreng" mukanya dengan kasus-kasus yang ada, pada pemilu presiden 2009 kemungkinan besar dia akan terpilih. Hal ini dilakukan rakyat, karena hukum tidak bisa memberikan hukuman kepada elit, maka rakyatlah yang menghukum lewat pemilu.(*)

Belanja di Mall Kok Mirip Naik pesawat, Tidak Aman

Jum'at, 18/05/2007 14:23 WIB
Catatan Redaksi
Belanja di Mall Kok Mirip Naik Pesawat, Tidak Aman
Cetak E-mail
Syukri Rahmatullah - Okezone

ukay3.jpgGubrakk.., sebuah mobil Honda Jazz jatuh dari lantai 6 mall ITC Permata Hijau. Kejadian yang mirip di dalam film-film action ini tentu saja di luar dugaan semua pihak, dari pengelola ITC Permata Hijau, keluarga ataupun para pengunjung yang berada di tempat kejadian.

Kejadian ini sangat tragis, karena satu keluarga tewas seketika setelah melakukan ibadah Misa dalam memperingati Kenaikan Isa Almasih di Gereja Kemah Abraham Lantai 7 ITC Permata Hijau.

Jika dilihat ke belakang, pada Selasa 1 Mei sekitar 120 karyawan keracunan di pusat perbelanjaan Carrefour Ratu Plaza, semuanya langsung dibawa ke RS Pertamina. Dari ratusan orang ini, lima orang dirawat inap selama beberapa hari karena menghirup racun karbondioksida dan monoksida lebih banyak ketimbang yang lainnya.

Kejadian ini dipicu mati lampu di Carrefour yang berada dibawah basement ditambah lokasi dengan dengan parkir, sehingga kedua racun ini dihirup ratusan karyawan tersebut.

Satu lagi, kejadian yang mengenaskan lainnya adalah tewasnya seorang bocah bernama Andrew karena tertimpa rak besi berisi bola saat berbelanja bersama keluarganya di Carrefour Mangga Dua. Sempat terjadi pemeriksaan tapi pihak kepolisian, akan tetapi hingga kini kasus tersebut tidak diketahui perkembangannya.

Ketiga kejadian diatas menggambarkan bahwa berbelanja di mall sama berbahayanya dengan naik pesawat ataupun kereta api, sama-sama mengancam keselamatan sendiri ataupun keluarga.

Padahal belum lepas ketegangan masyarakat akan mengerikannya naik pesawat ataupun kereta api, ternyata malah berbelanja juga justru berbahaya.

Padahal saat ini tempat hiburan keluarga yang ringan sudah tergusur dengan pembangunan gedung bertingkat dan apartemen-apartemen, sehingga Mall menjadi pilihan terbaik bagi keluarga untuk berakhir pekan. Lalu bagaimana jadinya jika Mall juga tidak mampu memberikan jaminan keselamatan bagi keluarga ketika berbelanja.

Memang, hampir setiap Mall atau pusat perbelanjaan setelah terjadi bencana sibuk memberikan santunan ataupun perhatian kepada keluarga agar tidak menggugat pihak Mall atas kecelakaan yang terjadi. Tapi, bukankah mencegah terjadinya kecelakaan saat berbelanja lebih baik ketimbang memberikan santunan berapapun besarnya.

Padahal di dalam undang-undang sendiri sudah diatur mengenai hak dan kewajiban antara konsumen dan pengusaha atau pengelola Mall. Salah satunya Seperti di dalam undang-undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Sementara dari pihak Pemda DKI, DPRD DKI sendiri tidak terlihat tegas dalam menindak pusat-pusat perbelanjaan yang tidak memenuhi standar keselamatan bagi para konsumen di dalam berbelanja.

Berbeda, ketika Gubernur DKI Sutiyoso ‘pasang badan' untuk warga Meruya Selatan menghadapi sebuah PT Porta Nigra.

Akankah hal serupa dilakukan Bang Yos di masa jabatannya melawan pengelola-pengelola pusat perbelanjaan yang tidak mengindahkan faktor keselamatan ribuan bahkan jutaan masyarakat yang setiap harinya sedang berbelanja.

So, siapakah yang siap bersikap ksatria membela kepentingan-kepentingan konsumen di Indonesia?.

May Day. Rame-rame "Tampil" di Depan Buruh

Selasa, 01/05/2007 16:21 WIB
Catatan Redaksi
May Day, Rame-rame ‘Tampil’ di Depan Buruh
Cetak E-mail
Syukri Rahmatullah - Okezone
ukay3.jpgPeringatan Hari Buruh Internasional kali ini cukup meriah dan unik, dari tikus ‘koruptor’ berukuran besar hingga Waria Taman Lawang ikut meramaikan hari kebesaran kuli-kuli di bangsa sendiri ini.

Akan tetapi, momentum ini juga tidak lepas dari ‘perhatian dan pengertian’ para politisi. Lihat saja dari anggota DPR, Gubernur, calon wakil gubernur hingga Presiden SBY ikut juga ‘meramaikan’ demontrasi ribuan buruh di Jakarta.

Seperti Presiden SBY, di tengah ribuan buruh dari Jabodatabek berpanas-panasan, muka penuh debu, keringat dan berjalan kaki cukup jauh ke kantor Presiden SBY di Istana Negara guna menuntut haknya hari buruh dijadikan hari libur, kesejahteraan buruh ditingkatkan, dan berbagai tuntutan lainnya.

Namun, Presiden SBY malah memperingati hari buruh di Palu, Sulawesi Tengah dengan mengadakan dialog dengan pengusaha, dilengkapi buruh dan Gubernur Sulawesi Tengah HB Paliudju di pabrik cokelat PT Cacao Perkasa di daerah Kayumalue Ngapa, Palu.

Bahkan, Presiden SBY juga mengajak buruh yang hadir untuk menyanyikan lagu Manis dan Sayang yang biasa dinyanyikan grup band senior Koes Ploes.

Sedangkan di Jakarta, Wakil Ketua DPR Zaenal Ma’arif bersama Ketua Komisi IX ‘tampil’ di depan ribuan buruh di depan gerbang DPR, bahkan dengan lantang Zaenal Ma’arif mengajak untuk memerangi AS yang dianggap sebagai dalang kemelaratan buruh di Indonesia.

Padahal kemelaratan buruh saat ini tidak lepas dari andil DPR sebagai pembuat undang-undang.

Kemudian yang tidak kalah menariknya, demontrasi buruh di Balaikota dan DPRD DKI Jakarta yang dilakukan Serikat Pekerja Nasional (SPN), SPK (Serikat Pekerja Keadilan) dan Asosisi Serikat Pekerja (Aspek).

Saat di Balaikota mereka menerima orasi Gubernur Sutiyoso, padahal peringatan-peringatan May Day tahun-tahun sebelumnya, Sutiyoso tidak pernah tampil di depan buruh, tetapi menjelang akhir jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta justru baru tampil.

Dalam kesempatan itu juga Sutiyoso didampingi Wagub Fauzi Bowo yang mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur pada Pilkada nanti dan Sekda Ritola Tasmaya yang sering disebut sebagai Cawagubnya Fauzi Bowo.

Sedangkan di DPRD, Cawagub dari PKS Dani Anwar juga tampil menenangkan gejolak buruh yang sudah berteriak sejak pagi minta kesejahteraan buruh di DKI di tingkatkan.

“Kita sudah menerima tuntutan buruh dan kita akan penuhi semua tuntutan,” teriak Dani di atas podium demontrasi buruh di Balaikota, entah bagaimana dan kapan tuntutan akan dipenuhi, ribuan buruh langsung kembali pulang.

Lalu apakah yang didapatkan buruh pada peringatan May Day kali ini?, apakah Upah Minimum Provinsi dinaikkan?, apakah sistem kerja kontrak dihapuskan?, apakah jaminan kesehatan buruh ditingkatkan?.

Apakah tidak sebaiknya, organisasi buruh yang begitu banyak dan besar jumlahnya menyusun konsep kembali mengenai langkah-langkah perjuangan kesejahteraan buruh, misalnya setiap tahun terjadi kenaikan Rp200.000 untuk UMP di setiap provinsi, atau system kontrak harus dihapus dalam dua atau satu tahun ke depan, ketimbang setiap tahunnya peringatan hari buruh hanya menjadi ajang ‘rekreasi’ saja.

Mudah-mudahan saja, peringatan May Day tetap menjadi ajang pemersatu buruh bukan ajang tampilnya politisi dengan janji yang mungkin belum tentu dipenuhi.

Tersangka Baru Munir, Pemuas Dahaga Keadilan?

Rabu, 11/04/2007 11:48 WIB
Catatan Redaksi
Tersangka Baru Munir, Pemuas Dahaga Keadilan?
Cetak E-mail
Syukri Rahmatullah - Okezone

syukri_rahmatullah.jpgHampir dua tahun setelah Tim Pencari Fakta kasus Munir berakhir Juni 2005 lalu, tiba-tiba Kapolri Jenderal Polisi Sutanto mengungkapkan, dua tersangka baru kasus pembunuhan aktivis HAM Munir yaitu IS dan R, keduanya adalah mantan Dirut Garuda Indra Setiawan dan Vice Presiden Corporate Security Ramelga Anwar menjadi tersangka karena melakukan pemalsuan surat tugas Pollycarpus Budihari Priyanto saat bersama Munir di Pesawat Garuda sebelum meninggal dunia.

Kemudian, apakah dua tersangka baru ini menjadi pelepas dahaga keadilan setelah hampir tiga tahun berjuang mencari keadilan mengungkap pelaku pembunuhan Munir.

Istri Munir, Suciwati mengaku kecewa dan tidak puas. Pasalnya, Suci menganggap IS dan R bukanlah pelaku pembunuhan yang sebenarnya atau hanya menjadi peran pembantu saja. Untuk menjadikan peran pembantu menjadi tersangka saja membutuhkan waktu hampir tiga tahun, lalu butuh berapa tahun untuk menyentuh lingkaran ‘otak pelaku’ pembunuhan Munir.

Perjuangan pelaku kasus Munir sempat menggembirakan ketika Presiden SBY mendukung pembentukan tima pencari fakta (TPF) pada Desember 2004 lalu. Akan tetapi, menjadi sia-sia ketika rekomendasi-rekomendasi TPF Munir di akhir tugas TPF 23 Juni 2005 lalu sama sekali tidak ada tindaklanjutnya.

Angin segar yang sama juga sempat dirasakan ketika Pollycarpus ditangkap, ditahan di Mabes Polri dan diadili di PN Jakarta Pusat, bahkan sempat persidangannya berhasil menghadirkan mantan Direksi BIN Muchdi PR yang tidak pernah mau dipanggil TPF yang dibentuk dengan Keputusan Presiden No 111 tahun 2004.

Dalam persidangan itu, Polly dituntut JPU seumur hidup, akan tetapi hanya dikabulkan 14 tahun penjara oleh hakim PN Jakarta Pusat. Hukuman terhadap Polly terus menurun ketika Kasasi Polly dikabulkan sehingga hanya dihukum 2 tahun karena memalsukan surat dan akhirnya bebas.

Perjalanan berliku perjuangan hukum kasus Munir tidak membuat Suciwati menjadi gerah dan lelah, bahkan Suci seringkali meninggalkan kedua anaknya Alif (5) dan Diva (2) menghadiri pertemuan internasional untuk mengkampanyekan kasus almarhum suaminya, Munir.

Perjuangan suci di negeri asing akhirnya membuahkan hasil, sepulang dari KTT ASEAN XII Cebu, Filipina bulan Januari 2007 lalu. Presiden SBY langsung memanggil Menko Polhukam Widodo AS, Kapolri Sutanto, KaBIN Syamsir Siregar dan mengeluarkan perintah agar kasus Munir diselidiki kembali lebih serius.

Bahkan Kapolri Jenderal Polisi Sutanto kepada wartawan Istana langsung mengatakan bahwa Polri sudah memiliki novum baru dari kasus Munir dan saat ini sedang diselidiki di Amerika tanpa menyebut novum apa yang sudah dimiliki. “Tunggu nanti,�? kata Kapolri saat itu.

Dalam KTT Asean di Cebu Filipina sepertinya Presiden SBY disentil kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir. Sehingga merasa perlu untuk membuka kembali kasus Munir yang sejak TPF Munir selesai ‘dibekukan’ dengan sendirinya.

Lalu, apakah dua tersangka baru dalam kasus Munir ini adalah hasil novum (bukti baru) yang sudah selesai diselidiki di Amerika?, untuk membuktikan Polri serius mengungkap pembunuh Munir atau hanya sekadar menjadi pelipur lara di tengah ‘kebekuan’ kasus Munir setelah Pollycarpus dibebaskan Mahkamah Agung.

Akan tetapi, IS dan R jadi tersangka bukan sesuatu yang ditunggu-tunggu. Karena dalam beberapakali persidangan di PN Jakarta Pusat, bahkan di MA jelas telah terjadi pemalsuan surat tugas untuk Pollycarpus. Artinya ini bukan prestasi luar biasa yang dicetak korps baju coklat ini. Lalu dimanakan pelepas dahaga keadilan itu?.

Akhirnya dahaga keadilan yang dirasakan Suciwati, Alif dan Diva (anak Munir) akan terus berlanjut seperti hari-hari sebelumnya. Tidak juga dapat ‘minuman segar’ dari ‘cawan emas’ yang diharapkan dapat membuat segar dan menghilangkan dahaga yang dirasakan sejak meninggalnya Munir.

Mungkin dahaga Suci saat ini juga dirasakan oleh sebagian masyarakat lain yang merasa tidak mendapatkan keadilan di Indonesia, seperti korban lumpur Lapindo yang hingga kini tidak mendapatkan ganti rugi sementara rumah mereka sudah tenggelam dan keluarganya tinggal di penampungan.

Belum lagi, kasus ketidakadilan lainnya, seperti warga Sutet yang dipaksa hidup dibawah aliran listrik, korban kekerasan tahun 65 dan ratusan ketidakadilan lagi. Entah sampai kapan dahaga keadilan bisa terlepas dengan minum ‘meminum segar’ dengan putusan hukum dan politik yang berpihak rakyat? (*)

Ketika Laptop Tukul "Dicuri" Anggota Parlemen

Jum'at, 23/03/2007 14:28 WIB
Catatan Redaksi
Ketika Laptop Tukul ‘Dicuri’ Anggota Parlemen
Cetak E-mail
Syukri Rahmatullah - Okezone
ukay.jpgDua hari terakhir ini sepertinya kuping artis Tukul Arwana terasa ‘panas’. Bagaimana tidak, namanya semakin santer disebut, setelah terbongkarnya rencana bagi-bagi laptop buat 550 anggota DPR, Rabu 21 Maret kemarin.

Disusul rencana Sekjen DPD Siti Nurbaya melakukan konsultasi dengan Departemen Keuangan untuk mengajukan anggaran yang sama, pengadaan laptop anggota DPD senilai Rp19 juta perorang.

Tidak tanggung-tanggung, yang menyebut nama Tukul hampir 550 anggota DPR dari yang sekedar anggota biasa, hingga pimpinan DPR Zaenal Maarif.

Akan tetapi, yang membuat Tukul lebih kesal adalah laptop yang selalu dipakainya saat membawa acara di televisi justru lebih murah ketimbang laptop yang rencananya akan dibagikan kepada anggota DPR, senilai Rp21 juta. Wuiiih.

Laptop yang sering dipakai Tukul saja memiliki layar 12-14 inch, sedangkan laptop untuk anggota DPR berlayar 10-11 inch, artinya lebih kecil dan lebih bonafide ketimbang yang dipakai Tukul, bagaimana tidak mahal Rp21 juta perlaptop sih.

Pengadaan laptop ini menimbulkan kontroversi di kalangan parlemen sendiri hingga di luar parlemen.

Pertama, pengadaan laptop ini yang menghabiskan anggaran Rp12,1 Miliar dianggap masyarakat tidak elok di tengah sulitnya perjuangan masyarakat Sidoarjo dalam meminta ganti rugi dari hak yang mereka miliki, belum lagi bencana-bencana lainnya seperti longsor di Kabupaten Manggarai, banjir di Surabaya dan Bandung.

Kedua, baik dari dalam maupun luar parlemen mengakui bahwa harga Rp21 juta untuk satu buah laptop sangatlah mahal. Bahkan ahli telematika Roy Suryo saja menggeleng-geleng kepada setelah mendengar pengadaan 550 buah laptop untuk anggota DPR. “Ah, itu hanya akal-akalan Setjen DPR saja,�? komentar singkat Roy Suryo.

Bagaimana tidak mahal, laptop yang diminta BURT dan disetujui Sekjen DPR adalah laptop dengan spesifikasi ‘langka’ seperti layar 10-11 inchi, berat kurang dari dua kilogram, kekuatan 1 giga dan lain-lain. Laptop Tukul saja hanya 14 inci, mirip televisi tetangganya di rumah.

Ketiga, yang lebih mengejutkan adalah dari 550 anggota DPR masih banyak yang belum melek computer alias gagap tekhnologi (Gaptek). “Jika anda main ke ruang DPR, banyak komputer CPU yang diberikan kepada staf karena anggota dewannya tidak bisa menggunakan komputer,�? kata Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti.

Bahkan anggota BURT sendiri, Nursanita Nasution mengakui sekitar 50 persen anggota DPR masih gaptek. “Yang gaptek itu, yang tua-tua itu loh..�? jawab Nursanita. Akan tetapi persoalan gaptek ini dianggap santai Sekjen DPR Faisal Jamal, “Kan kalau dikasih laptop bisa belajar,�? ujarnya.

Least but not last, ketua MPR Hidayat Nurwahid hingga turun tangan menasehati agar dalam pengadaan laptop ini menyakiti hati rakyat, Hidayat sendiri menolak laptop tersebut.

Meski penolakan terhadap rencana pembagian laptop terus bertubi-tubi, bak pepatah ‘Anjing menggonggong kafilah berlalu,’ pengadaan laptop senilai Rp21 juta untuk 550 anggota DPR terus berjalan, sekitar sembilan perusahaan sudah resmi mendaftar ke Setjen DPR untuk ikut tender, rencananya Rabu 28 Maret nanti dimulainya tender.

Kabar yang didengar, Tukul merasa sedih karena 'laptop' yang melejitkan namanya telah ‘dicuri’ anggota DPR, untung saja Tukul belum mendaftarkan ‘laptopnya’ ke lembaga HaKI (Hak Kekayaan Intelektual) sehingga parlemen tidak bisa digugat. Akhirnya, …kembali ke laap tooop.(uky)

Banyak Bencana, Siapa yang Mesti Bertobat

Jum'at, 09/03/2007 15:37 WIB
Catatan Redaksi
Banyak Bencana, Siapa yang Mesti Bertobat?
Cetak E-mail
Syukri Rahmatullah - Okezone
syukri_rahmatullah.jpgBencana di Indonesia bertubi-tubi seolah tiada henti. Dari tanah longsor, banjir, gempa bumi, kecelakaan kapal, kereta api dan pesawat dalam dua tahun terakhir ini membuat kita semua berfikir, kenapa bisa terjadi. Ada apa? lalu salah siapa? Rentetan peristiwa ini terus mengiang di telinga kita sampai hari ini.

Seorang yang religius pasti berpikir bahwa ini adalah teguran dari Yang Maha Kuasa kepada rakyat Indonesia, sehingga banyak seruan dari tokoh agama seperti Hasyim Muzadi dan MUI agar rakyat Indonesia melakukan tobat nasional. Tapi ada juga seperti Mbah Tardjo yang mengusulkan agar Presiden SBY diruwat di Yogyakarta oleh Ki Dalang Timbul karena SBY memiliki tangan yang panas.

Sebagai orang yang beragama tentu saja salat tobat bukan hal yang naïf untuk dilakukan karena setiap orang pasti punya kesalahan. Tinggal dampak dari kesalahan itu sesuai dengan tingkat kekuasaannya, apakah dia lurah, bupati, gubernur ataupun presiden. Akan tetapi, tobat yang penulis maksud adalah introspeksi diri, merenung dan tidak segera memperbaiki agar tidak terjadi kembali.

Lalu siapa yang harus melakukan tobat (sadar). Apakah rakyat seperti seruan tokoh agama harus bertobat, ini mengkonotasikan bahwa rakyat yang bersalah, sehingga Allah memberikan teguran dengan bencana dan kecelakaan yang tidak kunjung berhenti. Ada juga yang mengatakan Presiden SBY yang harus bertobat karena pemimpinlah yang bertanggung jawab atas ummah (rakyat) nya.

Kalau kita kaji masalah kecelakaan transportasi, banyak petunjuk terlihat jelas bahwa memang terjadi human error dalam menjalankan roda transportasi. Contohnya, truk bermuatan bahan berbahaya yang dicampur dengan truk angkutan biasa. Jumlah penumpang yang berlebihan pada Kapal Senopati, rusaknya roda depan Pesawat Garuda dan asap aneh yang timbul sebelum landing.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa penyelesaian ‘jalan pintas’ seringkali dilakukan dalam setiap bidang. Dalam bidang transportasi, tidak mungkin sebuah truk membawa bahan berbahaya bisa diparkir di tempat angkutan biasa kalau tidak ada kongkalikong antara pihak pelabuhan dan operator kapal.

Begitu juga soal pesawat, setiap pesawat yang celaka dikatakan masih layak terbang, tentu ada yang salah dalam pemberian Sertifikasi Kelaikan Udara yang dilakukan Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara (DSKU), tidak tertutup hal kongkalikong terjadi dalam pemberian sertifikasi.

Sedangkan untuk bencana longsor dan banjir sudah menjadi rahasia umum, bahwa illegal logging-lah menjadi penyebab utama, akan tetapi sampai saat ini masih terus terjadi.

Allah SWT dalam Alquran telah memberikan penjelasan kongkret soal bencana bahwa Fasadat fil barri wal bahri bima kasabat aidinnass artinya kerusakan di darat dan bumi akibat kerusakan tangan manusia

Melihat fakta ini, siapakah yang harus bertaubat (sadar)? Apakah rakyat, yang justru selalu menjadi korban dari bencana alam? Ataukah pemimpinnya, yang sampai saat ini masih melanggengkan praktek kongkalikong dengan tujuan kolusi dan korupsi demi kepentingan pribadi dan sesaat?

Membaca Pemerintahan SBY Jelang 2009

Sabtu, 17/02/2007 11:24 WIB
Catatan Redaksi
Membaca Pemerintahan SBY Jelang 2009
Cetak E-mail
Syukri Rahmatullah - Okezone

syukri_rahmatullah.jpgPemilu 2009 memang masih dua tahun lagi, akan tetapi ada beberapa fakta yang tidak bisa dipungkiri yang akan mengamputasi kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menjalankan pemerintahannya.

Disadari atau tidak, Presiden SBY sejak dilantik sudah menanam duri di dalam sekam alias menyiapkan perangkap bagi dirinya sendiri. Keputusan untuk mengakomodasi kekuatan partai-partai politik di dalam kabinetnya justru semakin merongrong pemerintahannya dalam menjalankan amanat pemilu 2004, yaitu pemerintahan yang berlangsung hingga lima tahun, yaitu 2009.

Di era Presiden sebelumnya, sudah jelas bahwa mengakomodasi kekuatan politik di dalam kabinet justru menanam duri dalam sekam. Seperti yang dilakukan Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur yang mencoba mengakomodasi semua kekuatan partai, seperti PDI Perjuangan, Golkar, PAN hingga akhirnya dijatuhkan oleh Wakil Presidennya sendiri, Megawati.

Pada pemerintahan Megawati juga terjadi hal serupa, ketika menjelang pemilu 2004, anak buahnya mulai menanggalkan topengnya satu persatu, seperti Menko Polkam SBY, Menko Kesra Jusuf Kalla dan beberapa menteri yang diam-diam mendukung langkah SBY, seperti Hatta Rajasa.

Pada akhirnya, Presiden SBY mengambil langkah yang sama berbahayanya seperti yang dilakukan oleh Gus Dur dan Megawati, menaman duri di dalam sekam. Presiden SBY telah membiarkan Wapres Jusuf Kalla mengambil alih posisi ketua umum Partai Golkar, bukan membiarkan koleganya seperti Aburizal Bakrie, Surya Paloh atau bahkan Agung Laksono memimpin Golkar. Ditambah lagi Menkop dan UKM Suryadharma Ali juga dibiarkan mengambil alih ketua umum PPP.

Dari fakta-fakta yang tampak jelas, Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) akan terbelah menjadi empat kelompok. Pertama, adalah menteri pendukung Presiden SBY yang berasal dari kalangan militer dan Partai Demokrat, yaitu Seskab Sudi Silalahi, Menko Polhukam Widodo AS, Mendagri Muhammad Ma’ruf, Kepala BIN Syamsir Siregar, Menteri Pariwisata Jero Wacik dan Menpan Taufik Effendi.

Kelompok kedua, adalah vis calon lawan Presiden SBY pada Pilpres 2009, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Kepala Bappenas Paskah Suzetta, Menteri Perindustrian Fahmi Idris yang akan mendukung Wapres Jusuf Kalla menjadi Presiden di pilpres 2009.

Begitu juga dengan Menteri-menteri dari PPP, seperti Menkop dan UKM Suryadharma Ali, Meneg BUMN Sugiharto (PPP), Mensos Bachtiar Chamsyah, Menteri Percepatan Daerah Tertinggal Saifullah Yusuf. Mereka pasti akan mendukung calon presiden atau wapres dari PPP.

Kelompok ketiga, adalah kelompok oportunis yaitu Menhub Hatta Rajasa dan Mendiknas Bambang Sudibyo, keduanya pasti akan oportunis melihat partainya tidak sebesar seperti saat pemilu 1999. Begitu juga menteri dari PKS, Mentan Anton Apriantono dan Meneg Perumahan Rakyat Jusuf Asy’ari akan mendukung Hidayat Nurwahid (mungkin) menjadi Cawapres atau mencari alternatif calon lainnya.. Menteri yang bakal oportunis lainnya adalah Mensesneg Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Kehutanan MS Ka’ban dari Partai Bintang Bulan, Menakertrans Erman Suparno dari PKB.

Kelompok keempat adalah Menteri ‘titipan’ AS atau yang disebut Kwik Kian Gie Mafia Barkeley, yakni Menkeu Sri Mulyani, Menteri Perdagangan Marie Pangestu, dan Menko Perekonomian Boediono.

Kelompok terakhir, adalah kelompok menteri ‘tidak jelas’. Tidak jelas, karena mereka adalah kelompok profesional seperti Menlu Hasan Wirayudha, atau tidak jelas sikap seperti Menkes Siti Fadilah Supari dari ormas Muhammadiyah dan Menteri Agama Maftuh Basyuni dari Nahdlatul Ulama,. Kedua nama terakhir tidak dimasukan dalam kelompok PAN dan Muhammadiyah, karena memang keduanya tidak pernah terlibat aktif atau disertakan di dalam dua lembaga itu.

Kapolri Jenderal Pol Sutanto juga masuk dalam kelompok ini, karena Sutanto bukanlah loyalis murni Presiden SBY, karena dalam beberapa kali sikapnya bertentangan dengan sikap Presiden SBY seperti RUU Kamnas. Berkali-kali Kapolri menolak institusi Polri dimasukkan ke dalam departemen atau berada di bawah menteri

Mengatasi ini, pengamat politik Unair Saldi Isra dalam salah satu tulisannya mengusulkan dua hal agar tahun 2007 ini Presiden SBY membuat kontrak politik dengan jajaran di bawahnya untuk tetap menjalankan pemerintahan atau kalau tidak mengundurkan diri hingga selesainya pemerintahan, yakni Pilpres 2009.

Pertanyaannya adalah apakah semua menteri akan tetap loyal hingga selesainya pemerintahan usai Pilpres 2009? terlebih kelompok lawan politik Presiden SBY dan oportunis.

Berdasarkan kalkulasi politik, setahun sebelum pemilu semua kelompok pasti akan bergerak untuk ‘mengamankan’ kepentingan usai pemilu 2009. Hal itu bisa ditafsirkan berbagai hal seperti menganalisa, kasak-kusuk atau melobi, tawar-menawar calon presiden atau calon wakil presiden yang ‘menjual’ untuk Pilpres 2009, hingga yang paling lunak adalah mengumpulkan ‘modal perang’ untuk bertarung kelompoknya di Pilpres 2009.

Mayoritas parpol di Indonesia memiliki antusias yang sangat tinggi untuk tetap merebut pemerintahan usai Presiden SBY, baik oposisi ataupun menteri-menteri KIB, kontrak politik mungkin hanya akan menjadi solusi di atas kertas yang tidak akan bisa menjamin apa-apa terhadap pembelotan anak buah Presiden SBY di kabinet, tidak bisa mencegah dan tidak bisa menjamin, apakah jika kontrak dilanggar para menteri akan digugat secara hukum ke pengadilan sebagai tindakan pidana, atau akan diajukan gugatan perdata oleh Presiden SBY terhadap pelanggaran kontrak.

Menjelang pemilu, posisi menteri sudah tidak memiliki arti penting lagi. Seperti terjadi pada pemerintahan Presiden Megawati. Atau kasarnya, tidak dicopot pun para Menteri yang memiliki partai besar pasti akan keluar, karena sudah mengumpulkan ‘modal perang’ pada tahun-tahun sebelumnya. Tidak dicopot justru menguntungkan, karena bisa memanfaatkan uang dan posisi yang dimiliki untuk menantang presidennya.

Pada masa Megawati, akibat mundurnya beberapa menteri seperti Menko Polkam SBY, Menko Kesra Jusuf kalla membuat Mendagri menjadi Pjs Menko Polkam dan Menko Kesra alias memiliki tiga jabatan Menteri.

Pembelotan itu memang tidak bisa dicegah, karena itu adalah hal yang alami di dalam politik yang menjadikan kekuasaan sebagai panglima. Mengenai pelayanan publik yang akan terabaikan seperti yang diungkapkan Saldi Isra. Hal itu hanyalah konflik di tingkat elit saja, pelayanan pembuatan KTP, Kartu Keluarga, perizinan dan lain-lainnya tetap berjalan, karena tidak diurus hingga setingkat menteri.

Akan tetapi, kinerja pemerintah akan berjalan di tempat, tidak memiliki kemajuan. Karena semuanya, dari presiden hingga menteri dan pejabat eselon di pemerintahan sibuk menjalankan ‘strategi dan logistik’ menuju Pilpres 2009.

Melihat keadaan itu, semestinya dapat menjadi pelajaran penting bagi presiden hasil pilpres 2009 mendatang, apakah akan tetap melakukan akomodasi kekuatan partai politik agar selamat dari ‘terjangan-terjangan’ parlemen, akan tetapi tetap juga dikhianati di penghujung jabatannya? Kita lihat saja nanti. (uky)