Minggu, 28 September 2008
Sabtu, 13 September 2008
Redpel: Tempat Ujian Baru.
WAKTU ITU aku tidak bisa tidur selama dua malam. Bagaimana tidak, media okezone yang relatif baru sudah “diguncang” media baru yang diback up modal yang cukup lumayan.
Tak tanggung-tanggung Redpel okezone saat itu hengkang terlebih dahulu dengan kemudian mengajak rekan-rekan lainnya.
Saat itu, di dalam diriku terjadi pergulatan pikiran dan hasrat. Bagaimana tidak, aku juga ikut ditawarkan untuk ikut bergabung di sana dengan tawaran yang cukup menggiurkan.
Ada beberapa teman yang menggambarkan situasi okezone sudah seperti kiamat. Padahal pembaca okezone setiap harinya terus menanjak tinggi. Bahkan sudah mencapai 2 juta perharinya.
Pikiran pun terus menerawang antara hasrat dan pemikiran. Apakah aku pindah atau aku menetap. Aku pun tak lepas konsultasi dengan teman hidupku, istriku dan kedua orangtua. Setelah bicara dan komunikasi akupun memutuskan untuk menetap dan tidak pindah.
Ada beberapa hal yang tidak etis aku ceritakan di sini sehingga aku memutuskan untuk menetap. Padahal jika aku pindah, gajiku sudah terbayang 2 kali lipat yang mungkin belum tentu aku dapatkan di okezone dalam kurun 1 atau 2 tahun ke depan. Tapi pilihanku sudah bulat, aku menetap.
Saat terjadi pembobolan, okezone pun mulai berbenah diri. Terjadi penyempurnaan struktur organisasi. Pemred diganti dan jumlah Redpel ditambah untuk memudahkan pembagian tugas. Namun, hal yang tak kuduga-duga terjadi.
Pemred baru, Mas Budi memanggil beberapa teman yang turut mendirikan okezone ke ruangannya satu persatu. Entah apa yang dibicarakan, hanya Mas Budi dan orang yang diajak bicaralah yang tahu.
Aku pun ikut dipanggil saat itu. Dia meminta aku untuk membantunya. Aku pun langsung menyanggupi, karena aku pun sudah punya keputusan dari awal untuk menetap. Namun yang tidak disangka, aku diminta membantunya sebagai Redaktur Pelaksana. Aku pun langsung menolaknya.
Pasalnya, umurku masih relatif muda 29 tahun. Kebanyakan Redpel di mana-mana pasti sudah berkepala tiga, minimal 35 tahun. “Aku sudah korupsi 6 tahun nih,” batinku. Aku meminta agar Mas Budi saat itu berpikir ulang mengenai penunjukan diriku. Namun, dia kukuh, akhirnya aku pun luluh.
Saat aku mau lulus dari Pondok Pesantren Daarul Rahman tahun 1998 lalu, aku teringat pesan kiai “Kamu harus siap dipimpin dan siap memimpin”. Kalimatnya sederhana namun ketika diselami maknanya sangat dalam. Mungkin ini maksud dari pesan Pak Kiai. Ini adalah salah satu ujianku, yaitu memimpin. Saat ini aku diuji, aku diuji…untuk memimpin.
Seingatku, Allah SWT tak henti-hentinya menguji mahluknya. Akupun belajar memahami makna ujian ini. Semoga aku bisa melalui ujian ini dengan baik, amien.
Jumat, 12 September 2008
"Berita Adalah Candu"
TAK TERASA cukup lama aku tak menyapa blogku sendiri. Padahal biasanya kalau aku sedang tidak sempat menulis untuk blog, aku copy paste tulisanku yang dimuat di catatan redaksi. Entah lah, baru Sabtu 13 September ini aku punya peluang untuk menulis lagi.
Kalau Karl Mark pernah bilang bahwa agama adalah candu, menurutku bagi seorang jurnalis “berita adalah candu”. Bagaimana tidak, setiap hari, jam, bahkan detik sekalipun perhatianku tak pernah lepas dari memantau berita.
Hal ini sangat aku alami setelah aku menjadi salah satu awak di redaksi okezone.com. Tidak seperti di media tempat aku bekerja sebelumnya, Harian Nonstop (rakyat merdeka grup), yang relatif bisa cuek, santai, dan kadang tak peduli dengan situasi, kali ini aku sungguh tidak bisa.
Coba lihat saja rutinitas hidupku: Sebagai seorang ayah beranak satu, tuhan menitipkan “jam weker” kepadaku bernama Ananda Wardah Wahidah (3). Dialah yang selalu membangunkanku di setiap pagi dengan rengekannya. Memaksaku bangun dan meminta bermain dan berkelakar dengannya. Padahal biasanya aku tidur cukup larut.
Setelah bermain, bercanda dengan anakku sekira satu jam, aku bergegas mandi untuk segera ke kantor. Tapi pagi itu, sembari bercanda aku selalu mencari informasi ada apa pagi ini?.
Aku pun mencari melalui televisi, Koran-koran, sehingga “kepalaku sudah terisi” ketika aku masuk kantor. Kegiatanku yang ini sering kali diprotes istriku, Siska Anorita (28). Dia kadang sudah cemberut jika aku sudah membaca, karena baginya ketika suaminya di rumah adalah sudah milik keluarganya bukan milik kantornya. Tapi aku tetap tidak bisa. Beruntung terkadang dia memahamiku.
Setibanya di kantor, seperti biasa, aku selalu memantau media lain. Apa yang menjadi headline koran-koran nasional dan di Jakarta. Terkadang aku suka tersenyum simpul, jika aku melihat ada berita yang kami garap kemarin, tiba-tiba ikut menjadi perhatian media lain pagi ini. Inilah yang namanya kepuasan batin.
Seorang jurnalis tidak punya jam kerja yang tepat, datang pukul 09.00 WIB pulang pukul 17.00 WIB. Menurut saya, kalau mau seperti itu jangan jadi jurnalis! Karena pasti akan mengalami kesulitan.
Makanya, setiap bekerja aku datang sekira pukul 09.00 WIB, namun setiap pulang aku tidak pernah tepat waktu. Secara de jure, seharusnya pukul 20.00 WIB sudah bisa pulang. Namun, faktanya aku pasti sampai rumah paling cepat pukul 22.30 WIB atau hingga pukul 23.50 WIB.
Begitu setiap hari, maka wajar anakku selalu meminta perhatian lebih. Karena pertemuanku dengannya hanya dalam hitungan jam. Beruntung aku punya tips mengenai hal ini, yaitu pertemuan yang berkualitas. Kuusahakan setiap pertemuanku dengannya, selalu sulit dia lupakan. Makanya, aku selalu saja membuatnya tertawa, tersenyum dengen lelucon, cerita yang aku buat-buat.
Dalam sepekan, aku hanya mendapat libur sehari. Namun, waktu itu tidak secara “penuh” aku bisa gunakan untuk keuarga. Seperti aku bilang tadi, “berita adalah candu”, sekalipun libur akupun tetap memperhatikan berita.
Namun, candu menurutku tidak selamanya buruk. Kadang kalau digunakan untuk kebaikan maka hasilnya baik, namun jika berlebihan bisa berakibat tidak baik. Kecanduan seorang jurnalis akan berita juga bukan hal yang buruk, malah positif. Karena dia bisa menjadi jurnalis yang mumpuni dengan penguasaan isu yang cukup memadai.
Kalau Karl Mark pernah bilang bahwa agama adalah candu, menurutku bagi seorang jurnalis “berita adalah candu”. Bagaimana tidak, setiap hari, jam, bahkan detik sekalipun perhatianku tak pernah lepas dari memantau berita.
Hal ini sangat aku alami setelah aku menjadi salah satu awak di redaksi okezone.com. Tidak seperti di media tempat aku bekerja sebelumnya, Harian Nonstop (rakyat merdeka grup), yang relatif bisa cuek, santai, dan kadang tak peduli dengan situasi, kali ini aku sungguh tidak bisa.
Coba lihat saja rutinitas hidupku: Sebagai seorang ayah beranak satu, tuhan menitipkan “jam weker” kepadaku bernama Ananda Wardah Wahidah (3). Dialah yang selalu membangunkanku di setiap pagi dengan rengekannya. Memaksaku bangun dan meminta bermain dan berkelakar dengannya. Padahal biasanya aku tidur cukup larut.
Setelah bermain, bercanda dengan anakku sekira satu jam, aku bergegas mandi untuk segera ke kantor. Tapi pagi itu, sembari bercanda aku selalu mencari informasi ada apa pagi ini?.
Aku pun mencari melalui televisi, Koran-koran, sehingga “kepalaku sudah terisi” ketika aku masuk kantor. Kegiatanku yang ini sering kali diprotes istriku, Siska Anorita (28). Dia kadang sudah cemberut jika aku sudah membaca, karena baginya ketika suaminya di rumah adalah sudah milik keluarganya bukan milik kantornya. Tapi aku tetap tidak bisa. Beruntung terkadang dia memahamiku.
Setibanya di kantor, seperti biasa, aku selalu memantau media lain. Apa yang menjadi headline koran-koran nasional dan di Jakarta. Terkadang aku suka tersenyum simpul, jika aku melihat ada berita yang kami garap kemarin, tiba-tiba ikut menjadi perhatian media lain pagi ini. Inilah yang namanya kepuasan batin.
Seorang jurnalis tidak punya jam kerja yang tepat, datang pukul 09.00 WIB pulang pukul 17.00 WIB. Menurut saya, kalau mau seperti itu jangan jadi jurnalis! Karena pasti akan mengalami kesulitan.
Makanya, setiap bekerja aku datang sekira pukul 09.00 WIB, namun setiap pulang aku tidak pernah tepat waktu. Secara de jure, seharusnya pukul 20.00 WIB sudah bisa pulang. Namun, faktanya aku pasti sampai rumah paling cepat pukul 22.30 WIB atau hingga pukul 23.50 WIB.
Begitu setiap hari, maka wajar anakku selalu meminta perhatian lebih. Karena pertemuanku dengannya hanya dalam hitungan jam. Beruntung aku punya tips mengenai hal ini, yaitu pertemuan yang berkualitas. Kuusahakan setiap pertemuanku dengannya, selalu sulit dia lupakan. Makanya, aku selalu saja membuatnya tertawa, tersenyum dengen lelucon, cerita yang aku buat-buat.
Dalam sepekan, aku hanya mendapat libur sehari. Namun, waktu itu tidak secara “penuh” aku bisa gunakan untuk keuarga. Seperti aku bilang tadi, “berita adalah candu”, sekalipun libur akupun tetap memperhatikan berita.
Namun, candu menurutku tidak selamanya buruk. Kadang kalau digunakan untuk kebaikan maka hasilnya baik, namun jika berlebihan bisa berakibat tidak baik. Kecanduan seorang jurnalis akan berita juga bukan hal yang buruk, malah positif. Karena dia bisa menjadi jurnalis yang mumpuni dengan penguasaan isu yang cukup memadai.
Langganan:
Postingan (Atom)