Selasa, 21 Agustus 2007

Ramadhan 2007 dan Godaan Puasa Minyak Tanah

Selasa, 21/08/2007 18:30 WIB
Catatan Redaksi
Ramadhan 2007 dan Godaan Puasa Minyak Tanah
Cetak E-mail
Syukri Rahmatullah - Okezone

Sebentar lagi awal bulan Ramadhan akan dijelang, puasa akan dihadapi. Setiap bulan puasa, semua jenis setan dibelenggu, pintu pahala dibuka lebar. Godaan yang paling berat datangnya dari manusia itu sendiri, baik dari dalam dirinya atau dari luar dirinya.

Ramadhan tahun ini merupakan bulan puasa yang paling berat. Pasalnya, minyak tanah terus- menerus langka dan tidak ada solusi. Sementara, meskipun hanya makan di waktu berbuka dan sahur, aktivitas “dapur” di bulan puasa meningkat sangat luar biasa.

Memang godaan bulan Ramadhan tahun ini sangat berat. Mungkin lebih berat sekalipun setan “kolor ijo” dibebaskan dari neraka untuk menggoda manusia.

Bayangkan saja, tadi pagi, sebuah koran Ibu Kota menampilkan sebuah foto ukuran besar, ibu-ibu sedang menunggu jeriken minyak untuk mengantre minyak tanah di dua lokasi yang berbeda di Jakarta. Kemungkinan besar, antrean ini akan terus berlanjut hingga bulan puasa, bahkan lebaran.

Kejadian ini bukan pertama kali, kemarin dan kemarin lusa juga terjadi antrean yang sama di lokasi berbeda, begitu seterusnya. Bahkan, saat ini seorang warga di Petamburan, Jakarta Barat, harus pergi ke Cengkareng, bahkan ke pelosok Jakarta lainnya dan mengantre berjam-jam dengan ratusan warga setempat untuk mendapatkan 5 liter minyak tanah.

Kesulitan dan kesusahan yang dialami rakyat ini ternyata berawal dari Presiden SBY yang mengeluarkan kebijakan konversi minyak tanah ke gas dengan alasan menekan subsidi BBM sebesar Rp60 triliun pertahun.

Menindaklanjuti kebijakan konversi ini, pemerintah menetapkan penarikan minyak tanah dari pasaran hingga tahun 2011. Namun, antrean di mana-mana sudah mulai sejak satu bulan terakhir.

Melihat kebijakan dan realitas di lapangan, ada beberapa masalah akibat konversi minyak tanah ke gas dalam catatan penulis.

Pertama, kebijakan konversi ini merupakan pemaksaan kehendak yang dilakukan pemerintah kepada rakyatnya. Rakyat dipaksa meninggalkan minyak tanah dan beralih ke gas elpiji. Padahal, sebagai konsumen di negara demokrasi, rakyat berhak memilih bahan bakar mana yang terbaik untuk digunakan.

Dengan menarik pasokan minyak tanah dan menyajikan alternatif gas satu-satunya bahan bakar yang bisa digunakan, pemerintah telah memaksakan kehendaknya dan jelas melanggar asas demokrasi.

Kedua, konversi gas dengan pengumuman penarikan minyak tanah dari pasaran hingga 2011, di sisi lain telah memicu penimbunan minyak tanah oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan sesaat, seperti menaikkan harga minyak tanah hingga seratus persen lebih.

Akibatnya, minyak tanah menjadi barang yang sangat langka di Jakarta yang merupakan Ibu Kota Negara.

Ketiga, pembagian gas dan kompornya ke masyarakat masih banyak menemui masalah. Baik masalah pembagian yang tidak merata, banyak daerah yang tidak mendapatkan, hingga masalah kerusakan gas dan kompornya, warga jadi takut untuk menggunakan gas.

Melihat realitas di atas, sebaiknya pemerintah mengkaji kembali kebijakan konversi gas ke minyak tanah agar tidak melulu kebijakannya menyengsarakan rakyat.

Pada akhirnya, kebijakan pemerintah dalam konversi gas ke minyak tanah sangat merugikan umat muslim yang akan menjalankan ibadah puasa. Mudah-mudahan saja, sebelum bulan yang menunjukkan masuknya Ramadhan terlihat, pemerintah hatinya tersentak. (*)