Setiap orang terlahir di dunia ini sudah memiliki nama pemberian orangtuanya. Karenanya dia tidak bisa memilih namanya sendiri. Sebagai rasa terima kasih kepada orangtua, kita pun menerima pemberian nama itu.
Saya pun sama seperti orang kebanyakan yang diberi nama orangtua. Saya diberi nama Syukri Rahmatullah. Sejak kecil kini, seringkali nama ini salah ditulis orang lain. Ada yang menulisnya Supri, ada yang menulis Sukri. Yang lucu, pernah ada orang yang memanggil saya Sukur. Entah dari mana dia dapat, padahal dia memiliki akun BB saya yang tertera jelas nama ID saya; Syukri (okezone.com).
Ada idiom yang menyebut ‘apalah arti sebuah nama’. Sebelum menikah, saya termasuk memegang idiom itu. Sehingga, beberapa kali saya mengganti nama panggilan saya sejak masa di Pesantren ataupun saat kuliah.
Dari orangtua saya juga mendapat nama kecil. Nama kecilnya adalah Oki. Saat di Pesantren kebanyakan orang memanggil saya Syukri. Entah mungkin saat itu, nama kecil itu tidak terasa keren, saya pun menggantinya beberapa kali. Pernah saya mencoret-coret di kertas untuk mencari nama yang keren. Entah apa saja namanya, saat ini saya sudah lupa.
Hingga terakhir di awal tahun 1990-an sedeng tren nama di belakangnya huruf “Y”. Misal asli namanya Aji biar keren diganti jadi Ajay. Ada teman namanya Dody diganti jadi Uday. Tak terkecuali dengan Oki, karena orang terkadang terpeleset memanggil dari Oki menjadi Uki, akhirnya oleh teman-teman diplesetkan menjadi Ukay.
Ini pun terjadi plintiran tulisan lagi. Terkadang teman menulis nama Ukay menjadi Uky. Dan tiga huruf inilah yang kemudian digunakan sebagai kode berita yang saya buat sejak masih di Harian Nonstop hingga kini.
Setelah menikah dan memiliki anak. Saya jadi mengerti pentingnya arti sebuah nama. Bagi saya bukan ‘apalah arti sebuah nama’ tapi ‘nama adalah sebuah doa orangtua’. Itulah yang saya berikan kepada putri pertama kami, Ananda Wardah Wahidah.
Yang saya rasakan sepertinya sama dengan yang dirasakan orangtua muda lainnya. Yang kebingungan mencari nama terbaik untuk anak mereka. Pernah, kakak saya sampai membeli beberapa buku di media hanya untuk mencari sebuah nama. Ada dua motivasi di sini, pertama agar nama anaknya terdengar bagus alias tidak kampungan dan norak. Dan juga mencari makna kata dari nama tersebut, yang merupakan doa dan harapan orangtua terhadap sang anak.
Saat kehamilan istri saya yang kedua. Kami pernah berdiskusi mencari nama terbaik untuk sang calon anak. Sempat terlontar dari mulut untuk memasukkan nama belakang saya “Rahmatullah” di belakangnya. Entah kenapa, sang kakak tiba-tiba kesal dan merajuk. “Kakak gak mau dede dinamain itu”. Saat ditanya dia hanya diam dan menangis. Ternyata si kakak cemburu, kutipan nama ayahnya diletakkan di nama calon adik.
Saya paham. Mungkin dalam posisinya, saya juga akan melakukan hal serupa. Apalagi selama enam tahun belakangan ini rasa kasih sayang kami selalu tercurah kepadanya. Akhirnya pelan-pelan saya jelaskan makna nama yang saya berikan kepadanya.
“Ananda Wardah Wahidah”. Padanan nama tiga kata ini baru marak di tahun 2000-an. Biasanya, nama hanya terdiri dari dua suku kata saja. Bahkan, banyak orang bersuku Jawa hanya diberikan satu suku kata. Seperti teman saya dari Sindo yang hanya diberi nama Suwarno. Saat ingin berangkat haji, saya baru paham kenapa diberi tiga suku kata.
Salah satu alasannya yang masuk akal adalah. Pemerintah Arab Saudi melarang paspor yang hanya bernama satu atau dua suku kata. Minimal harus tiga suku kata. Saya dan Suwarno wajib menambah satu dan dua suku kata, agar kami bisa berangkat liputan haji.
Ananda Wardah Wahidah secara harfiah berarti “anakku bunga mawar pertamaku”. Nama Ananda Wahidah dibuat oleh saya, diselipkan kata Wardah merupakan masukan almarhum ayah saya. Yang esensi dari nama ini adalah kata ‘Wahidah’. Tadinya saya ingin memasukkan kata ‘wahid’, tapi karena perempuan maka ditambah menjadi wahidah.
Kata itu saya ambil karena kekaguman terhadap sosok KH Abdurahman Wahid alias Gus Dur. Memang saya tidak dekat dengan beliau, tapi dalam beberapa kali liputan saya memiliki jarak yang dekat dan melihat langsung ekpresi, mimik yang tidak pernah dibuat/direkayasa dalam sebuah sikap. Yang lebih menggetarkan hati saya adalah pembelaannya terhadap sikap minoritas.
Saya sebenarnya pernah menjadi korban pernyataan Gus Dur. Dalam sebuah jumpa pers di PBNU, Gus Dur membela sejumlah Gereja yang ditutup paksa FPI di kawasan Jawa Barat. Saya pun memuat berita tersebut dengan semangat yang sama, membela kaum minoritas. Ternyata FPI tidak terima dan mengadukan Gus Dur ke Mabes Polri. Celakanya, yang dijadikan salah satu barang bukti adalah berita yang saya buat di Harian Nonstop. Alhasil, saya pun diperiksa sebagai saksi selama berjam-jam di Mabes Polri. Meski akhirnya, kasus tersebut tidak pernah berlanjut ke pengadilan.
Doa di nama itu adalah semoga Ananda Wardah Wahidah di masa akan datang menjadi pemimpin yang keras dan tegas seperti Gus Dur dan juga membela minoritas. Saat dijelaskan namanya diambil dari nama Presiden keempat RI, dia pun berganti senang. Dia dapat menangkap yang saya maksud. “Nanda pengin ayah bangga dengan Nanda”.
Saya pun sebenarnya pernah mencari tahu kenapa saya dinamakan Syukri Rahmatullah. Apa maksud dan doa orangtua saya di balik nama itu. Saat pesantren saya baru tahu arti harfiahnya, Syukri Rahmatullah “mensyukuri rahmat Allah SWT”. Mungkin orangtua ingin agar saya menjadi orang yang selalu bersyukur kepada Allah SWT, apapun kondisinya. Karena dalam beberapa cerita orangtua, saat saya dilahirkan kondisi ekonomi keluarga kami memang kurang. Beberapa tahun masa kecil saya, pernah dihabiskan di pinggir kereta. Dulu orangtua pernah mengontrak di dekat Gedung Hijau, sekadang warnanya hitam.
Jika naik kereta dari Tanah Abang menuju Palmerah akan terlihat di sisi kanan, ada sebuah gedung hitam seperti gosong di antara rumah-rumah pinggir rel. Itulah dulu tempat main kami. Mungkin orangtua berharap agar saya menjadi orang yang prihatin dan bersyukur dengan kondisi yang ada.
Penamaan nama Syukri Rahmatullah juga diambil dari nama seorang ulama yang dikagumi Ayah saya. Mungkin beliau berharap keilmuan saya juga seluas ulama tersebut. Tapi, hingga kini belum jelas siapa ulama yang dimaksud.
Saya mencoba mencerna dengan melakukan napak tilas, mencari nama-nama yang berpengaruh di era tahun 70-an. Terdapat dua nama, yaitu Syukri Ghazali dan Syukri Zarkasyi.
Syukri Ghazali adalah seorang ulama kelahiran Salatiga 6 Desember 1906. Dia diangkat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1981-1984, pas setahun setelah saya dilahirkan. Tak banyak cerita soal Syukri Ghazali yang saya dapat, karena beliau hanya memimpin MUI dua tahun dan digantikan Hasan Basri.
KH Abdullah Syukri Zaskasyi adalah putra dari Imam Zarkasyi, salah satu dari trimurti pendiri Pondok Pesantren Gontor. Beliau lahir 19 September 1942. Selepas wafatrnya KH Imam Zaskasyi, kini KH Syukri Zarkasyi lah yang mengasuh Gontor.
Uniknya dalam sebuah cerita, Gus Dur pernah ‘mengerjai’ Syukri Zarkasyi sewaktu masih belajar di Kairo. Waktu itu, Gus Dur dengan KH Mustofa Bisri menyajikan kopi kepada putra pengasuh Ponpes Gontor ini di kos-kosan mereka berdua. Kemudian, karena kopinya luber, akhirnya Gus Dur meminta Mustofa Bisri untuk mengambil lap. Ternyata lap yang diambil adalah sebuah celana dalam baru. Gus Dur pun beralasan, karena masih baru maka kain itu belum sah dianggap celana dalam, sambil melirik Gus Mus. Karena sudah disajukan, Syukri Zarkasyi akhirnya meminumnya dengan perasaan yang campur aduk.
Entah mana tokoh yang dimaksud almarhum ayah untuk menamakan Syukri Rahmatullah. Yang pasti, saya cukup bangga karena doanya yang sangat besar terhadap anaknya ini. Semoga Allah menerimamu di sisiNYA, Ustaz H Mansyur Rosyidi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar