Kamis, 21 Juni 2007

Golput, Cermin untuk Calon Gubernur

Kamis, 21/06/2007 17:03 WIB
Catatan Redaksi
Golput, Cermin untuk Calon Gubernur
Cetak E-mail
Syukri Rahmatullah - Okezone

ukay.jpgSIANG tadi, dua buah burung merpati dilepas, bunga mawarpun dibagikan. Sebagai simbol Pilkada Jakarta damai agar tidak terjadi bentrokan sesama pendukung calon, karena hanya ada dua pasangan calon.

Selain itu, terbatasnya pilihan bagi rakyat dalam Pilkada Jakarta sebenarnya memiliki bahaya lainnya, yaitu membesarnya angka Golput atau rakyat yang tidak menggunakan hak pilihnya. Kenapa? karena pilihan yang terbatas.

Ada beberapa hal yang menyebabkan pilihan menjadi terbatas, pertama memang salah satu calon terkuat menghendakinya, sehingga semua kekuatan parpol yang punya hak untuk mengajukan calon dikumpulkan menjadi satu kekuatan untuk mendukung calon tersebut.

Kedua, karena undang-undang tidak mengizinkan calon independen untuk maju sebagai kepala daerah, sangat jauh berbeda dengan di Aceh. Banyak pihak menilai hal ini diskriminasi yang diberlakukan pemerintah SBY-JK, sehingga diperjuangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar calon independen dibolehkan di provinsi lainnya tidak hanya di Aceh.

Keterbatasan pilihan tentu saja menjadi faktor penting dalam Pilkada DKI Jakarta, karena jika calon yang ada tidak dinilai masyarakat tepat untuk dipilih, tentu saja akan berujung kepada pilihan tidak memilih atau Golput.

Akibat minimnya pilihan rakyat pada Pilkada Jakarta, Golput secara otomatis juga menjadi “calon”. Tanpa tim sukses, iklan di televisi ataupun famplet, spanduk di pinggir jalan, Golput akan punya tempat sendiri di hati sebagian rakyat Jakarta.

Tentu saja, Golput tidak patut dijadikan musuh berlebihan. Seperti yang dilakukan Garda Bangsa DKI Jakarta dengan membuat Satgas Anti Golput, ataupun kampanye-kampanye berlebihan dengan mengimbau ataupun melarang rakyat agar tidak melakukan Golput.

Bahkan pernah pada pemilu 2004, sempat muncul wacana ancaman pidana bagi yang memilih golput atau tidak memilih.

Sebenarnya Golput bukanlah lawan politik calon, sehingga harus diberangus ataupun dilarang. Jika disadari dengan baik, Golput adalah cermin bagi para pasangan calon. Cermin untuk melihat kembali dirinya dengan baik, bahwa ternyata ada yang melihat dirinya belum dinilai sebagai pilihan yang tepat untuk memimpin Jakarta.

Cermin ini tentu saja akan menjadi bahan koreksi bagi calon untuk memperbaiki segala sesuatu dari dirinya yang belum dinilai tepat untuk dipilih. Misalnya dinilai kurang jujur, atau pernah melakukan penyalahgunaan wewenang dan banyak lagi.

Seperti kata pepatah, “buruk muka cermin yang dibelah”. Jadi sekali lagi, jangan Golput yang dilarang tapi memang harus ada koreksi diri, sekali lagi koreksi diri dari sang calon.

Pada akhirnya, Golput merupakan pilihan yang tidak bisa dipaksakan tetapi memang pilihan hati nurani, sama dengan pilihan untuk memilih salah satu pasangan calon. (*)

Tidak ada komentar: