Melakukan liputan di lapangan, bagi seorang jurnalis bak menjalani sebuah misi dalam peperangan. Karenanya dibutuhkan strategi agar misi bisa berhasil dengan sukses. Melakukan sebuah peliputan tidak bisa mengalir begitu saja seperti air. Harus ada sebuah strategi!
Pembicara sebelumnya telah berbicara mengenai tekhnis reportase. Menyiapkan bagaimana untuk melakukan wawancara yang baik dan benar.
Lalu bagaimanakah jika dalam perjalannya seorang jurnalis menghadapi narasumber yang sulit untuk ditemui, apalagi dimintai komentarnya, bak menghadapi sebuah dinding yang kokoh dan juga tinggi.
Karena itu dibutuhkan strategi untuk menaklukkan tembok besar tersebut.
Pertama, kenali narasumber Anda. Jika Anda tidak mengenal dengan baik siapa yang akan wawancarai, bagaimana Anda bisa berkomunikasi dengan baik.
Misal, narasumber yang akan Anda temui adalah M Nazarudin. Carilah informasi siapa dia? Jabatannya di Partai Demokrat, jabatannya di Fraksi Partai Demokrat, jabatannya di DPR, selain di pemerintahan dia aktif di mana saja. LSM, organisasi kepemudaan, atau perusahaan.
Cari tahu juga mengenai sifatnya. Apakah dia orang yang arogan, pemarah, sombong, atau malah asyik dan mudah untuk diajak bicara apapun.
Hal ini terkadang perlu untuk diantisipasi, agar kita bisa mengukur pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada narasumber.
Kedua, perkenalkanlah diri anda kepada narasumber. Nama dan media Anda. Jelaskan secara lugas. Jika Anda berhasil mendapatkan nomor kontak M Nazarudin, hubungi dan perkenalkan diri Anda, media Anda.
Ketiga, sampaikan tujuan Anda mewawancarai dia? Apa topik wawancara Anda dan mengapa itu ditanyakan?. Jika perlu sampaikan kepada narasumber bahwa pernyataannya sangat penting dan ditunggu pembaca.
Keempat, sampaikan kepada narasumber kerugian yang bakal dia dapatkan jika tidak mau berkomentar. Informasi akan dimenangkan pihak lawan dan merugikan dirinya.
Kelima, jika tidak bersedia, mintalah narasumber untuk memberikan satu dua pernyataan. Misal “ya” atau “tidak”, “benar” atau “salah”.
Keenam, Jika sedari awal narasumber diketahui tidak suka dengan topik pembicaraan yang akan disampaikan. Cari tahu topik yang dia sukai, ini bisa dijadikan pintu masuk untuk isu yang ingin ditanyakan.
Ketujuh, Jika tetap tidak bisa. Tutup pembicaraan dengan sopan dan sampaikan mungkin di lain waktu bisa bekerjasama dengan baik.
Kedelapan, jika narasumber tidak mau jangan terus Anda menyerah. Masih banyak cara yang bisa Anda lakukan. Misalnya doorstop, Anda bisa mencegat narasumber di ruang-ruang publik. Saat dia ke luar rumah atau kantor. Tapi, jangan sekali-sekali memasuki ruang privat dan tetap jagalah kesopanan saat mencegat narasumber.
Kesembilan, jika narasumber adalah seorang pembicara. Jurnalis juga menyamar sebagai peserta dg membayar yg memiliki hak untuk bertanya.
Kesepuluh, jika narasumber utama tidak berhasil Anda dapatkan. Cari dan gunakanlah narasumber sekunder untuk menopang data dan informasi yang hendak Anda klarifikasi. Biasanya, narasumber sekunder ini termasuk keluarga, kerabat, rekan kerja, dan lain-lain. Akan tetapi, narasumber sekunder terkadang cukup kuat dalam memberikan informasi, tapi terkadang dia juga lemah. Tergantung kedekatan dan sejauh mana narasumber sekunder mengetahui dan mengenal narasumber primer (utama).
kesebelas, jika narasumber bersedia menemui Anda berpakaianlah yang sopan. Mungkin berpakaian sopan adalah salah satu elemen penting untuk menghargai narasumber. Bagaimana mungkin, anda dapat dihargai narasumber jika Anda tidak menghargainya dengan tidak berpakaian sopan.
Keduabelas, bertanyalah yang sopan hindari menghakimi narasumber. Sekalipun narasumber kita adalah orang yang diduga kuat tersangka dalam sebuah kasus. Tapi hindarilah pertanyaan-pertanyaan yang menghakimi. Karena pertama, anda bukanlah hakim yg memutuskan mana yg benar dan mana yang salah. Seorang jurnalis harus mengedepankan asas praduga tidak bersalah.
Ketiga belas, gunakanlah sedikit guyonan agar wawancara tidak berlangsung kaku. Biasanya wawancara yg berlangsung cair, bakal mengeluarkan informasi-informasi yang lebih banyak.
Keempat belas, jangan suka memotong pembicaraan. Memotong pembicaraan orang adalah hal yg tidak baik, karena anda tidak tengah melakukan talkshow yang waktunya sempit. Biarkanlah narasumber berbicara banyak. Jika memang dirasa terlalu melebar, cobalah kembalikan alur pembicaraan dengan sopan.
Kelima belas, pilih tempat yang netral. Jika Anda berhasil membujuk narasumber untuk bertemu dalam sebuah wawancara, jika materi yang akan ditanyakan sangat sensitif pilihlah tempat yang netral dan terbuka. Misalnya café di mall atau tempat terbuka lainnya. Hal ini dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, jika narasumber tidak senang dan marah terhadap materi yang ditanyakan.
Dalam setiap kasus tentu saja berbeda penanganannya. Dalam hal ini bergantung pada kreativitas seorang jurnalis untuk membuat strategi agar narasumber mau kita temui dan juga berbicara banyak sebagaimana yang diinginkan.
Yang pasti ada beberapa sikap yang harus dimiliki seorang jurnalis dalam melakukan tugas peliputan.
Pertama, jadikan profesi jurnalis sebagai panggilan hati. Banyak orang yang menjadikan profesi jurnalis hanya sebagai jembatan untuk meraih profesi tertentu. Misalnya, agar dekat dengan partai tertentu dan menjadi calon anggota DPR dari partai tersebut.
Kedua, jadilah pemberani. Seorang jurnalis sebenarnya juga sosok yang religius. Apapun agama Anda, pasti percaya bahwa yang maha kuat adalah Tuhan. Jika Anda memegang teguh seperti ini, maka siapapun, setinggi apapun posisinya, segarang apapun orangnya. Anda pasti memiliki keberanian melakukan wawancara.
Ketiga, bulatkan tekad. Seorang jurnalis harus memiliki tekad yang bulat. Jadi, tak ada cerita bahwa tak ada tugas yang tidak terselesaikan. Karena si jurnalis terus melakukan upaya dengan berbagai macam cara untuk menuntaskan misi yang diembannya.
Semisal, jika tidak ada kebulatan tekad. Si jurnalis pasti tidak akan mau jika diminta korlipnya untuk menongkrongi rumah M Nazarudin atau sebuah tempat yang diduga persembunyian Nazarudin.
Keempat, bersikap santunlah. Jurnalis bukanlah segerombolan preman yang garang dan menakutkan. Jangan mentang-mentang wartawan, Anda bisa bertindak seenaknya terhadap narasumber. Anda juga harus bisa menunjukkan bahwa seorang jurnalis adalah sosok yang santun dan menjaga etika dalam menjalankan tugasnya.
Bukannya menaiki kap mobil narasumber seperti yang terjadi pada kendaraan Nicky Astria atau menggedor mobil narasumber.
Kelima, bersabarlah. Seorang jurnalis harus memiliki tingkat kesabaran yang tinggi. Apalagi saat dituntut menunggu narasumber yang memiliki kesibukan yang seabreg atau pemeriksaan yang berlangsung lama.
Pada akhirnya tulisan di atas hanyalah teori-teori di atas kertas, sebagian berdasarkan pengalaman. Tapi, tentunya setiap pengalaman orang pasti berbeda-beda. Andalah penentu strategi di lapangan ada di tangan Ada.
Semoga berhasil!
*materi ini disampaikan dalam pelatihan jurnalistik reporter Okezone.com pada 17 Juni 2011.
Jumat, 17 Juni 2011
Mencurigai Kursi Haram di DPR
Jum'at, 17 Juni 2011 - 13:22 wib
*diterbitkan di okezone.com
Nila setitik rusak susu sebelanga. Peribahasa ini cocok menggambarkan pemalsuan surat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sengketa pemilu di daerah pemilihan Sulawesi Selatan antara Dewi Yasin Limpo dari Hanura dengan Mestariani Habie dari Gerindra.
MK memutuskan kursi jatuh kepada Mestariani Habie pada tanggal 17 Agustus 2009. Akan tetapi, KPU malah memutuskan kursi jatuh kepada Dewi Yasin Limpo, berdasar keputusan KPU tanggal 14, yang diduga adalah palsu.
Dengan adanya dugaan pemalsuan ini, para politisi Senayan patut curiga kepada Andi Nurpati. Karena kini, setelah keluar dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi dapat jabatan sebagai Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi Publik di DPP Partai Demokrat.
Sekalipun surat MK yang dipalsukan tersebut tidak berkaitan dengan caleg dari Partai Demokrat, tapi tetap saja politisi Senayan gerah dengan peristiwa ini dan menduga ada konspirasi lebih besar terkunci di kotak pandora. Mungkin mereka curiga ada permainan Andi Nurpati terhadap kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009 lalu.
Karena itulah Panja Mafia Pemilu kini tengah diwacanakan di Komisi II DPR untuk dibentuk, guna menyusut dan mencari tahu apa saja dugaan kecurangan yang dilakukan Andi Nurpati. Mereka berharap Panja ini mampu menjadi kunci untuk membuka kotak Pandora.
Berkaca ke belakang, Partai Demokrat merupakan partai tengah yang penuh kejutan. Karena baru ikut pemilu tahun 2004 lalu langsung mencelat pada ke posisi kelima dengan memperoleh 7,45 persen atau 8.455.225 suara. Dengan bekal ini Partai berlambang mercy ini mendapatkan 57 kursi di DPR.
Dengan perolehan suara ini, Partai Demokrat bersama koalisinya berhasil menghantarkan SBY sebagai presiden pertama yang dipilih secara langsung. Lima tahun kemudian, berbeda dengan dua partai besar seperti Partai Golkar dan PDI Perjuangan yang terus menurun suaranya. Partai Demokrat justru melesat 100 persen lebih pada Pemilu 2009.
Pada pemilu ini, Demokrat langsung menyalip ke posisi pertama, mengangkangi Partai Golkar , PDI Perjuangan, dan Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Partai Demokrat berhasil mendapat 20,4 persen atau 21 juta suara . Suara ini naik 100 persen lebih dari pemilu 2004. Begitu juga dengan kursi yang mereka dapatkan di DPR, jika pada Pemilu 2004 hanya 57 kursi, kali ini mereka mendapat 150 kursi atau 26,4 persen.
Bisa saja latar belakang ini menjadi kecurigaan para politisi di Senayan terhadap Partai Demokrat. Apalagi mengingat dua anggota KPU pada pemilu 2004 dan 2009, kini menjadi orang penting di DPP Partai Demokrat. Yaitu Anang Urbaningrum, dulu anggota KPU 2004 kini Ketua Umum Partai Demokrat. Begitu juga Andi Nurpati.
Jika dugaan kecurangan ini benar adanya maka bisa menjadi malapetaka politik yang dahsyat bagi negeri ini. Karena suara dan aspirasi jutaan pemilih telah dikelabui oleh segelintir orang yang notabene adalah wasit permainan (KPU). Jika benar, para politisi dan juga penegak hukum telah kecolongan.
Ke depan sudah seharusnya wasit pemilu yang berlangsung lima tahunan ini harus lebih ketat lagi mengawasi tingkah polah para wasit. Agar dugaan kecurangan, manipulasi tidak terjadi lagi.
Isu ini juga menjadi tantangan besar yang harus dituntaskan Partai Demokrat, selain kasus M Nazarudin. Mereka harus membuktikan bahwa suara dan kursi yang mereka dapatkan dilakukan secara murni, bukan dengan manipulasi. Karenanya, terbukalah kepada masyarakat. Hanya itu caranya untuk mengembalikan kebenaran.
Apakah Demokrat siap menjawab tantangan ini?
*diterbitkan di okezone.com
Nila setitik rusak susu sebelanga. Peribahasa ini cocok menggambarkan pemalsuan surat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sengketa pemilu di daerah pemilihan Sulawesi Selatan antara Dewi Yasin Limpo dari Hanura dengan Mestariani Habie dari Gerindra.
MK memutuskan kursi jatuh kepada Mestariani Habie pada tanggal 17 Agustus 2009. Akan tetapi, KPU malah memutuskan kursi jatuh kepada Dewi Yasin Limpo, berdasar keputusan KPU tanggal 14, yang diduga adalah palsu.
Dengan adanya dugaan pemalsuan ini, para politisi Senayan patut curiga kepada Andi Nurpati. Karena kini, setelah keluar dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi dapat jabatan sebagai Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi Publik di DPP Partai Demokrat.
Sekalipun surat MK yang dipalsukan tersebut tidak berkaitan dengan caleg dari Partai Demokrat, tapi tetap saja politisi Senayan gerah dengan peristiwa ini dan menduga ada konspirasi lebih besar terkunci di kotak pandora. Mungkin mereka curiga ada permainan Andi Nurpati terhadap kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009 lalu.
Karena itulah Panja Mafia Pemilu kini tengah diwacanakan di Komisi II DPR untuk dibentuk, guna menyusut dan mencari tahu apa saja dugaan kecurangan yang dilakukan Andi Nurpati. Mereka berharap Panja ini mampu menjadi kunci untuk membuka kotak Pandora.
Berkaca ke belakang, Partai Demokrat merupakan partai tengah yang penuh kejutan. Karena baru ikut pemilu tahun 2004 lalu langsung mencelat pada ke posisi kelima dengan memperoleh 7,45 persen atau 8.455.225 suara. Dengan bekal ini Partai berlambang mercy ini mendapatkan 57 kursi di DPR.
Dengan perolehan suara ini, Partai Demokrat bersama koalisinya berhasil menghantarkan SBY sebagai presiden pertama yang dipilih secara langsung. Lima tahun kemudian, berbeda dengan dua partai besar seperti Partai Golkar dan PDI Perjuangan yang terus menurun suaranya. Partai Demokrat justru melesat 100 persen lebih pada Pemilu 2009.
Pada pemilu ini, Demokrat langsung menyalip ke posisi pertama, mengangkangi Partai Golkar , PDI Perjuangan, dan Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Partai Demokrat berhasil mendapat 20,4 persen atau 21 juta suara . Suara ini naik 100 persen lebih dari pemilu 2004. Begitu juga dengan kursi yang mereka dapatkan di DPR, jika pada Pemilu 2004 hanya 57 kursi, kali ini mereka mendapat 150 kursi atau 26,4 persen.
Bisa saja latar belakang ini menjadi kecurigaan para politisi di Senayan terhadap Partai Demokrat. Apalagi mengingat dua anggota KPU pada pemilu 2004 dan 2009, kini menjadi orang penting di DPP Partai Demokrat. Yaitu Anang Urbaningrum, dulu anggota KPU 2004 kini Ketua Umum Partai Demokrat. Begitu juga Andi Nurpati.
Jika dugaan kecurangan ini benar adanya maka bisa menjadi malapetaka politik yang dahsyat bagi negeri ini. Karena suara dan aspirasi jutaan pemilih telah dikelabui oleh segelintir orang yang notabene adalah wasit permainan (KPU). Jika benar, para politisi dan juga penegak hukum telah kecolongan.
Ke depan sudah seharusnya wasit pemilu yang berlangsung lima tahunan ini harus lebih ketat lagi mengawasi tingkah polah para wasit. Agar dugaan kecurangan, manipulasi tidak terjadi lagi.
Isu ini juga menjadi tantangan besar yang harus dituntaskan Partai Demokrat, selain kasus M Nazarudin. Mereka harus membuktikan bahwa suara dan kursi yang mereka dapatkan dilakukan secara murni, bukan dengan manipulasi. Karenanya, terbukalah kepada masyarakat. Hanya itu caranya untuk mengembalikan kebenaran.
Apakah Demokrat siap menjawab tantangan ini?
Kamis, 09 Juni 2011
Menguji (lagi) Dinasti Soeharto
Jum'at, 10 Juni 2011 - 11:46 wib
*diterbitkan di okezone.com
BARU-baru ini Partai Nasional Republik mendaftarkan diri ke Kementerian Hukum dan HAM sebagai calon peserta pemilu 2014. Sepintas tidak ada yang menarik, terkecuali nama Dewan Pembina partai tersebut tertera nama Tommy Soeharto.
Memang, Ketua Dewan Pendiri PNR, Neneng A Tuty, mengakui 990 pendiri partai ini mendapuk Tommy Soeharto sebagai daya tarik partai. Mereka berhasil, setidaknya menjadi daya tarik bagi media massa untuk mengetahuinya. Belum tentu pemilih.
Desas-desus Tommy bakal mendirikan partai sebenarnya sudah terdengar sejak jauh-jauh hari. Sejak dia terjegal persyaratan sebagai calon ketua umum partai Golkar pada September 2009 lalu. Sejak saat itu sudah berhembus kabar, Tommy akan membuat ‘sekoci baru’.
Tak hanya Tommy, putri sulung mantan Presiden Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut sebenarnya juga pernah membesut Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang ikut bertarung dalam pemilu 2004 dan 2009 lalu.
Sayangnya, Tutut gagal dalam melanjutkan warisan Soeharto yang berhasil menjadikan Partai Golkar selalu menjadi partai pemenang pemilu selama orde baru.
Pada pemilu 2004, PKPB memperoleh 2.399.290 atau 2,1 persen suara. Saat itu posisi partainya berada di peringkat 11, posisi pertama ditempati Partai Golkar disusul PDIP. Meskipun keduanya posisi pertama, suara kedua partai ini menurun cukup lumayan ketimbang pemilu 1999.
Pada pemilu selanjutnya, perolehan suara PKPB juga menurun 1.461.182 atau 1,4 persen suara dan turun menjadi peringkat ke-12. Pada pemilu ini, Golkar dan PDIP disalip Partai Demokrat di posisi pertama.
Kedua hasil pemilu ini merupakan pesan dari rakyat secara langsung, bahwa mereka tidak menginginkan kembalinya dinasti Soeharto ke tampuk kekuasaan. Uniknya, hasil kedua pemilu ini tidak berbanding lurus dengan hasil survei yang dilakukan Indobarometer berdekatan dengan kemunculan Partai Republik Nasional.
Lembaga survei yang dipimpin Muhammad Qodari ini mengungkapkan, masyarakat lebih mencintai Soeharto ketimbang pemimpin pascareformasi. Soeharto mendapat dukungan 36.5 persen, SBY 20,9 persen, Soekarno 9,8 persen, Megawati 9,2 persen, Habibie 4,4 persen, dan Gus Dur 4,3 persen.
Disebutkan juga, 40,9 persen dari 1.200 responden menilai orde baru lebih baik ketimbang masa reformasi. Hanya 22,8 persen yang menilai masa reformasi lebih baik.
Entah mana yang benar, apakah hasil survei yang melibatkan 1.200 orang atau hasil Pemilu 2004 dan 2009 yang melibatkan 220 jutaan rakyat di bilik suara. Tak ada yang salah memang jika keluarga Soeharto ikut bertarung lagi dalam Pemilu 2014. Karena setiap masyarakat memiliki hak untuk dipilih dan dipilih. Tapi, tak ada salahnya juga untuk membaca dua pesan masyarakat dari dua pemilu sebelumnya. Semoga saja, pesan dari rakyat selanjutnya dapat dibaca dengan baik dan tidak disesatkan beberapa pihak yang mungkin saja memanfaatkan keluarga Soeharto demi keuntungan sesaat.
*diterbitkan di okezone.com
BARU-baru ini Partai Nasional Republik mendaftarkan diri ke Kementerian Hukum dan HAM sebagai calon peserta pemilu 2014. Sepintas tidak ada yang menarik, terkecuali nama Dewan Pembina partai tersebut tertera nama Tommy Soeharto.
Memang, Ketua Dewan Pendiri PNR, Neneng A Tuty, mengakui 990 pendiri partai ini mendapuk Tommy Soeharto sebagai daya tarik partai. Mereka berhasil, setidaknya menjadi daya tarik bagi media massa untuk mengetahuinya. Belum tentu pemilih.
Desas-desus Tommy bakal mendirikan partai sebenarnya sudah terdengar sejak jauh-jauh hari. Sejak dia terjegal persyaratan sebagai calon ketua umum partai Golkar pada September 2009 lalu. Sejak saat itu sudah berhembus kabar, Tommy akan membuat ‘sekoci baru’.
Tak hanya Tommy, putri sulung mantan Presiden Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut sebenarnya juga pernah membesut Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang ikut bertarung dalam pemilu 2004 dan 2009 lalu.
Sayangnya, Tutut gagal dalam melanjutkan warisan Soeharto yang berhasil menjadikan Partai Golkar selalu menjadi partai pemenang pemilu selama orde baru.
Pada pemilu 2004, PKPB memperoleh 2.399.290 atau 2,1 persen suara. Saat itu posisi partainya berada di peringkat 11, posisi pertama ditempati Partai Golkar disusul PDIP. Meskipun keduanya posisi pertama, suara kedua partai ini menurun cukup lumayan ketimbang pemilu 1999.
Pada pemilu selanjutnya, perolehan suara PKPB juga menurun 1.461.182 atau 1,4 persen suara dan turun menjadi peringkat ke-12. Pada pemilu ini, Golkar dan PDIP disalip Partai Demokrat di posisi pertama.
Kedua hasil pemilu ini merupakan pesan dari rakyat secara langsung, bahwa mereka tidak menginginkan kembalinya dinasti Soeharto ke tampuk kekuasaan. Uniknya, hasil kedua pemilu ini tidak berbanding lurus dengan hasil survei yang dilakukan Indobarometer berdekatan dengan kemunculan Partai Republik Nasional.
Lembaga survei yang dipimpin Muhammad Qodari ini mengungkapkan, masyarakat lebih mencintai Soeharto ketimbang pemimpin pascareformasi. Soeharto mendapat dukungan 36.5 persen, SBY 20,9 persen, Soekarno 9,8 persen, Megawati 9,2 persen, Habibie 4,4 persen, dan Gus Dur 4,3 persen.
Disebutkan juga, 40,9 persen dari 1.200 responden menilai orde baru lebih baik ketimbang masa reformasi. Hanya 22,8 persen yang menilai masa reformasi lebih baik.
Entah mana yang benar, apakah hasil survei yang melibatkan 1.200 orang atau hasil Pemilu 2004 dan 2009 yang melibatkan 220 jutaan rakyat di bilik suara. Tak ada yang salah memang jika keluarga Soeharto ikut bertarung lagi dalam Pemilu 2014. Karena setiap masyarakat memiliki hak untuk dipilih dan dipilih. Tapi, tak ada salahnya juga untuk membaca dua pesan masyarakat dari dua pemilu sebelumnya. Semoga saja, pesan dari rakyat selanjutnya dapat dibaca dengan baik dan tidak disesatkan beberapa pihak yang mungkin saja memanfaatkan keluarga Soeharto demi keuntungan sesaat.
Langganan:
Postingan (Atom)