Minggu, 17 Januari 2010

Perlukah Sekolah Wakil Rakyat?


Syukri Rahmatullah
Jum'at, 8 Januari 2010 - 10:36 wib

PERNYATAAN presiden keempat almarhum Abdurahman Wahid beberapa tahun silam yang menyebut anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai taman kanak-kanak, bisa jadi membuat merah kuping ratusan anggota dewan saat itu.

Apalagi setelah Gus Dur dilengserkan, mantan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU ini malah menurunkan tingkatannya menjadi play grup. Lebih rendah dari taman kanak-kanak.

Tahun-tahun itu mungkin boleh saja mayoritas partai tak sepakat dengan pernyataan Gus Dur, yang sangat nyeleneh itu. Akan tetapi, beberapa tahun belakangan julukan yang diberikan Gus Dur sepertinya bisa menjadi benar adanya.

Lihat saja, adu mulut antara anggota Partai Demokrat Ruhut Sitompul dan anggota PDI Perjuangan Gayus Lumbuun, dalam rapat Pansus Angket Kasus Century. Keduanya sama sekali tidak menunjukkan kualitas mereka sebagai wakil rakyat.

Bahkan,anggota DPR dari partai pemenang pemilu itu dengan santainya di depan media massa memaki-maki Gayus Lumbuun, yang saat itu sedang memimpin rapat Pansus, dengan kata-kata (maaf) “bangsat”.

Adu mulut ini merupakan kali kedua di antara keduanya. Sehari sebelumnya, adu mulut cukup keras pun terjadi di antara keduanya. Meskipun panas, tidak sempat keluar kata-kata kotor dari mulut kedua anggota dewan yang terhormat itu.

Apapun yang diperdebatkan saat itu. Penulis pikir semua orang setuju bahwa kata-kata kotor tidak pantas keluar di dalam sidang anggota dewan. Yang lebih ironis, Ketua Fraksi Partai Demokrat Anas Urbaningrum menganggap hal tersebut adalah hal biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan.

Dari sini terlihat, bahwa Partai Demokrat menganggap kata-kata “bangsat” yang keluar dari mulut seorang Ruhut Sitompul adalah hal yang biasa dan tidak perlu dibahas ataupun ’dibenahi’.

Ada pepatah bilang guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Jika ada anggota dewan yang emosi lalu mengucap kata ”bangsat” di dalam sebuah rapat lembaga terhormat. Kira-kira apa yang akan dikatakan anggota dewan kelurahan ketika emosi dalam membahas kepanitian 17 Agustusan?

Memang tidak ada sekolah khusus untuk menjadi anggota DPR. Akan tetapi, sebagai wakil rakyat seharusnya mereka menyadari betul, bagaimana beretika sebagai wakil rakyat. Tidak bisa mereka bertindak seenaknya.

Kesadaran beretika di kalangan anggota dewan sebenarnya pernah muncul, ketika banyak kasus asusila yang muncul, seperti korupsi sampai main perempuan.

Dibentuklah Badan Kehormatan DPR, yang salah satu pimpinannya adalah Gayus Lumbuun. Akan tetapi, melihat kejadian adu mulut yang memalukan itu, seperti Badan Kehormatan DPR saja tidak cukup untuk mendisiplinkan wakil rakyat.

Meskipun dipilih rakyat, anggota dewan yang duduk di DPR merupakan kader-kader partai politik yang mengusungnya. Karenanya, seharusnya disiplin ditegakkan lewat partai politik pengusungnya.

Pencegahan dini sebenarnya bisa dilakukan oleh partai politik. Yaitu dengan cara menyeleksi ketat calon perwakilannya di parlemen. Melihat attitude, pendidikan, kapabelitas, apakah si calon pantas duduk di DPR.

Akan tetapi, sering kali demi mendulang suara partai politik menggadaikan pendidikan, kepantasan, dan attitude seseorang untuk duduk di dewan. Yang penting terkenal di masyarakat, bisa mendulang suara, maka dia bisa menjadi calon anggota DPR. Maka, wajar saja dalam pemilu 2009 kemarin banyak selebriti yang menjadi calon anggota dewan. Inilah hasilnya.

Atau lebih ekstrem lagi. Perlukah sekolah wakil rakyat? Sehingga seseorang yang akan melamar untuk maju sebagai calon wakil rakyat dari partai politik tertentu harus memiliki sertifikat sekolah wakil rakyat?

Karena bagaimana pun calon anggota DPR hanya sekedar mendapatkan pembekalan selama tiga hari, atau paling lama sepekan. Kebanyakan isinya juga bukan soal bagaimana menjadi anggota DPR yang baik menjaga etika dan lain sebagainya.

Semuanya berpulang kepada partai politik. Jika partai politik tidak mau atau tidak berani menindak anggota yang tidak beretika dan hanya mengganggapnya wajar, maka akan ada balasannya. Memang tidak ada sanksi secara langsung. Tapi ingat, sanksi dari masyarakat akan berlaku di pemilu mendatang.

Tidak ada komentar: