Syukri Rahmatullah
Jum'at, 25 Februari 2011 - 17:25 wib
SIDANG paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu lalu, yang memutuskan menolak hak angket Mafia Pajak berlangsung tragis. Karena perbedaan suaranya hanya dua suara saja.
Ada yang unik dalam sidang paripurna ini, karena dua partai yang tergabung dalam sekretariat gabungan koalisi pemerintah, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Golkar tidak sejalan dengan Partai Demokrat.
PKS dan Golkar justru bergabung bersama PDIP untuk mengusulkan agar hak angket digulirkan. Yang lebih unik, Partai Gerindra yang sebelumnya sejalan dengan PDIP, justru mendukung upaya Partai Demokrat untuk menolak hak angket.
Padahal, Ketua Umum Partai Golkar yaitu Aburizal Bakrie dipercaya Presiden SBY untuk menduduki sebagai ketua umum setgab partai koalisi pemerintah. Lalu apa yang terjadi dengan koalisi, sehingga tak seirama lagi.
Tidak seiramanya partai koalisi pemerintah bukan terjadi yang pertama kali. Pada saat bergulirnya hak angket Century, PKS dan Partai Golkar juga ‘membelot’ dari koalisi. Keduanya bersama PDIP, Partai Gerindra, mendukung bergulirnya hak angket Century, sehingga Partai Demokrat kalah dalam voting di sidang paripurna.
Kedua peristiwa ini tampaknya ingin meniru apa yang pernah terjadi di tahun 2001 lalu. Yaitu saat Gus Dur berhasil dijatuhkan pendukungnya sendiri yaitu Poros Tengah melalui Pansus Bullogate.
Berbeda dengan koalisi yang terbangun di Poros Tengah, koalisi yang dibangun KIB Jilid II disebut-sebut sebagai koalisi permanen. Bahkan hingga dibentuk setgab koalisi yang dipimpin Aburizal Bakrie.
Pepatah ‘Tak Ada Kawan Abadi dalam Politik’ tampaknya menjadi nyata. Karena, partai yang sudah mendapat jatah sebagai menteri pun masih bisa berbelok arah, ketika memiliki kepentingan yang berbeda.
Ada banyak orang yang menyebut upaya Presiden SBY membentuk setgab koalisi karena ingin meniru UMNO di Malaysia, yang berhasil menyatukan beberapa partai dalam satu koalisi. Karenanya, UMNO sampai sekarang masih berkuasa di Malaysia.
Walau begitu, meski apa yang dilakukan Partai Golkar dan PKS dianggap negatif Partai Demokrat, karena tidak sejalan lagi dengan pemerintah. Apa yang dilakukan kedua partai ini juga bisa bermakna positif.
Yang pertama, politik Indonesia lebih dinamis, karena sulit ditebak. Bisa dibayangkan, jika kedua partai yang tergabung dalam koalisi hanya mengikuti apa kemauan pemerintah saja. Yang ada, mereka hanya menjadi alat legitimasi belaka.
Kedua, parlemen masih bisa mengkritisi kebijakan pemerintah yang sekiranya tidak berpihak kepada rakyat. Mudah-mudahan kritis yang dibangun di DPR bukan hanya untuk alat menambah jumlah menteri di kabinet. Semoga benar-benar untuk kepentingan rakyat.
Kamis, 28 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar