Kamis, 28 April 2011

Bom Buku Ingin 'Dibaca' Siapa?

Syukri Rahmatullah
Jum'at, 18 Maret 2011 - 12:04 wib

Bom Buku memang menarik untuk dibaca. Karena hingga saat ini belum diketahui secara pasti motifnya untuk apa. Sehingga, banyak pihak yang mencoba memelesetkan tujuan si pengirim bom dengan tafsirnya sendiri-sendiri.
Misalnya, saat bom meledak di kawasan kantor lama Ulil Absar Abdalla di Jaringan Islam Liberal dan melukai Kasat Reskrim Jakarta Timur, Kompol Dodi. Kala itu, Ulil langsung menafsirkan bom buku tersebut bertujuan politis karena perannya di Partai Demokrat. Dikaitkan juga dengan permasalahan koalisi yang tengah menghangat.

Tapi ternyata bom buku tidak hanya datang ke eks kantor Ulil, kantor Goris Mere dan rumah Ketua Umum Pemuda Pancasila, Yapto S. Dua hari setelahnya bom juga menyasar ke rumah artis Ahmad Dhani.

Tampaknya Ulil dan rekan-rekannya di Partai Demokrat terlalu cepat menyimpulkan bom buku menyasar partai besutan Presiden SBY tersebut.

Ditambah lagi kesimpulan pengamat politik Bachtiar Effendy dan anggota DPR Effendy Choirie yang menilai bom tidak ditujukan kepada Ulil secara personal. Karena Ulil belum lama baru pulang kuliah dari luar negeri dan belum terlihat perannya di Partai Demokrat. Sehingga belum memiliki ‘ancaman serius’ bagi orang lain.

Ada analisis mengatakan, Ulil hanya dijadikan simbol Jaringan Islam Liberal. Kelompok masyarakat yang dianggap nyeleneh dan membuat penafsiran tersendiri, sehingga mengancam keberadaan Islam.

Hal ini diperkuat dengan ancaman bom kepada Goris Mere yang pernah menjadi pentolan Densus 88, detasemen yang terus memburu dan menghancurkan kelompok teroris. Begitu juga Ahmad Dhani, yang belakangan disebut-sebut kelompok Islam kanan sebagai agen Yahudi.

Terlepas dari berbagai analisis di atas. Saat ini masyarakat dalam kondisi resah dan ketakutan. Sehingga tidak berani membuka paket berisi buku yang datang ke rumah mereka. Misalnya Indra, warga di Pondok Indah yang memanggil Gegana karena mendapat kiriman buku dari orang yang tidak dikenalnya.

Dalam hal ini intelijen bisa saja disebut kecolongan. Karena tidak dapat mengantisipasi gerakan teroris yang kini hidup kembali dan membuat situasi mencekam kembali. Mengutip mantan kepala BIN Hendropriyono, seharusnya intelijen tidak melepaskan pengawasannya dari kelompok teroris seperti ini.

Intelijen harus tetap menaruh orang di kelompok ini dan terus mengawasi pergerakan mereka agar tidak ada lagi ancaman-ancaman bom yang berpotensi mengancam keselamatan masyarakat.

Imbauan Presiden SBY belakangan diharap bisa menjadi pendorong bagi kalangan intelijen di kepolisian, TNI, dan juga BIN agar bergerak lebih cepat lagi dalam menyingkap siapa sebenarnya pelaku pengirim bom tersebut. Agar tidak terjadi saling tuding mengenai pengirim bom.

Dan yang pasti agar masyarakat merasa terlindungi dan tidak lagi dalam kondisi terancam.

Tidak ada komentar: