um'at, 25/05/2007 18:40 WIB | ||
Catatan Redaksi Tendangan Bebas Rokhmin Dahuri |
Syukri Rahmatullah - Okezone | |
Awalnya persidangan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri tidak terlalu menyita perhatian masyarakat. Sidang itu hanya diduga persidangan biasa, layaknya seorang mantan pejabat korup duduk di kursi terdakwa. Tidak ada yang aneh. Biasa saja! Tapi, perlahan-lahan, persidangan tersebut semakin terasa hangat dan semakin panas di setiap kali di gelar oleh Pengadilan Tipikor. Karena di dalam persidangan disebut selain sang menteri, ternyata banyak pejabat yang juga ikut "mencicipi" dana nelayan yang dikumpulkan secara ilegal ini. Tidak tanggung-tanggung, dari anggota DPR partai berlabel Islam, mantan pimpinan majelis tertinggi (MPR) hingga orang-orang di sekeliling pejabat puncak, yaitu Presiden juga disebut-sebut ikut "mencicipi". Mungkin hampir semua kelompok ada ‘wakilnya' yang ikut menikmati dana nonbudjeter DKP dengan nilai yang bervariasi. Merasa namanya disebut, sebagai mantan pejabat atau masih menjadi pejabat tentu saja langsung bersikap karena dikejar-kejar wartawan setiap hari. Ada dua sikap pejabat atau mantan pejabat dan tokoh ormas dalam menyikapi fakta ini. Sikap pertama, jelas membantah dan mengaku tidak tahu. Ini biasanya dilakukan dengan cara tidak mengenal sang menteri atau cuci tangan bahwa yang menerima bukanlah dari kelompoknya, tetapi orang lain yang mengatasnamakan kelompoknya. Anehnya, kenapa orang yang mengatasnamakan ini tidak segera diadukan ke pihak berwajib, karena telah melakukan penipuan dengan mencemarkan organisasi atau nama baik sang pejabat. Tapi dalam sikap pertama ini, ada juga yang mengancam Rokhmin dengan gugatan atau pengaduan dan lainnya seperti yang dilakukan mantan Presiden Gus Dur atau organisasi yang mengaku tim sukses SBY-JK, Blora Center. Sikap Kedua, si elit mengakui tapi tidak mengetahui, hal ini dilakukan mantan Ketua MPR Amien Rais dan Ketua PBNU Hasyim Muzadi. Keduanya mengakui telah menerima uang dari Rokhmin tapi mengaku tidak mengetahui kalau dana tersebut adalah dana ilegal dari nonbudjeter DKP. Yang lebih mengejutkan, Presiden SBY juga menyikapi secara langsung tanpa bisa menyembunyikan amarahnya kepada mantan Ketua MPR Amien Rais yang dituding sebagai orang yang menyeret dirinya. Akhirnya masalah korupsi secara tidak langsung menjadi masalah politik atau bahkan menjadi masalah pribadi antara Presiden SBY dengan mantan Ketua MPR Amien Rais. Tapi, bagi penulis lebih menarik untuk melihat kemana "tendangan bebas" Rokhimn Dahuri akan menuju?. Sekedar analisa, penulis melihat ada beberapa "gawang" yang akan dituju dari dana nonbudjeter ini. Dari sisi Rokhmin, diduga dibongkarnya keterlibatan nama-nama elit berpengaruh ini sebagai upaya agar kesalahannya dalam mengumpulkan dana nonbudjeter segera "diputihkan" dari pengadilan Timtas Tipikor, sehingga ia tidak dijerat dengan kasus korupsi yang menjerat dirinya saat ini. Akan tetapi, akhirnya "bola" yang dimulai dari ruang pengadilan ini telah berubah menjadi "bola" politik yang bisa ditendang siapa saja menjelang pemilu 2009 yang akan terjadi dalam waktu 2 tahun lagi. Saat ini "bola" tersebut terlihat sedang dikuasai Rokhmin dan Amien Rais, karena terkesan sebagai "pendongkrak" kebobrokan perilaku elit politik di bangsa ini. Sementara Presiden SBY menjadi terpojok atau sengaja dipojokkan, sedangkan KPK dan Timtas Tipikor menjadi pihak yang kebingungan karena terlalu banyak yang terlibat dan kalau semuanya "dimeja hijaukan" maka tentu akan menjadi "serangan balik" yang berbahaya dan sangat dahsyat. Dari fakta-fakta keruwetan ini dan budaya kompromi elit politik di Indonesia, penulis sendiri melihat "tendangan bebas" Rokhmin akan berujung pada dua "gawang". Pertama, Rokhmin akan mengalami "tendangan bunuh diri", karena sudah terlanjur berada di pengadilan Tipikor, jika "diputihkan" atau dibebaskan tentu ini akan menjatuhkan dua lembaga korupsi yang saat ini dikenal ampuh sebagai pemberantas korupsi, karena kasus dana nonbudjeter ini mendapatkan perhatian rakyat luas. Maka, solusinya Rokhmin akan tetap dipenjara, akan tetapi elit-elit yang menerima dana DKP akan dikategorikan tidak tahu kalau dana yang diterima sebagai dana ilegal atau korupsi, mungkin akan diembel-embeli pengumpulan uang yang sudah diterima untuk dikembalikan kepada negara. Kedua, "bola" ini akan menyelamatkan Rokhmin dengan modifikasi alasan-alasan hukum yang bertujuan menyelamatkan semua muka elit-elit terkemuka di bangsa ini, sehingga masih terbuka sangat luas kemungkinan elit-elit penerima untuk mencalonkan kembali sebagai Capres atau Cawapres di tahun 2009 mendatang. Yang pasti, jika kasus ini hanya menyentuh Rokhmin saja dan tidak menyentuh elit-elit penerimanya. Maka rakyat Indonesia akan belajar untuk memilih dengan baik, siapa yang akan dipilih untuk memimpin negeri ini?. Kemungkinan besar jika ada tokoh baru yang belum "tercoreng" mukanya dengan kasus-kasus yang ada, pada pemilu presiden 2009 kemungkinan besar dia akan terpilih. Hal ini dilakukan rakyat, karena hukum tidak bisa memberikan hukuman kepada elit, maka rakyatlah yang menghukum lewat pemilu.(*) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar