Syukri Rahmatullah
Senin, 17 Mei 2010 - 17:17 wib
ARTIS muda Arumi Bachsin kabur dari rumah. Dia kabur bukan diajak seorang pria yang dikenalnya dari jejaring sosial seperti facebook atau karena diculik pria yang baru dekat dengannya.
Bintang iklan berusia 16 tahun ini kabur dengan kesadarannya sendiri, karena ingin protes kepada ibunya Maria Liana Pesch, yang menurut Arumi telah mengeksploitasi dirinya di dunia entertainment.
Sungguh mengejutkan! Karena selama ini, Arumi selalu tampil dengan senyumnya di layar kaca, baik sebagai bintang iklan, sinetron ataupun di tayangan infotainment.
Pengakuan Arumi ini mengingatkan penulis dengan kasus beberapa waktu lalu, yang juga melibatkan Komnas Perlindungan Anak. Ya, artis muda yang juga mengaku dieksploitasi adalah Aurelie Moremans.
Tapi, dia bukan dieksploitasi oleh ibunya sendiri. Dia mengaku dieksploitasi oleh production house yang cukup ternama di Indonesia. Dia pun meminta perlindungan dari lembaga yang dipimpin Seto Mulyadi.
Dua kasus ini merupakan contoh yang mungkin juga terjadi terhadap selebriti anak lainnya. Karena, sejauh ini banyak selebriti anak yang sering tampil di layar kaca melalui sinetron striping, iklan, bahkan menyanyi.
Munculnya artis cilik memang sudah terjadi sejak lama, sebut saja Rano Karno, Adi Bing Slamet, Ira Maya Sopha dan lain-lain. Namun, saat itu televisi hanya ada satu yaitu TVRI. Maka, artis di bawah umur saat ini belum begitu banyak.
Seiring tumbuhnya dunia hiburan, tumbuh juga production house dan manajemen artis yang merekrut dan mencari artis-artis cilik. Di tahun 1990-an pun artis cilik semakin ramai. Sebut saja Joshua, Sherina, Tina Toon, Derby, dan banyak lagi.
Kemudian di era sekarang ada Baim, Fahri ‘Entong’ di dunia sinetron, ada juga grup band anak-anak seperti Lucky Laki yang dibentuk pentolan Republik Cinta Manajemen, Ahmad Dhani. Selain itu ada juga grup band yang relatif sama, yaitu Pangeranku dan Radja Cilik.
Menyalurkan bakat dan hobi anak memang bagus, akan tetapi ketika menjadi tenar dan memiliki tawaran manggung yang cukup banyak, bisa jadi godaan untuk mengeksploitasi anak muncul di depan mata. Karena, bagaimana pun ‘aji mumpung’ sering kali muncul di dunia hiburan.
“Mumpung terkenal, sikat aja sekalian setiap tawaran yang masuk” begitu seringkali ucapan atau keinginan yang ada di kepala ketika si artis namanya naik daun. “Urusan sekolah, belakangan saja kalau sudah tidak tenar lagi” inilah ucapan selanjutnya.
Aji mumpung ini akhirnya menggadaikan dunia pendidikan ataupun waktu bermain yang merupakan ‘jatah’ bagi seorang anak. Karena sudah tenar, dia ‘dipaksa’ untuk bekerja oleh orangtuanya ataupun production house, agar memenuhi target yang diharapkan. Yang parah, ketika yang memaksa tidak punya target sama sekali.
Dalam pantauan penulis, selebriti biasanya terpecah ke dalam tiga sikap dalam menghadapi masalah aji mumpung ini dan dunia pendidikan. Pertama, menyetop dunia hiburan untuk sementara dan menuntaskan pendidikan terlebih dahulu. Biasanya, di mata artis ini pendidikan lebih penting.
Kedua, artis yang memanfaatkan ketenaran untuk meraup uang sebanyak-banyaknya. Ketika dirasa, ketenarannya sudah mulai menurun, barulah dia memilih ke bangku sekolah. Meskipun bisa dibilang terlambat.
Ketiga, ada artis yang sama sekali tidak menganggap penting pendidikan dan lebih memiliki dunia hiburan. Biasanya, artis ini berpikir toh tanpa pendidikan dia bisa mencari uang yang banyak. Baginya, pendidikan hanya alat untuk mencari uang belaka.
Kasus Arumi Bachsin ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah (sebagai pemangku kebijakan), Komnas Perlindungan Anak (KPA), pegiat dunia hiburan (sebagai pelaku), dan juga orangtua si anak (pelaku). Bahwa, anak memiliki hak untuk menikmati kehidupannya sebagai seorang anak, bukan kemudian menjadi sapi perah untuk mencari uang.
Semoga saja tidak muncul lagi kasus-kasus eksploitasi seperti yang dialami Arumi Bachsin, Aurelie Moremans, dan artis-artis muda lainnya.
*diterbitkan di www.okezone.com
Kamis, 28 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar