Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menyebut kesejahteraan sebagai pemicu seringnya terjadi bentrokan hingga saling tembak antara anggota TNI-Polri di lapangan, seperti yang terakhir terjadi di Ternate. Dalam kejadian ini 2 polisi tewas dan beberapa anggota TNI-Polri luka-luka.
Tidak dijelaskan, apakah kesejahteraan yang dimaksud adalah gaji prajurit yang masih dianggap belum cukup atau “kesejahteraan” lain.
Penulis sendiri mencatat melihat ada beberapa masalah “Kesejahtaraan” yang diduga sebagai pemicu bentrokan TNI-Polri yang sering terjadi paskareformasi ini.
Pertama, semenjak Polisi berpisah dari dwifungsi ABRI, polisi kerap kali menjadi “anak emas”. Bayangkan saja, berapa banyak bantuan internasional dari Amerika, Australia dan negara-negara lain terhadap polisi, khususnya dalam program terorisme, dalam bentuk Detasemen 88.
Konon, tekhnologi yang dimiliki Detasemen 88 lebih canggih, ketimbang alusista yang dimiliki TNI, karena disuplai dari negara-negara maju. Bahkan banyak yang menyebut, pasukan detasemen 88 merupakan pasukan elit Polisi.
Sementara TNI dilarang membeli dan memakai senjata dari Amerika, karena dinilai melanggar HAM dalam kasus Tim-tim dan yang terakhir penembakan di Alas Tlogo.
Kedua, masalah otoritas TNI-Polri. tiga angkatan TNI memiliki satu Panglima yang berada langsung di bawah Presiden. Sedangkan Polisi yang hanya satu angkatan saja memiliki Kapolri yang langsung berada di bawah Presiden.
Makanya kemudian timbul RUU Kamnas yang bertujuan memasukkan Polisi di bawah salah satu departemen. Tapi, sampai saat ini Polri masih ngotot untuk berada langsung di bawah Presiden, dengan alasan khawatir kembali ke masa Orde Baru.
Kalau dulu, jika ada sanak famili ditangkap polisi, tinggal bawa keluarga yang menjadi anggota TNI, khususnya marinir atau PM ke kantor polisi, maka urusan jadi beres. Tapi, polisi sekarang tidak akan membiarkan hal itu, terjadi, karena polisi sudah merasa sejajar bahkan lebih tinggi dari TNI.
Ketiga, meskipun tidak diakui tapi nyata, yaitu pemasukan sampingan. Bisnis sampingan menjadi backing diskotik, hotel, panti pijat, perjudian hingga peredaran miras, dulu pasti masuk ke kantong Danramil, Danrem, dan Kodam.
Tapi sekarang, sekalipun sudah uang sudah masuk, tapi polisi tetap melakukan razia, jika tidak ada setoran ke Kapolsek atau Kapolres mereka. Sehingga bos-bos hiburan malam, judi, hotel dan sebagainya lebih memilih “memasok” uang ke Kapolsek, Kapolres dan Kapolda agar usahanya aman, ketimbang ke pimpinan TNI setempat.
Ketiga masalah setidaknya menjadi bara yang terus-menerus membakar api kecemburuan TNI terhadap Polri, sehingga sekali saja “senggolan”, maka saling tembak pasti akan terjadi.
Tentu saja, ketiga masalah ini tidak bisa dibenarkan sebagai alasan sehingga TNI dibolehkan menyerang Polri. Dari kejadian ini, TNI-Polri masih dinilai belum menjadi aparat yang professional, menggunakan kewenangannya bukan untuk kepentingan bangsa dan negara, juga menegakkan hukum.
Tapi, menggunakan kewenangannya, khususnya dalam menggunakan senjata untuk kepentingan korps ataupun menggunakan korps untuk kepentingan pribadi, sangat naif!
Sedangkan, jika masalahnya kesejahteraan yang dimaksud adalah gaji prajurit yang masih minim. Dalam catatan anggota Komisi I Gus Choi, sebelum reformasi TNI mendapatkan Rp5 triliun, setelah reformasi meningkat menjadi Rp9 triliun, terus naik menjadi Rp12 triliun.
Pada tahun 2007 ini anggaran TNI Rp32 triliun, tahun 2008 mendatang anggaran menjadi Rp33 triliun.
Melihat kenaikan anggaran ini, sepertinya tidak masuk akal permasalahan kesejahteraan prajurit masih menjadi masalah saja. Jangan-jangan, anggaran untuk TNI tidak dialokasikan untuk kesejahteraan prajurit, tapi untuk kesejahteraan para Jenderal?.
Kronologis
Berdasarkan kronologis versi Polisi,disebutkan kejadian ini diawali Sabtu malam 22 September, terjadi perselisihan Briptu SDM dengan anggota TNI Prada SN yang saat itu bersama warga LT, kejadian ini berujung pengeroyokan terhadap Briptu SDM. Briptu SN akhirnya diserahkan ke Propam, sedangkan LT diserahkan ke Polsek setempat.
Beberapa jam kemudian, pukul 01.30 WIT sejumlah oknum TNI melakukan sweeping dan mendapati Bripda RW yang sedang piket di rumah Wakapolres Ternate diserang oleh pengendara motor, kemudian ditikam hingga tewas.
Pukul 04.30 WIT, sweeping balasan dilakukan oknum polisi di Pelabuhan Bastiong, dalam kejadian ini dua anggota TNI luka dianiaya.
Mendengar temannya dianiaya, sweeping balasan dilakukan Senin pagi pukul 07.30 WIT di dan mengakibatkan 5 anggota polisi luka tembak.
Selanjutnya, pukul 22.15 WIT, seorang anggota Polri bernama Bripda SN dianaya di daerah Bacan.
Hingga Selasa dini hari, aksi sweeping terus berlangsung dan peristiwa terakhir terjadi pukul 01.30 WIT. Anggota Polri Briptu Muchdi dianiaya saat pulang sahur oleh orang tak dikenal hingga meninggal dunia.
Usai buka puasa
Kebon Sirih, Selasa 25 September
Tidak dijelaskan, apakah kesejahteraan yang dimaksud adalah gaji prajurit yang masih dianggap belum cukup atau “kesejahteraan” lain.
Penulis sendiri mencatat melihat ada beberapa masalah “Kesejahtaraan” yang diduga sebagai pemicu bentrokan TNI-Polri yang sering terjadi paskareformasi ini.
Pertama, semenjak Polisi berpisah dari dwifungsi ABRI, polisi kerap kali menjadi “anak emas”. Bayangkan saja, berapa banyak bantuan internasional dari Amerika, Australia dan negara-negara lain terhadap polisi, khususnya dalam program terorisme, dalam bentuk Detasemen 88.
Konon, tekhnologi yang dimiliki Detasemen 88 lebih canggih, ketimbang alusista yang dimiliki TNI, karena disuplai dari negara-negara maju. Bahkan banyak yang menyebut, pasukan detasemen 88 merupakan pasukan elit Polisi.
Sementara TNI dilarang membeli dan memakai senjata dari Amerika, karena dinilai melanggar HAM dalam kasus Tim-tim dan yang terakhir penembakan di Alas Tlogo.
Kedua, masalah otoritas TNI-Polri. tiga angkatan TNI memiliki satu Panglima yang berada langsung di bawah Presiden. Sedangkan Polisi yang hanya satu angkatan saja memiliki Kapolri yang langsung berada di bawah Presiden.
Makanya kemudian timbul RUU Kamnas yang bertujuan memasukkan Polisi di bawah salah satu departemen. Tapi, sampai saat ini Polri masih ngotot untuk berada langsung di bawah Presiden, dengan alasan khawatir kembali ke masa Orde Baru.
Kalau dulu, jika ada sanak famili ditangkap polisi, tinggal bawa keluarga yang menjadi anggota TNI, khususnya marinir atau PM ke kantor polisi, maka urusan jadi beres. Tapi, polisi sekarang tidak akan membiarkan hal itu, terjadi, karena polisi sudah merasa sejajar bahkan lebih tinggi dari TNI.
Ketiga, meskipun tidak diakui tapi nyata, yaitu pemasukan sampingan. Bisnis sampingan menjadi backing diskotik, hotel, panti pijat, perjudian hingga peredaran miras, dulu pasti masuk ke kantong Danramil, Danrem, dan Kodam.
Tapi sekarang, sekalipun sudah uang sudah masuk, tapi polisi tetap melakukan razia, jika tidak ada setoran ke Kapolsek atau Kapolres mereka. Sehingga bos-bos hiburan malam, judi, hotel dan sebagainya lebih memilih “memasok” uang ke Kapolsek, Kapolres dan Kapolda agar usahanya aman, ketimbang ke pimpinan TNI setempat.
Ketiga masalah setidaknya menjadi bara yang terus-menerus membakar api kecemburuan TNI terhadap Polri, sehingga sekali saja “senggolan”, maka saling tembak pasti akan terjadi.
Tentu saja, ketiga masalah ini tidak bisa dibenarkan sebagai alasan sehingga TNI dibolehkan menyerang Polri. Dari kejadian ini, TNI-Polri masih dinilai belum menjadi aparat yang professional, menggunakan kewenangannya bukan untuk kepentingan bangsa dan negara, juga menegakkan hukum.
Tapi, menggunakan kewenangannya, khususnya dalam menggunakan senjata untuk kepentingan korps ataupun menggunakan korps untuk kepentingan pribadi, sangat naif!
Sedangkan, jika masalahnya kesejahteraan yang dimaksud adalah gaji prajurit yang masih minim. Dalam catatan anggota Komisi I Gus Choi, sebelum reformasi TNI mendapatkan Rp5 triliun, setelah reformasi meningkat menjadi Rp9 triliun, terus naik menjadi Rp12 triliun.
Pada tahun 2007 ini anggaran TNI Rp32 triliun, tahun 2008 mendatang anggaran menjadi Rp33 triliun.
Melihat kenaikan anggaran ini, sepertinya tidak masuk akal permasalahan kesejahteraan prajurit masih menjadi masalah saja. Jangan-jangan, anggaran untuk TNI tidak dialokasikan untuk kesejahteraan prajurit, tapi untuk kesejahteraan para Jenderal?.
Kronologis
Berdasarkan kronologis versi Polisi,disebutkan kejadian ini diawali Sabtu malam 22 September, terjadi perselisihan Briptu SDM dengan anggota TNI Prada SN yang saat itu bersama warga LT, kejadian ini berujung pengeroyokan terhadap Briptu SDM. Briptu SN akhirnya diserahkan ke Propam, sedangkan LT diserahkan ke Polsek setempat.
Beberapa jam kemudian, pukul 01.30 WIT sejumlah oknum TNI melakukan sweeping dan mendapati Bripda RW yang sedang piket di rumah Wakapolres Ternate diserang oleh pengendara motor, kemudian ditikam hingga tewas.
Pukul 04.30 WIT, sweeping balasan dilakukan oknum polisi di Pelabuhan Bastiong, dalam kejadian ini dua anggota TNI luka dianiaya.
Mendengar temannya dianiaya, sweeping balasan dilakukan Senin pagi pukul 07.30 WIT di dan mengakibatkan 5 anggota polisi luka tembak.
Selanjutnya, pukul 22.15 WIT, seorang anggota Polri bernama Bripda SN dianaya di daerah Bacan.
Hingga Selasa dini hari, aksi sweeping terus berlangsung dan peristiwa terakhir terjadi pukul 01.30 WIT. Anggota Polri Briptu Muchdi dianiaya saat pulang sahur oleh orang tak dikenal hingga meninggal dunia.
Usai buka puasa
Kebon Sirih, Selasa 25 September
Tidak ada komentar:
Posting Komentar