Rabu, 13 Juni 2007

Tersangka Baru Munir, Pemuas Dahaga Keadilan?

Rabu, 11/04/2007 11:48 WIB
Catatan Redaksi
Tersangka Baru Munir, Pemuas Dahaga Keadilan?
Cetak E-mail
Syukri Rahmatullah - Okezone

syukri_rahmatullah.jpgHampir dua tahun setelah Tim Pencari Fakta kasus Munir berakhir Juni 2005 lalu, tiba-tiba Kapolri Jenderal Polisi Sutanto mengungkapkan, dua tersangka baru kasus pembunuhan aktivis HAM Munir yaitu IS dan R, keduanya adalah mantan Dirut Garuda Indra Setiawan dan Vice Presiden Corporate Security Ramelga Anwar menjadi tersangka karena melakukan pemalsuan surat tugas Pollycarpus Budihari Priyanto saat bersama Munir di Pesawat Garuda sebelum meninggal dunia.

Kemudian, apakah dua tersangka baru ini menjadi pelepas dahaga keadilan setelah hampir tiga tahun berjuang mencari keadilan mengungkap pelaku pembunuhan Munir.

Istri Munir, Suciwati mengaku kecewa dan tidak puas. Pasalnya, Suci menganggap IS dan R bukanlah pelaku pembunuhan yang sebenarnya atau hanya menjadi peran pembantu saja. Untuk menjadikan peran pembantu menjadi tersangka saja membutuhkan waktu hampir tiga tahun, lalu butuh berapa tahun untuk menyentuh lingkaran ‘otak pelaku’ pembunuhan Munir.

Perjuangan pelaku kasus Munir sempat menggembirakan ketika Presiden SBY mendukung pembentukan tima pencari fakta (TPF) pada Desember 2004 lalu. Akan tetapi, menjadi sia-sia ketika rekomendasi-rekomendasi TPF Munir di akhir tugas TPF 23 Juni 2005 lalu sama sekali tidak ada tindaklanjutnya.

Angin segar yang sama juga sempat dirasakan ketika Pollycarpus ditangkap, ditahan di Mabes Polri dan diadili di PN Jakarta Pusat, bahkan sempat persidangannya berhasil menghadirkan mantan Direksi BIN Muchdi PR yang tidak pernah mau dipanggil TPF yang dibentuk dengan Keputusan Presiden No 111 tahun 2004.

Dalam persidangan itu, Polly dituntut JPU seumur hidup, akan tetapi hanya dikabulkan 14 tahun penjara oleh hakim PN Jakarta Pusat. Hukuman terhadap Polly terus menurun ketika Kasasi Polly dikabulkan sehingga hanya dihukum 2 tahun karena memalsukan surat dan akhirnya bebas.

Perjalanan berliku perjuangan hukum kasus Munir tidak membuat Suciwati menjadi gerah dan lelah, bahkan Suci seringkali meninggalkan kedua anaknya Alif (5) dan Diva (2) menghadiri pertemuan internasional untuk mengkampanyekan kasus almarhum suaminya, Munir.

Perjuangan suci di negeri asing akhirnya membuahkan hasil, sepulang dari KTT ASEAN XII Cebu, Filipina bulan Januari 2007 lalu. Presiden SBY langsung memanggil Menko Polhukam Widodo AS, Kapolri Sutanto, KaBIN Syamsir Siregar dan mengeluarkan perintah agar kasus Munir diselidiki kembali lebih serius.

Bahkan Kapolri Jenderal Polisi Sutanto kepada wartawan Istana langsung mengatakan bahwa Polri sudah memiliki novum baru dari kasus Munir dan saat ini sedang diselidiki di Amerika tanpa menyebut novum apa yang sudah dimiliki. “Tunggu nanti,�? kata Kapolri saat itu.

Dalam KTT Asean di Cebu Filipina sepertinya Presiden SBY disentil kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir. Sehingga merasa perlu untuk membuka kembali kasus Munir yang sejak TPF Munir selesai ‘dibekukan’ dengan sendirinya.

Lalu, apakah dua tersangka baru dalam kasus Munir ini adalah hasil novum (bukti baru) yang sudah selesai diselidiki di Amerika?, untuk membuktikan Polri serius mengungkap pembunuh Munir atau hanya sekadar menjadi pelipur lara di tengah ‘kebekuan’ kasus Munir setelah Pollycarpus dibebaskan Mahkamah Agung.

Akan tetapi, IS dan R jadi tersangka bukan sesuatu yang ditunggu-tunggu. Karena dalam beberapakali persidangan di PN Jakarta Pusat, bahkan di MA jelas telah terjadi pemalsuan surat tugas untuk Pollycarpus. Artinya ini bukan prestasi luar biasa yang dicetak korps baju coklat ini. Lalu dimanakan pelepas dahaga keadilan itu?.

Akhirnya dahaga keadilan yang dirasakan Suciwati, Alif dan Diva (anak Munir) akan terus berlanjut seperti hari-hari sebelumnya. Tidak juga dapat ‘minuman segar’ dari ‘cawan emas’ yang diharapkan dapat membuat segar dan menghilangkan dahaga yang dirasakan sejak meninggalnya Munir.

Mungkin dahaga Suci saat ini juga dirasakan oleh sebagian masyarakat lain yang merasa tidak mendapatkan keadilan di Indonesia, seperti korban lumpur Lapindo yang hingga kini tidak mendapatkan ganti rugi sementara rumah mereka sudah tenggelam dan keluarganya tinggal di penampungan.

Belum lagi, kasus ketidakadilan lainnya, seperti warga Sutet yang dipaksa hidup dibawah aliran listrik, korban kekerasan tahun 65 dan ratusan ketidakadilan lagi. Entah sampai kapan dahaga keadilan bisa terlepas dengan minum ‘meminum segar’ dengan putusan hukum dan politik yang berpihak rakyat? (*)

Tidak ada komentar: