Catatan Redaksi Perlawanan Menteri Tersangka Korupsi | |
Syukri Rahmatullah - Okezone | |
Masuk penjara terlebih dengan label koruptor tentu bukan keinginan setiap orang. Tapi bagaimana jika hukum mampu membuktikan tindakan korupsi telah dilakukan? Kemungkinan terbesar jawabannya adalah perlawanan segala cara. Itulah yang dilakukan mantan Menneg BUMN Laksamana Sukardi saat ini. Setelah ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam penjualan Kapal Tanker VLCC milik Pertamina, mantan Komisaris Utama Pertamina yang juga mantan Menneg BUMN era Presiden Megawati Soekarnoputri ini langsung mengerahkan segala daya upaya. Perlawanan Laks dilakukan mulai dari rencana bertemu dengan Presiden SBY, bertemu Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Adnan Buyung Nasution, meminta mantan Presiden Megawati dan mantan Menkeu Boediono ikut diperiksa, sampai dengan mengerahkan seribu massa pendukung dari Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) saat diperiksa pertama kali sebagai tersangka. Biasanya kalau sudah diperiksa sebagai tersangka, kemungkinan besar akan langsung ditahan dengan alasan khawatir pelaku menghilangkan barang bukti atau melarikan diri. Mungkin itu alasan Laks mengerahkan pendukung ke Kejagung hari ini. Hal lainnya yang membuat Laks melakukan perlawanan adalah disinyalir bekas partainya, PDIP di DPR melakukan intervensi kasus VLCC, sehingga ia merasa dijadikan target. Perlawanan tersangka korupsi atau terpidana korupsi kerapkali dilakukan sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk. Dari menyerang balik dengan melaporkan pelapor korupsi ke aparat hukum dengan pasal-pasal karet seperti pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan, menyerang pribadi komisioner KPK seperti yang pernah dialami Wakil Ketua KPK Erry Riyana, hingga membongkar keterlibatan pejabat tersohor lainnya. Dari seluruh perlawanan tersangka atau terpidana korupsi yang paling menghebohkan adalah perlawanan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri yang terjerat korupsi dana nonbudjeter Departemen Kelautan dan Perikanan. Ia membongkar nama-nama pejabat tersohor hingga pemuka agama yang menerima dana nonbudjeter DKP yang divonis Pengadilan Tipikor sebagai tindakan korupsi. Mulai dari Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, mantan Ketua MPR Amien Rais, tim sukses SBY-JK, tim sukses Megawati-Hasyim, hingga sejumlah anggota dewan di senayan sana. Seperti biasa, ada yang mengakui tapi tidak tahu dan ada juga yang tidak mengakui sama sekali, "menghindar dari perangkap". Masalah ini menjadi semakin besar ketika mantan Ketua MPR Amien Rais yang mencalonkan diri sebagai capres 2004 mengakui menerima uang tersebut dan menyebut ada capres menerima dana asing. Tapi kemudian, masalah ini menjadi antiklimaks setelah pertemuan Amien Rais dengan SBY selama 10 menit di Bandara Halim Perdana Kusumah, yang isinya hanya diketahui keduanya. Dari kisah perlawanan ini, ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil. Pertama, mantan pejabat yang terlibat korupsi tidak percaya dengan supremasi hukum, mereka percaya hukum masih bisa diintervensi kekuatan politik, sehingga melakukan perlawanan dengan berbagai macam cara. Kedua, syndrome pejabat yang selalu diperlakukan khusus masih melekat ketika selesai menjabat, sehingga "meminta" perlakukan khusus atau "jalur cepat" masih ditempuh baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Seperti rencana bertemu presiden atau wantimpres setelah ditetapkan sebagai tersangka. Ketiga, di sisi lain banyak yang meyakini bahwa penegakan hukum di Indonesia masih tebang pilih. Karena lebih banyak mantan pejabat dari lawan politik yang diusut, sedangkan dari mantan pejabat rekan penguasa tidak disentuh, bahkan terkesan diamankan. Lihat Aburizal Bakrie dalam kasus Lapindo. Kisah perlawanan ini menunjukkan bahwa hukum secara de facto belum menjadi panglima dan prinsip equal before the law yang biasa didengar sarjana hukum saat kuliah, masih menjadi slogan belaka. Lalu, dimanakah letak supermasi hukum itu, hanya pejabat berkuasalah yang tahu. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar