Syukri Rahmatullah
Senin, 6 Agustus 2012 - 14:56 wib
Prihatin! Hanya itu mungkin kata yang pantas diucapkan untuk menggambarkan situasi pemilukada belakangan ini. Isu suku agama dan ras, digunakan untuk kepentingan sesaat calon tertentu.
Sejak reformasi, isu SARA sudah mulai ditinggalkan secara perlahan. Apalagi setelah mantan Presiden Indonesia, Abdurahman Wahid, bersikap tegas membela kaum minoritas Tionghoa, dengan membolehkan mereka merayakan Imlek yang dilarang selama orde baru berdiri. Pesannya jelas, tidak ada tempat bagi isu SARA di negeri yang bernafaskan Pancasila.
Tapi belakangan ini, upaya tersebut kembali tercoreng. Isu SARA digunakan kembali untuk mendeskreditkan salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Apalagi upaya tersebut dilakukan tempat yang dianggap suci umat muslim, yaitu masjid.
Rhoma Irama boleh saja berdalih bahwa itu adalah dakwah. Tapi, semua orang tahu bahwa dia adalah tim sukses salah satu calon gubernur DKI Jakarta. Tentu saja, dakwah yang dilakukannya tidak bisa dikategorikan netral, melainkan berpihak kepada salah satu calon.
Apalagi dalam aturan pemilu jelas diatur bahwa tempat ibadah, seperti masjid, gereja,vihara, dan lainnya merupakan tempat terlarang untuk melakukan kampanye. Apa yang dilakukan Rhoma Irama tentu saja bernuansa kampanye yang diselipkan dalam ceramah. Sehingga sangat mudah melihatnya bahwa hal tersebut adalah upaya/ajakan kepada pendengar ceramahnya untuk memilih salah satu calon gubernur.
Sayangnya, apa yang dilakukan Rhoma ini mendapatkan apresiasi dari Menteri Agama Suryadharma Ali yang seharusnya dapat menjaga kerukunan umat beragama. Sekalipun banyak orang tahu bahwa Suryadharma adalah ketua umum PPP, Rhoma Irama adalah kader PPP. Partai berlambang Kabah juga telah menyatakan dukungan kepada salah satu calon gubernur.
Ditambah lagi, pasangan calon yang diuntungkan dengan ceramah Rhoma Irama mendukung apa yang dilakukan Rhoma Irama tersebut.
Pemilukada saat ini merupakan pembelajaran yang sangat penting bagi pemilukada yang akan datang. Mencoreng proses pemilukada saat ini dengan cara-cara yang tidak layak, menggunakan kampanye hitam atau black campaign dan juga menggunakan isu SARA merupakan pelajaran yang tidak bijak untuk pemilukada yang akan datang.
Bayangkan saja jika di setiap tempat ibadah digunakan untuk sarana berkampanye, menjelek-jelekkan lawan politik dengan cara berdakwah. Tentu saja ini bukan sebuah perkembangan yang baik bagi demokrasi Indonesia. Kampanye di tempat ibadah dapat memicu kampanye serupa di tempat ibadah lainnya.
Makanya hal ini harus dihentikan. Penyelenggara pemilu harus bersikap tegas terhadap siapapun yang menggunakan cara melanggar hukum untuk memenangkan calonnya harus ditindak. Siapapun, tak terkecuali. Karena pertaruhannya adalah demokrasi Indonesia, masa depan anak cucu kita semua.
Kamis, 09 Agustus 2012
Langganan:
Postingan (Atom)