Minggu, 17 Januari 2010

Politik Rekaman Melawan Makelar Kasus


Syukri Rahmatullah
Selasa, 10 November 2009 - 16:39 wib

Beberapa hari yang lalu, Mahkamah Konstitusi memutar rekaman penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Anggodo Widjojo. Isinya cukup mengejutkan! Anggodo beberapa kali melakukan komunikasi dengan sejumlah orang penting di kalangan penegak hukum. Misinya adalah menyelamatkan kakaknya Anggoro Widjojo, yang dijadikan buronan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam rekaman itu, dia juga menyebut pejabat kunci di lembaga penegakan hukum. Seperti Kabareskim Mabes Polri Komjen Polisi Susno Duadji, Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga. Bahkan, yang lebih mengejutkan, nama orang nomor satu di republik ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan sebutan RI 1.

Sebenarnya, rekaman yang menyebut soal RI 1 bukan yang pertama kali ini muncul. Rekaman yang sama, sebelumnya sudah beredar di kalangan media massa. Namun, tidak selengkap rekaman penyadapan yang diputar di Mahkamah Konstitusi, yang mencapai empat jam lebih.

Kontan saja Presiden SBY berang dan langsung memerintahkan juru bicara Presiden, Dino Pati Djalal untuk menggelar jumpa pers untuk membantah hal tersebut.

Setelah pemutaran rekaman di MK, Presiden SBY pun kembali menggelar jumpa pers secara langsung, tanpa diwakili juru bicara presiden ataupun anak buahnya di kabinet. Saat itu, Presiden mengaku namanya dicatut di dalam rekaman. Merasa dirugikan, pasti. Namun, sampai tulisan ini dibuat, Presiden tidak mengusut atau menyuruh jajaran kepolisian atau intelejen untuk mengusut perihal pencatutan namanya ini.

Kasus ini pun kemudian menggelinding terus. Bibit Samad Rianto, Chandra Hamzah, dan KPK mendapat simpati masyarakat, Polri pun mendapat simpati dari Komisi III DPR. Sejumlah nama yang disebut pun didesak mundur atau dipecat. Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga memilih mundur dari jabatannya. Kabareskrim Komjen Polisi Susno Duadji juga dikabarkan mengajukan pengunduran diri, namun Kapolri tidak memberhentikannya, melainkan hanya menonaktifkannya sementara.

Melihat pemutaran rekaman ini, penulis teringat kembali pemutaran rekaman yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Sebut saja, rekaman percakapan antara Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani (Ayin), wanita yang diduga makelar kasus BLBI.

Dalam rekaman tersebut disebut-sebut sejumlah petinggi di Kejaksaan Agung, misalnya Jamintel Wisnu Subroto. Pria bertubuh tambun ini juga terdapat dalam rekaman penyadapan Anggodo Widjojo. Tercatat dua kali dia berkomunikasi melalui telepon dengan Anggodo.

Namun dalam kasus Artalyta ini, Wisnu Subroto selamat. Jaksa Agung Hendarman Supandji hanya mencopot Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman, Direktur Penyidik di Jampidsus Muhammad Salim, dan Jaksa Agung Muda bidang Pidana Umum (lupa).

Selain kasus Artalyta suryani, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengungkap kasus korupsi dengan cara penyadapan. Masih ingatkah dengan kasus yang melibatkan anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Al Amin Nasution.

Saat itu, KPK mengungkap pembicaraan Al Amin Nasution dengan makelar kasus untuk melemahkan pengawasan DPR terhadap konservasi alam yang ingin dijadikan tempat usaha di Bintan (perlu dicek lagi di google).

Dalam kasus penyadapan ini, Al Amin Nasution bak sebuah anekdot 'Sudah Jatuh Tertimpa Tangga'. Karena, selain ditangkap dan ditahan, Al Amin juga digugat cerai istrinya yang cantik yang juga penyanyi ternama, Kristina. Apa pasal?

Pasalnya, dalam rekaman tersebut terungkap Al Amin mendapatkan 'bonus' wanita dari makelar kasus, untuk kesuksesannya menggolkan upaya markus tersebut. Kristina pun menyadari, bahwa suaminya yang notabene dari partai Islam itu, diduga menikmati 'bonus' tersebut.

Sejumlah rekaman ini dan rekaman yang mengungkap kasus suap dan korupsi ini punya dampak positif, tapi ada juga dampak negatif. Salah satu dampak negatifnya adalah, merusak keluarga mereka (berkaca dalam kasus Kristina dan Al Amin Nasution).

Akan tetapi, kepentingan yang lebih besar tetaplah harus didahulukan. Karenanya, penyadapan terhadap orang yang diduga melakukan penyuapan, penerima suap, dan koruptor haruslah tetap berlangsung. Tapi, tetap harus melalui prosedur yang benar dan tidak asal sadap.

Fenomena penyadapan dan pemutaran rekaman ini membuka mata masyarakat luas bahwa ternyata di lembaga-lembaga hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan Agung masih dihinggapi makelar kasus. Bahkan, di lembaga perwakilan rakyat!. Ironis memang, sudah 10 tahun reformasi digulirkan, ternyata kedua institusi hukum tersebut, belum juga melakukan reformasi di tubuh mereka.

Pantas saja, beberapa tahun lalu dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai salah satu lembaga baru, yang diharap bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat, bahwa pemberantasan korupsi masih berjalan di Indonesia. Dengan harapan, kedua lembaga institusi hukum yang sudah puluhan tahun dibentuk, Kepolisian dan Kejaksaan berbenah diri.

Pada akhirnya, kasus Anggodo dan Anggoro ini menunjukkan kepada kita, bahwa tugas mereformasi lembaga hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan Agung masih berjalan di tempat. Tapi, bukan berarti reformasi di kedua lembaga tersebut tidak bisa dilakukan, pasti bisa!

Semoga saja, jutaan rakyat yang terus memasang mata melalui media massa dalam mengawal kasus ini bisa menjadi kekuatan baru untuk menata dari awal reformasi Kepolisian dan Kejaksaan.

Tidak ada komentar: