Kamis, 28 April 2011
Menguji Ketajaman Pedang Keadilan
Syukri Rahmatullah
Kamis, 28 April 2011 - 11:49 wib
LEMBAGA peradilan kembali diuji. Kali ini dalam kasus mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar. Apakah pedang hukum mampu menunjukkan keadilan atau justru sebaliknya.
Kasus Antasari Azhar belakangan ini kembali disorot setelah adanya surat kaleng yang datang kepada kuasa hukum terpidana penembakan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, Daniel Daen Sabon, yaitu Mbalembout.
Mbalembout mengaku menerima surat tersebut pada 17 April lalu. Surat yang diketik itu dikirimkan melalui pos. Apakah surat kaleng ini benar?
Memang surat kaleng ini tidak bisa dijadikan bukti hukum bahwa kasus ini merupakan konspirasi segelintir elit yang ingin ‘menendang’ Antasari dari KPK.
Tapi pengakuan ini bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya, mantan Kapolres Jakarta Selatan, Komisaris Besar Polisi Williardi Wizard membuat pengakuan mengejutkan di pengadilan. Dia mengaku adanya rekayasan berita acara pemeriksaan yang dilakukan petinggi Polri dalam kasus ini.
Williardi mengungkap, seorang penyidik memintanya merekayasan BAP agar menyudutkan Antasari Azhar. Dia diiming-imingi akan dibebaskan dari kasus ini. Karena janji tak dipenuhi, Williardi pun membongkar rekayasa tersebut dan mencabut BAP yang telah dia lakukan.
Rekayasa berita acara pemeriksaan, memaksakan seseorang menjadi tersangka, atau salah tangkap bukan hal baru di negeri ini. Masih ingat kasus Imam Chambali alias Kemat di Jombang tahun 2008 lalu?.
Saat itu, Kemat bersama David Eko Priyanto, dan Mamat Sugianto alias Sugik ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan seorang pria bernama Asrori alias Aldo di Kebun Tebu Dusun Braan Desa Kedungmulyo, Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Jombang, 24 September lalu.
Korban yang tidak dikenal ketiganya ini dibunuh di sebuah rumah kosong lalu dibawa ke kebun tebu untuk dibakar dengan pelumas mobil. Tak tahan disiksa di dalam penjara, Kemat dan David akhirnya terpaksa mengakui. Sedangkan Sugik menolak mengaku dan terus dipukuli. Kemat pun divonis 17 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jombang Jawa Timur.
Belakangan polisi ternyata salah identifikasi, ternyata mayat tersebut bukanlah Asrori, melainkan Fauzin Suyanto. Fauzin merupakan korban pembunuhan yang dilakukan Ryan, seorang gay dari Jombang yang ditangkap karena membunuh pacar sesama jenis di Depok, Jawa Barat.
Kasus salah hukum juga pernah dialami Sengkon dan Karta pada tahun 1970-an. Keduanya ditangkap dan menjalani hukuman bertahun-tahun karena sebuah kejahatan yang tak dilakukannya.
Keduanya malah bertemu pembunuh asli Sulaiman dan Siti Haya, yaitu Gunel. Dia ditangkap dan dipenjara karena kasus lain. Karena kasihan melihat Sengkon sekarat dan hampir meninggal dunia di LP Cipinang, akhirnya Gunel pun mengaku jujur bahwa dia lah pembunuh sebenarnya.
Dalam hal ini penulis tidak bermaksud menyamakan bahwa kasus Antasari Azhar sama dengan kasus Kemat dan Sengkon-Karta. Tetapi, dalam kasus Antasari Azhar ini penegak hukum kembali diuji, apakah mampu menegakkan keadilan atau hanya menjadi kepanjangan tangan dari pelaku konspirasi yang sengaja menjerat seseorang agar masuk ke dalam penjara.
Setidaknya pengakuan Williardi patut menjadi perhatian bahwa kepolisian kita masih memaksakan kehendaknya dengan melakukan rekayasa berita acara pemeriksaan. Jika praktek seperti ini masih terus berlangsung, maka keadilan yang seharusnya bisa tercipta melalui lembaga hukum sangat mustahil diharap.
Kasus Antasari Azhar ini merupakan tantangan berat bagi lembaga peradilan untuk membuktikan jika memang benar masih ada keadilan di negeri ini.
*http://suar.okezone.com/read/2011/04/28/59/450898/menguji-ketajaman-pedang-keadilan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar