Sabtu, 13 September 2008

Redpel: Tempat Ujian Baru.


WAKTU ITU aku tidak bisa tidur selama dua malam. Bagaimana tidak, media okezone yang relatif baru sudah “diguncang” media baru yang diback up modal yang cukup lumayan.

Tak tanggung-tanggung Redpel okezone saat itu hengkang terlebih dahulu dengan kemudian mengajak rekan-rekan lainnya.

Saat itu, di dalam diriku terjadi pergulatan pikiran dan hasrat. Bagaimana tidak, aku juga ikut ditawarkan untuk ikut bergabung di sana dengan tawaran yang cukup menggiurkan.

Ada beberapa teman yang menggambarkan situasi okezone sudah seperti kiamat. Padahal pembaca okezone setiap harinya terus menanjak tinggi. Bahkan sudah mencapai 2 juta perharinya.

Pikiran pun terus menerawang antara hasrat dan pemikiran. Apakah aku pindah atau aku menetap. Aku pun tak lepas konsultasi dengan teman hidupku, istriku dan kedua orangtua. Setelah bicara dan komunikasi akupun memutuskan untuk menetap dan tidak pindah.

Ada beberapa hal yang tidak etis aku ceritakan di sini sehingga aku memutuskan untuk menetap. Padahal jika aku pindah, gajiku sudah terbayang 2 kali lipat yang mungkin belum tentu aku dapatkan di okezone dalam kurun 1 atau 2 tahun ke depan. Tapi pilihanku sudah bulat, aku menetap.

Saat terjadi pembobolan, okezone pun mulai berbenah diri. Terjadi penyempurnaan struktur organisasi. Pemred diganti dan jumlah Redpel ditambah untuk memudahkan pembagian tugas. Namun, hal yang tak kuduga-duga terjadi.

Pemred baru, Mas Budi memanggil beberapa teman yang turut mendirikan okezone ke ruangannya satu persatu. Entah apa yang dibicarakan, hanya Mas Budi dan orang yang diajak bicaralah yang tahu.

Aku pun ikut dipanggil saat itu. Dia meminta aku untuk membantunya. Aku pun langsung menyanggupi, karena aku pun sudah punya keputusan dari awal untuk menetap. Namun yang tidak disangka, aku diminta membantunya sebagai Redaktur Pelaksana. Aku pun langsung menolaknya.

Pasalnya, umurku masih relatif muda 29 tahun. Kebanyakan Redpel di mana-mana pasti sudah berkepala tiga, minimal 35 tahun. “Aku sudah korupsi 6 tahun nih,” batinku. Aku meminta agar Mas Budi saat itu berpikir ulang mengenai penunjukan diriku. Namun, dia kukuh, akhirnya aku pun luluh.

Saat aku mau lulus dari Pondok Pesantren Daarul Rahman tahun 1998 lalu, aku teringat pesan kiai “Kamu harus siap dipimpin dan siap memimpin”. Kalimatnya sederhana namun ketika diselami maknanya sangat dalam. Mungkin ini maksud dari pesan Pak Kiai. Ini adalah salah satu ujianku, yaitu memimpin. Saat ini aku diuji, aku diuji…untuk memimpin.

Seingatku, Allah SWT tak henti-hentinya menguji mahluknya. Akupun belajar memahami makna ujian ini. Semoga aku bisa melalui ujian ini dengan baik, amien.

Tidak ada komentar: