http://www.xfactorindonesia.com/episodes/video/audisi/58/fatin-shidqia-grenade
Nama Fatin Shidqia, beberapa bulan lalu mungkin tidak ada yang mengenal. Tapi sekarang, nama Fatin sudah akrab di telinga masyarakat. Bahkan, satu waktu saya tengah di sebuah mall, salah satu penjaganya memutar suara Fatin dari ponselnya.
Fatin saat ini sudah seperti menjadi idola baru. Ya, seorang gadis berusia 16 tahun itu berhasil menarik perhatian masyarakat, saat tampil pertama kali di ajang mencari bakat XFactor. Saat itu, dia tampil mengenakan seragam SMA dalam audisi XFactor.
Tampil pemalu seperti anak ABG membuat juri awalnya tertawa kecil. Fatin pun sempat menjadi bahan lelucon para juri saat itu, Ahmad Dhani, Rosa, dan Beby. Tapi, siapa sangka anak kecil itu ingin menyanyikan "Grenade" dari Bruno Mars. Apalagi, saat menyanyi, suaranya sangat khas dan membuat juri tak menyangka.
"Ahmad Dhani, suka suara kamu" begitu kata Dhani menggambarkan.
Selasa, 12 Maret 2013
Di Balik "Catatan Sang Jurnalis"
Awal Januari 2013, sempat terjadi obrolan santai antara Pemred dan beberapa redpel Okezone di sela-sela rapat. Saat itu obrolan ngalor-ngidur, hingga membicarakan hari ulang tahun Okezone yang ke-6, yang jatuh pada 1 Maret 2013.
Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja tercetus sebuah ide untuk membuat buku. Awalnya, saat itu kami berpikiran untuk meninggalkan "sesuatu" yang bersifat abadi untuk media yang sudah kami bangun bersama selama enam tahun.
Akhirnya, direncanakan lah untuk membuat sebuah buku. Minimal, jika kami sudah tidak di media ini lagi, ada yang bisa kami wariskan secara abadi, yaitu sebuah buku.
Obrolan santai pun lama-lama menjadi serius. Hingga Pemred, maju ke depan ruang rapat mencoret-coret rencana pembuatan buku. Akhirnya, rencana pembuatan buku pun diputuskan. Materi buku diputuskan diambil dari Catatan Redaksi yang setiap hari muncul di bagian kiri bawah welcome page Okezone.com. Obrolan juga mengarah kepada nama buku tersebut.
Sejumlah usulan judul pun muncul. Awalnya, judul-judul yang diusulkan di antaranya adalah "Coretan Jurnalis". Karena perdebatan menjadi serius, akhirnya pembicaraan disetop, judul buku disimpan dahulu.
Mas Budi, Pemred, menugaskan saya untuk mengumpulkan catatan redaksi Okezone dari tahun 2009 hingga Desember 2012. Dalam beberapa hari, berhasil dikumpulkan sekira 500-an artikel yang pernah dibuat Pemred, dan Redpel.
Setelah terkumpul, seluruh artikel saya kirim ke seluruh imel redpel dan pemred untuk diseleksi. Dari situ lah terus bergulir rapat secara rutin di sela-sela kesibukan dalam mengelola redaksi Okezone.
Banyak keputusan dibuat. Di antaranya mengapa menggunakan gambar karikatur di halaman sampul buku. Awalnya, kami menduga pembaca akan mengira bahwa itu adalah komik dan bukan buku. Sempat juga dicarikan alternatif gambar untuk sampul. Tapi, akhirnya karikatur itu lah yang diambil. Karena dianggap dapat menggambarkan isi buku.
Makanya, solusi dibuat dengan kalimat tambahan di bawah judul "Kumpulan Artikel Kritis Redaksi Okezone.com". Sehingga, kami yakin pembaca tidak akan menilai lagi bahwa buku itu adalah komik.
Yang lainnya, adalah judul buku. Judul buku awalnya muncul ide namanya "Catatan Redaksi", "Coretan Jurnalis", dan beberapa nama lain. Akhirnya, diambil lah judul "Catatan Sang Jurnalis". Filosofinya, artikel-artikel yang kami buat adalah catatan-catatan yang kami buat setiap hari, dalam mengkritisi kebijakan pemerintah, kondisi sosial, dan lainnya. Diharap, buku ini dapat menjadi masukan positif bagi pemangku kebijakan.
Soal jumlah artikel. Awalnya terkumpul hingga 500 lebih artikel. jika dijadikan buku bisa mencapai 700-800 halaman, karena banyak artikel yang cukup panjang hingga mencapai dua halaman makanya diputuskan untuk "memangkas" artikel-artikel tersebut. Jadilah setiap redpel, memberikan 30 artikel terbaiknya. Jadi total jadi 150 artikel. Diharap buku hanya akan menjadi 200 halaman saja. Tapi, pas hasil akhir, ternyata halaman buku menjadi "bengkak" menjadi 350 halaman.
Singkatnya, setelah melalui beberapa proses verifikasi, buku tersebut berhasil dicetak dan sampai di kantor Okezone, sekira pukul 5 sore, tanggal 1 Maret. Hanya selang satu jam sebelum acara HUT Okezone ke-6 digelar di lantai tiga, Gedung High End, kawasan Kebon Sirih.
Di sela menyerahkan buku tersebut kepada para direktur, Mas Budi, saat itu berujar, buku tersebut sengaja dibuat agar menjadi monumen intelektual bagi Okezone di usianya ke-6. Buku ini sederhana, tapi sarat makna.
Semoga saja, buku sederhana dan jauh dari kesempurnaan itu menjadi tonggak sejarah pertama bagi Okezone dalam menancapkan intelektualitasnya di tengah-tengah masyarakat. Amien.
Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja tercetus sebuah ide untuk membuat buku. Awalnya, saat itu kami berpikiran untuk meninggalkan "sesuatu" yang bersifat abadi untuk media yang sudah kami bangun bersama selama enam tahun.
Akhirnya, direncanakan lah untuk membuat sebuah buku. Minimal, jika kami sudah tidak di media ini lagi, ada yang bisa kami wariskan secara abadi, yaitu sebuah buku.
Obrolan santai pun lama-lama menjadi serius. Hingga Pemred, maju ke depan ruang rapat mencoret-coret rencana pembuatan buku. Akhirnya, rencana pembuatan buku pun diputuskan. Materi buku diputuskan diambil dari Catatan Redaksi yang setiap hari muncul di bagian kiri bawah welcome page Okezone.com. Obrolan juga mengarah kepada nama buku tersebut.
Sejumlah usulan judul pun muncul. Awalnya, judul-judul yang diusulkan di antaranya adalah "Coretan Jurnalis". Karena perdebatan menjadi serius, akhirnya pembicaraan disetop, judul buku disimpan dahulu.
Mas Budi, Pemred, menugaskan saya untuk mengumpulkan catatan redaksi Okezone dari tahun 2009 hingga Desember 2012. Dalam beberapa hari, berhasil dikumpulkan sekira 500-an artikel yang pernah dibuat Pemred, dan Redpel.
Setelah terkumpul, seluruh artikel saya kirim ke seluruh imel redpel dan pemred untuk diseleksi. Dari situ lah terus bergulir rapat secara rutin di sela-sela kesibukan dalam mengelola redaksi Okezone.
Banyak keputusan dibuat. Di antaranya mengapa menggunakan gambar karikatur di halaman sampul buku. Awalnya, kami menduga pembaca akan mengira bahwa itu adalah komik dan bukan buku. Sempat juga dicarikan alternatif gambar untuk sampul. Tapi, akhirnya karikatur itu lah yang diambil. Karena dianggap dapat menggambarkan isi buku.
Makanya, solusi dibuat dengan kalimat tambahan di bawah judul "Kumpulan Artikel Kritis Redaksi Okezone.com". Sehingga, kami yakin pembaca tidak akan menilai lagi bahwa buku itu adalah komik.
Yang lainnya, adalah judul buku. Judul buku awalnya muncul ide namanya "Catatan Redaksi", "Coretan Jurnalis", dan beberapa nama lain. Akhirnya, diambil lah judul "Catatan Sang Jurnalis". Filosofinya, artikel-artikel yang kami buat adalah catatan-catatan yang kami buat setiap hari, dalam mengkritisi kebijakan pemerintah, kondisi sosial, dan lainnya. Diharap, buku ini dapat menjadi masukan positif bagi pemangku kebijakan.
Soal jumlah artikel. Awalnya terkumpul hingga 500 lebih artikel. jika dijadikan buku bisa mencapai 700-800 halaman, karena banyak artikel yang cukup panjang hingga mencapai dua halaman makanya diputuskan untuk "memangkas" artikel-artikel tersebut. Jadilah setiap redpel, memberikan 30 artikel terbaiknya. Jadi total jadi 150 artikel. Diharap buku hanya akan menjadi 200 halaman saja. Tapi, pas hasil akhir, ternyata halaman buku menjadi "bengkak" menjadi 350 halaman.
Singkatnya, setelah melalui beberapa proses verifikasi, buku tersebut berhasil dicetak dan sampai di kantor Okezone, sekira pukul 5 sore, tanggal 1 Maret. Hanya selang satu jam sebelum acara HUT Okezone ke-6 digelar di lantai tiga, Gedung High End, kawasan Kebon Sirih.
Di sela menyerahkan buku tersebut kepada para direktur, Mas Budi, saat itu berujar, buku tersebut sengaja dibuat agar menjadi monumen intelektual bagi Okezone di usianya ke-6. Buku ini sederhana, tapi sarat makna.
Semoga saja, buku sederhana dan jauh dari kesempurnaan itu menjadi tonggak sejarah pertama bagi Okezone dalam menancapkan intelektualitasnya di tengah-tengah masyarakat. Amien.
Kamis, 09 Agustus 2012
Stop Bawa Isu Agama di Pemilukada!
Syukri Rahmatullah
Senin, 6 Agustus 2012 - 14:56 wib
Prihatin! Hanya itu mungkin kata yang pantas diucapkan untuk menggambarkan situasi pemilukada belakangan ini. Isu suku agama dan ras, digunakan untuk kepentingan sesaat calon tertentu.
Sejak reformasi, isu SARA sudah mulai ditinggalkan secara perlahan. Apalagi setelah mantan Presiden Indonesia, Abdurahman Wahid, bersikap tegas membela kaum minoritas Tionghoa, dengan membolehkan mereka merayakan Imlek yang dilarang selama orde baru berdiri. Pesannya jelas, tidak ada tempat bagi isu SARA di negeri yang bernafaskan Pancasila.
Tapi belakangan ini, upaya tersebut kembali tercoreng. Isu SARA digunakan kembali untuk mendeskreditkan salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Apalagi upaya tersebut dilakukan tempat yang dianggap suci umat muslim, yaitu masjid.
Rhoma Irama boleh saja berdalih bahwa itu adalah dakwah. Tapi, semua orang tahu bahwa dia adalah tim sukses salah satu calon gubernur DKI Jakarta. Tentu saja, dakwah yang dilakukannya tidak bisa dikategorikan netral, melainkan berpihak kepada salah satu calon.
Apalagi dalam aturan pemilu jelas diatur bahwa tempat ibadah, seperti masjid, gereja,vihara, dan lainnya merupakan tempat terlarang untuk melakukan kampanye. Apa yang dilakukan Rhoma Irama tentu saja bernuansa kampanye yang diselipkan dalam ceramah. Sehingga sangat mudah melihatnya bahwa hal tersebut adalah upaya/ajakan kepada pendengar ceramahnya untuk memilih salah satu calon gubernur.
Sayangnya, apa yang dilakukan Rhoma ini mendapatkan apresiasi dari Menteri Agama Suryadharma Ali yang seharusnya dapat menjaga kerukunan umat beragama. Sekalipun banyak orang tahu bahwa Suryadharma adalah ketua umum PPP, Rhoma Irama adalah kader PPP. Partai berlambang Kabah juga telah menyatakan dukungan kepada salah satu calon gubernur.
Ditambah lagi, pasangan calon yang diuntungkan dengan ceramah Rhoma Irama mendukung apa yang dilakukan Rhoma Irama tersebut.
Pemilukada saat ini merupakan pembelajaran yang sangat penting bagi pemilukada yang akan datang. Mencoreng proses pemilukada saat ini dengan cara-cara yang tidak layak, menggunakan kampanye hitam atau black campaign dan juga menggunakan isu SARA merupakan pelajaran yang tidak bijak untuk pemilukada yang akan datang.
Bayangkan saja jika di setiap tempat ibadah digunakan untuk sarana berkampanye, menjelek-jelekkan lawan politik dengan cara berdakwah. Tentu saja ini bukan sebuah perkembangan yang baik bagi demokrasi Indonesia. Kampanye di tempat ibadah dapat memicu kampanye serupa di tempat ibadah lainnya.
Makanya hal ini harus dihentikan. Penyelenggara pemilu harus bersikap tegas terhadap siapapun yang menggunakan cara melanggar hukum untuk memenangkan calonnya harus ditindak. Siapapun, tak terkecuali. Karena pertaruhannya adalah demokrasi Indonesia, masa depan anak cucu kita semua.
Senin, 6 Agustus 2012 - 14:56 wib
Prihatin! Hanya itu mungkin kata yang pantas diucapkan untuk menggambarkan situasi pemilukada belakangan ini. Isu suku agama dan ras, digunakan untuk kepentingan sesaat calon tertentu.
Sejak reformasi, isu SARA sudah mulai ditinggalkan secara perlahan. Apalagi setelah mantan Presiden Indonesia, Abdurahman Wahid, bersikap tegas membela kaum minoritas Tionghoa, dengan membolehkan mereka merayakan Imlek yang dilarang selama orde baru berdiri. Pesannya jelas, tidak ada tempat bagi isu SARA di negeri yang bernafaskan Pancasila.
Tapi belakangan ini, upaya tersebut kembali tercoreng. Isu SARA digunakan kembali untuk mendeskreditkan salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Apalagi upaya tersebut dilakukan tempat yang dianggap suci umat muslim, yaitu masjid.
Rhoma Irama boleh saja berdalih bahwa itu adalah dakwah. Tapi, semua orang tahu bahwa dia adalah tim sukses salah satu calon gubernur DKI Jakarta. Tentu saja, dakwah yang dilakukannya tidak bisa dikategorikan netral, melainkan berpihak kepada salah satu calon.
Apalagi dalam aturan pemilu jelas diatur bahwa tempat ibadah, seperti masjid, gereja,vihara, dan lainnya merupakan tempat terlarang untuk melakukan kampanye. Apa yang dilakukan Rhoma Irama tentu saja bernuansa kampanye yang diselipkan dalam ceramah. Sehingga sangat mudah melihatnya bahwa hal tersebut adalah upaya/ajakan kepada pendengar ceramahnya untuk memilih salah satu calon gubernur.
Sayangnya, apa yang dilakukan Rhoma ini mendapatkan apresiasi dari Menteri Agama Suryadharma Ali yang seharusnya dapat menjaga kerukunan umat beragama. Sekalipun banyak orang tahu bahwa Suryadharma adalah ketua umum PPP, Rhoma Irama adalah kader PPP. Partai berlambang Kabah juga telah menyatakan dukungan kepada salah satu calon gubernur.
Ditambah lagi, pasangan calon yang diuntungkan dengan ceramah Rhoma Irama mendukung apa yang dilakukan Rhoma Irama tersebut.
Pemilukada saat ini merupakan pembelajaran yang sangat penting bagi pemilukada yang akan datang. Mencoreng proses pemilukada saat ini dengan cara-cara yang tidak layak, menggunakan kampanye hitam atau black campaign dan juga menggunakan isu SARA merupakan pelajaran yang tidak bijak untuk pemilukada yang akan datang.
Bayangkan saja jika di setiap tempat ibadah digunakan untuk sarana berkampanye, menjelek-jelekkan lawan politik dengan cara berdakwah. Tentu saja ini bukan sebuah perkembangan yang baik bagi demokrasi Indonesia. Kampanye di tempat ibadah dapat memicu kampanye serupa di tempat ibadah lainnya.
Makanya hal ini harus dihentikan. Penyelenggara pemilu harus bersikap tegas terhadap siapapun yang menggunakan cara melanggar hukum untuk memenangkan calonnya harus ditindak. Siapapun, tak terkecuali. Karena pertaruhannya adalah demokrasi Indonesia, masa depan anak cucu kita semua.
Sabtu, 13 Agustus 2011
Antara Syukri Ghazali, Syukri Zarkasyi, dan Syukri Rahmatullah
Setiap orang terlahir di dunia ini sudah memiliki nama pemberian orangtuanya. Karenanya dia tidak bisa memilih namanya sendiri. Sebagai rasa terima kasih kepada orangtua, kita pun menerima pemberian nama itu.
Saya pun sama seperti orang kebanyakan yang diberi nama orangtua. Saya diberi nama Syukri Rahmatullah. Sejak kecil kini, seringkali nama ini salah ditulis orang lain. Ada yang menulisnya Supri, ada yang menulis Sukri. Yang lucu, pernah ada orang yang memanggil saya Sukur. Entah dari mana dia dapat, padahal dia memiliki akun BB saya yang tertera jelas nama ID saya; Syukri (okezone.com).
Ada idiom yang menyebut ‘apalah arti sebuah nama’. Sebelum menikah, saya termasuk memegang idiom itu. Sehingga, beberapa kali saya mengganti nama panggilan saya sejak masa di Pesantren ataupun saat kuliah.
Dari orangtua saya juga mendapat nama kecil. Nama kecilnya adalah Oki. Saat di Pesantren kebanyakan orang memanggil saya Syukri. Entah mungkin saat itu, nama kecil itu tidak terasa keren, saya pun menggantinya beberapa kali. Pernah saya mencoret-coret di kertas untuk mencari nama yang keren. Entah apa saja namanya, saat ini saya sudah lupa.
Hingga terakhir di awal tahun 1990-an sedeng tren nama di belakangnya huruf “Y”. Misal asli namanya Aji biar keren diganti jadi Ajay. Ada teman namanya Dody diganti jadi Uday. Tak terkecuali dengan Oki, karena orang terkadang terpeleset memanggil dari Oki menjadi Uki, akhirnya oleh teman-teman diplesetkan menjadi Ukay.
Ini pun terjadi plintiran tulisan lagi. Terkadang teman menulis nama Ukay menjadi Uky. Dan tiga huruf inilah yang kemudian digunakan sebagai kode berita yang saya buat sejak masih di Harian Nonstop hingga kini.
Setelah menikah dan memiliki anak. Saya jadi mengerti pentingnya arti sebuah nama. Bagi saya bukan ‘apalah arti sebuah nama’ tapi ‘nama adalah sebuah doa orangtua’. Itulah yang saya berikan kepada putri pertama kami, Ananda Wardah Wahidah.
Yang saya rasakan sepertinya sama dengan yang dirasakan orangtua muda lainnya. Yang kebingungan mencari nama terbaik untuk anak mereka. Pernah, kakak saya sampai membeli beberapa buku di media hanya untuk mencari sebuah nama. Ada dua motivasi di sini, pertama agar nama anaknya terdengar bagus alias tidak kampungan dan norak. Dan juga mencari makna kata dari nama tersebut, yang merupakan doa dan harapan orangtua terhadap sang anak.
Saat kehamilan istri saya yang kedua. Kami pernah berdiskusi mencari nama terbaik untuk sang calon anak. Sempat terlontar dari mulut untuk memasukkan nama belakang saya “Rahmatullah” di belakangnya. Entah kenapa, sang kakak tiba-tiba kesal dan merajuk. “Kakak gak mau dede dinamain itu”. Saat ditanya dia hanya diam dan menangis. Ternyata si kakak cemburu, kutipan nama ayahnya diletakkan di nama calon adik.
Saya paham. Mungkin dalam posisinya, saya juga akan melakukan hal serupa. Apalagi selama enam tahun belakangan ini rasa kasih sayang kami selalu tercurah kepadanya. Akhirnya pelan-pelan saya jelaskan makna nama yang saya berikan kepadanya.
“Ananda Wardah Wahidah”. Padanan nama tiga kata ini baru marak di tahun 2000-an. Biasanya, nama hanya terdiri dari dua suku kata saja. Bahkan, banyak orang bersuku Jawa hanya diberikan satu suku kata. Seperti teman saya dari Sindo yang hanya diberi nama Suwarno. Saat ingin berangkat haji, saya baru paham kenapa diberi tiga suku kata.
Salah satu alasannya yang masuk akal adalah. Pemerintah Arab Saudi melarang paspor yang hanya bernama satu atau dua suku kata. Minimal harus tiga suku kata. Saya dan Suwarno wajib menambah satu dan dua suku kata, agar kami bisa berangkat liputan haji.
Ananda Wardah Wahidah secara harfiah berarti “anakku bunga mawar pertamaku”. Nama Ananda Wahidah dibuat oleh saya, diselipkan kata Wardah merupakan masukan almarhum ayah saya. Yang esensi dari nama ini adalah kata ‘Wahidah’. Tadinya saya ingin memasukkan kata ‘wahid’, tapi karena perempuan maka ditambah menjadi wahidah.
Kata itu saya ambil karena kekaguman terhadap sosok KH Abdurahman Wahid alias Gus Dur. Memang saya tidak dekat dengan beliau, tapi dalam beberapa kali liputan saya memiliki jarak yang dekat dan melihat langsung ekpresi, mimik yang tidak pernah dibuat/direkayasa dalam sebuah sikap. Yang lebih menggetarkan hati saya adalah pembelaannya terhadap sikap minoritas.
Saya sebenarnya pernah menjadi korban pernyataan Gus Dur. Dalam sebuah jumpa pers di PBNU, Gus Dur membela sejumlah Gereja yang ditutup paksa FPI di kawasan Jawa Barat. Saya pun memuat berita tersebut dengan semangat yang sama, membela kaum minoritas. Ternyata FPI tidak terima dan mengadukan Gus Dur ke Mabes Polri. Celakanya, yang dijadikan salah satu barang bukti adalah berita yang saya buat di Harian Nonstop. Alhasil, saya pun diperiksa sebagai saksi selama berjam-jam di Mabes Polri. Meski akhirnya, kasus tersebut tidak pernah berlanjut ke pengadilan.
Doa di nama itu adalah semoga Ananda Wardah Wahidah di masa akan datang menjadi pemimpin yang keras dan tegas seperti Gus Dur dan juga membela minoritas. Saat dijelaskan namanya diambil dari nama Presiden keempat RI, dia pun berganti senang. Dia dapat menangkap yang saya maksud. “Nanda pengin ayah bangga dengan Nanda”.
Saya pun sebenarnya pernah mencari tahu kenapa saya dinamakan Syukri Rahmatullah. Apa maksud dan doa orangtua saya di balik nama itu. Saat pesantren saya baru tahu arti harfiahnya, Syukri Rahmatullah “mensyukuri rahmat Allah SWT”. Mungkin orangtua ingin agar saya menjadi orang yang selalu bersyukur kepada Allah SWT, apapun kondisinya. Karena dalam beberapa cerita orangtua, saat saya dilahirkan kondisi ekonomi keluarga kami memang kurang. Beberapa tahun masa kecil saya, pernah dihabiskan di pinggir kereta. Dulu orangtua pernah mengontrak di dekat Gedung Hijau, sekadang warnanya hitam.
Jika naik kereta dari Tanah Abang menuju Palmerah akan terlihat di sisi kanan, ada sebuah gedung hitam seperti gosong di antara rumah-rumah pinggir rel. Itulah dulu tempat main kami. Mungkin orangtua berharap agar saya menjadi orang yang prihatin dan bersyukur dengan kondisi yang ada.
Penamaan nama Syukri Rahmatullah juga diambil dari nama seorang ulama yang dikagumi Ayah saya. Mungkin beliau berharap keilmuan saya juga seluas ulama tersebut. Tapi, hingga kini belum jelas siapa ulama yang dimaksud.
Saya mencoba mencerna dengan melakukan napak tilas, mencari nama-nama yang berpengaruh di era tahun 70-an. Terdapat dua nama, yaitu Syukri Ghazali dan Syukri Zarkasyi.
Syukri Ghazali adalah seorang ulama kelahiran Salatiga 6 Desember 1906. Dia diangkat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1981-1984, pas setahun setelah saya dilahirkan. Tak banyak cerita soal Syukri Ghazali yang saya dapat, karena beliau hanya memimpin MUI dua tahun dan digantikan Hasan Basri.
KH Abdullah Syukri Zaskasyi adalah putra dari Imam Zarkasyi, salah satu dari trimurti pendiri Pondok Pesantren Gontor. Beliau lahir 19 September 1942. Selepas wafatrnya KH Imam Zaskasyi, kini KH Syukri Zarkasyi lah yang mengasuh Gontor.
Uniknya dalam sebuah cerita, Gus Dur pernah ‘mengerjai’ Syukri Zarkasyi sewaktu masih belajar di Kairo. Waktu itu, Gus Dur dengan KH Mustofa Bisri menyajikan kopi kepada putra pengasuh Ponpes Gontor ini di kos-kosan mereka berdua. Kemudian, karena kopinya luber, akhirnya Gus Dur meminta Mustofa Bisri untuk mengambil lap. Ternyata lap yang diambil adalah sebuah celana dalam baru. Gus Dur pun beralasan, karena masih baru maka kain itu belum sah dianggap celana dalam, sambil melirik Gus Mus. Karena sudah disajukan, Syukri Zarkasyi akhirnya meminumnya dengan perasaan yang campur aduk.
Entah mana tokoh yang dimaksud almarhum ayah untuk menamakan Syukri Rahmatullah. Yang pasti, saya cukup bangga karena doanya yang sangat besar terhadap anaknya ini. Semoga Allah menerimamu di sisiNYA, Ustaz H Mansyur Rosyidi.
Saya pun sama seperti orang kebanyakan yang diberi nama orangtua. Saya diberi nama Syukri Rahmatullah. Sejak kecil kini, seringkali nama ini salah ditulis orang lain. Ada yang menulisnya Supri, ada yang menulis Sukri. Yang lucu, pernah ada orang yang memanggil saya Sukur. Entah dari mana dia dapat, padahal dia memiliki akun BB saya yang tertera jelas nama ID saya; Syukri (okezone.com).
Ada idiom yang menyebut ‘apalah arti sebuah nama’. Sebelum menikah, saya termasuk memegang idiom itu. Sehingga, beberapa kali saya mengganti nama panggilan saya sejak masa di Pesantren ataupun saat kuliah.
Dari orangtua saya juga mendapat nama kecil. Nama kecilnya adalah Oki. Saat di Pesantren kebanyakan orang memanggil saya Syukri. Entah mungkin saat itu, nama kecil itu tidak terasa keren, saya pun menggantinya beberapa kali. Pernah saya mencoret-coret di kertas untuk mencari nama yang keren. Entah apa saja namanya, saat ini saya sudah lupa.
Hingga terakhir di awal tahun 1990-an sedeng tren nama di belakangnya huruf “Y”. Misal asli namanya Aji biar keren diganti jadi Ajay. Ada teman namanya Dody diganti jadi Uday. Tak terkecuali dengan Oki, karena orang terkadang terpeleset memanggil dari Oki menjadi Uki, akhirnya oleh teman-teman diplesetkan menjadi Ukay.
Ini pun terjadi plintiran tulisan lagi. Terkadang teman menulis nama Ukay menjadi Uky. Dan tiga huruf inilah yang kemudian digunakan sebagai kode berita yang saya buat sejak masih di Harian Nonstop hingga kini.
Setelah menikah dan memiliki anak. Saya jadi mengerti pentingnya arti sebuah nama. Bagi saya bukan ‘apalah arti sebuah nama’ tapi ‘nama adalah sebuah doa orangtua’. Itulah yang saya berikan kepada putri pertama kami, Ananda Wardah Wahidah.
Yang saya rasakan sepertinya sama dengan yang dirasakan orangtua muda lainnya. Yang kebingungan mencari nama terbaik untuk anak mereka. Pernah, kakak saya sampai membeli beberapa buku di media hanya untuk mencari sebuah nama. Ada dua motivasi di sini, pertama agar nama anaknya terdengar bagus alias tidak kampungan dan norak. Dan juga mencari makna kata dari nama tersebut, yang merupakan doa dan harapan orangtua terhadap sang anak.
Saat kehamilan istri saya yang kedua. Kami pernah berdiskusi mencari nama terbaik untuk sang calon anak. Sempat terlontar dari mulut untuk memasukkan nama belakang saya “Rahmatullah” di belakangnya. Entah kenapa, sang kakak tiba-tiba kesal dan merajuk. “Kakak gak mau dede dinamain itu”. Saat ditanya dia hanya diam dan menangis. Ternyata si kakak cemburu, kutipan nama ayahnya diletakkan di nama calon adik.
Saya paham. Mungkin dalam posisinya, saya juga akan melakukan hal serupa. Apalagi selama enam tahun belakangan ini rasa kasih sayang kami selalu tercurah kepadanya. Akhirnya pelan-pelan saya jelaskan makna nama yang saya berikan kepadanya.
“Ananda Wardah Wahidah”. Padanan nama tiga kata ini baru marak di tahun 2000-an. Biasanya, nama hanya terdiri dari dua suku kata saja. Bahkan, banyak orang bersuku Jawa hanya diberikan satu suku kata. Seperti teman saya dari Sindo yang hanya diberi nama Suwarno. Saat ingin berangkat haji, saya baru paham kenapa diberi tiga suku kata.
Salah satu alasannya yang masuk akal adalah. Pemerintah Arab Saudi melarang paspor yang hanya bernama satu atau dua suku kata. Minimal harus tiga suku kata. Saya dan Suwarno wajib menambah satu dan dua suku kata, agar kami bisa berangkat liputan haji.
Ananda Wardah Wahidah secara harfiah berarti “anakku bunga mawar pertamaku”. Nama Ananda Wahidah dibuat oleh saya, diselipkan kata Wardah merupakan masukan almarhum ayah saya. Yang esensi dari nama ini adalah kata ‘Wahidah’. Tadinya saya ingin memasukkan kata ‘wahid’, tapi karena perempuan maka ditambah menjadi wahidah.
Kata itu saya ambil karena kekaguman terhadap sosok KH Abdurahman Wahid alias Gus Dur. Memang saya tidak dekat dengan beliau, tapi dalam beberapa kali liputan saya memiliki jarak yang dekat dan melihat langsung ekpresi, mimik yang tidak pernah dibuat/direkayasa dalam sebuah sikap. Yang lebih menggetarkan hati saya adalah pembelaannya terhadap sikap minoritas.
Saya sebenarnya pernah menjadi korban pernyataan Gus Dur. Dalam sebuah jumpa pers di PBNU, Gus Dur membela sejumlah Gereja yang ditutup paksa FPI di kawasan Jawa Barat. Saya pun memuat berita tersebut dengan semangat yang sama, membela kaum minoritas. Ternyata FPI tidak terima dan mengadukan Gus Dur ke Mabes Polri. Celakanya, yang dijadikan salah satu barang bukti adalah berita yang saya buat di Harian Nonstop. Alhasil, saya pun diperiksa sebagai saksi selama berjam-jam di Mabes Polri. Meski akhirnya, kasus tersebut tidak pernah berlanjut ke pengadilan.
Doa di nama itu adalah semoga Ananda Wardah Wahidah di masa akan datang menjadi pemimpin yang keras dan tegas seperti Gus Dur dan juga membela minoritas. Saat dijelaskan namanya diambil dari nama Presiden keempat RI, dia pun berganti senang. Dia dapat menangkap yang saya maksud. “Nanda pengin ayah bangga dengan Nanda”.
Saya pun sebenarnya pernah mencari tahu kenapa saya dinamakan Syukri Rahmatullah. Apa maksud dan doa orangtua saya di balik nama itu. Saat pesantren saya baru tahu arti harfiahnya, Syukri Rahmatullah “mensyukuri rahmat Allah SWT”. Mungkin orangtua ingin agar saya menjadi orang yang selalu bersyukur kepada Allah SWT, apapun kondisinya. Karena dalam beberapa cerita orangtua, saat saya dilahirkan kondisi ekonomi keluarga kami memang kurang. Beberapa tahun masa kecil saya, pernah dihabiskan di pinggir kereta. Dulu orangtua pernah mengontrak di dekat Gedung Hijau, sekadang warnanya hitam.
Jika naik kereta dari Tanah Abang menuju Palmerah akan terlihat di sisi kanan, ada sebuah gedung hitam seperti gosong di antara rumah-rumah pinggir rel. Itulah dulu tempat main kami. Mungkin orangtua berharap agar saya menjadi orang yang prihatin dan bersyukur dengan kondisi yang ada.
Penamaan nama Syukri Rahmatullah juga diambil dari nama seorang ulama yang dikagumi Ayah saya. Mungkin beliau berharap keilmuan saya juga seluas ulama tersebut. Tapi, hingga kini belum jelas siapa ulama yang dimaksud.
Saya mencoba mencerna dengan melakukan napak tilas, mencari nama-nama yang berpengaruh di era tahun 70-an. Terdapat dua nama, yaitu Syukri Ghazali dan Syukri Zarkasyi.
Syukri Ghazali adalah seorang ulama kelahiran Salatiga 6 Desember 1906. Dia diangkat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1981-1984, pas setahun setelah saya dilahirkan. Tak banyak cerita soal Syukri Ghazali yang saya dapat, karena beliau hanya memimpin MUI dua tahun dan digantikan Hasan Basri.
KH Abdullah Syukri Zaskasyi adalah putra dari Imam Zarkasyi, salah satu dari trimurti pendiri Pondok Pesantren Gontor. Beliau lahir 19 September 1942. Selepas wafatrnya KH Imam Zaskasyi, kini KH Syukri Zarkasyi lah yang mengasuh Gontor.
Uniknya dalam sebuah cerita, Gus Dur pernah ‘mengerjai’ Syukri Zarkasyi sewaktu masih belajar di Kairo. Waktu itu, Gus Dur dengan KH Mustofa Bisri menyajikan kopi kepada putra pengasuh Ponpes Gontor ini di kos-kosan mereka berdua. Kemudian, karena kopinya luber, akhirnya Gus Dur meminta Mustofa Bisri untuk mengambil lap. Ternyata lap yang diambil adalah sebuah celana dalam baru. Gus Dur pun beralasan, karena masih baru maka kain itu belum sah dianggap celana dalam, sambil melirik Gus Mus. Karena sudah disajukan, Syukri Zarkasyi akhirnya meminumnya dengan perasaan yang campur aduk.
Entah mana tokoh yang dimaksud almarhum ayah untuk menamakan Syukri Rahmatullah. Yang pasti, saya cukup bangga karena doanya yang sangat besar terhadap anaknya ini. Semoga Allah menerimamu di sisiNYA, Ustaz H Mansyur Rosyidi.
Jumat, 17 Juni 2011
15 Langkah Menembus Narasumber
Melakukan liputan di lapangan, bagi seorang jurnalis bak menjalani sebuah misi dalam peperangan. Karenanya dibutuhkan strategi agar misi bisa berhasil dengan sukses. Melakukan sebuah peliputan tidak bisa mengalir begitu saja seperti air. Harus ada sebuah strategi!
Pembicara sebelumnya telah berbicara mengenai tekhnis reportase. Menyiapkan bagaimana untuk melakukan wawancara yang baik dan benar.
Lalu bagaimanakah jika dalam perjalannya seorang jurnalis menghadapi narasumber yang sulit untuk ditemui, apalagi dimintai komentarnya, bak menghadapi sebuah dinding yang kokoh dan juga tinggi.
Karena itu dibutuhkan strategi untuk menaklukkan tembok besar tersebut.
Pertama, kenali narasumber Anda. Jika Anda tidak mengenal dengan baik siapa yang akan wawancarai, bagaimana Anda bisa berkomunikasi dengan baik.
Misal, narasumber yang akan Anda temui adalah M Nazarudin. Carilah informasi siapa dia? Jabatannya di Partai Demokrat, jabatannya di Fraksi Partai Demokrat, jabatannya di DPR, selain di pemerintahan dia aktif di mana saja. LSM, organisasi kepemudaan, atau perusahaan.
Cari tahu juga mengenai sifatnya. Apakah dia orang yang arogan, pemarah, sombong, atau malah asyik dan mudah untuk diajak bicara apapun.
Hal ini terkadang perlu untuk diantisipasi, agar kita bisa mengukur pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada narasumber.
Kedua, perkenalkanlah diri anda kepada narasumber. Nama dan media Anda. Jelaskan secara lugas. Jika Anda berhasil mendapatkan nomor kontak M Nazarudin, hubungi dan perkenalkan diri Anda, media Anda.
Ketiga, sampaikan tujuan Anda mewawancarai dia? Apa topik wawancara Anda dan mengapa itu ditanyakan?. Jika perlu sampaikan kepada narasumber bahwa pernyataannya sangat penting dan ditunggu pembaca.
Keempat, sampaikan kepada narasumber kerugian yang bakal dia dapatkan jika tidak mau berkomentar. Informasi akan dimenangkan pihak lawan dan merugikan dirinya.
Kelima, jika tidak bersedia, mintalah narasumber untuk memberikan satu dua pernyataan. Misal “ya” atau “tidak”, “benar” atau “salah”.
Keenam, Jika sedari awal narasumber diketahui tidak suka dengan topik pembicaraan yang akan disampaikan. Cari tahu topik yang dia sukai, ini bisa dijadikan pintu masuk untuk isu yang ingin ditanyakan.
Ketujuh, Jika tetap tidak bisa. Tutup pembicaraan dengan sopan dan sampaikan mungkin di lain waktu bisa bekerjasama dengan baik.
Kedelapan, jika narasumber tidak mau jangan terus Anda menyerah. Masih banyak cara yang bisa Anda lakukan. Misalnya doorstop, Anda bisa mencegat narasumber di ruang-ruang publik. Saat dia ke luar rumah atau kantor. Tapi, jangan sekali-sekali memasuki ruang privat dan tetap jagalah kesopanan saat mencegat narasumber.
Kesembilan, jika narasumber adalah seorang pembicara. Jurnalis juga menyamar sebagai peserta dg membayar yg memiliki hak untuk bertanya.
Kesepuluh, jika narasumber utama tidak berhasil Anda dapatkan. Cari dan gunakanlah narasumber sekunder untuk menopang data dan informasi yang hendak Anda klarifikasi. Biasanya, narasumber sekunder ini termasuk keluarga, kerabat, rekan kerja, dan lain-lain. Akan tetapi, narasumber sekunder terkadang cukup kuat dalam memberikan informasi, tapi terkadang dia juga lemah. Tergantung kedekatan dan sejauh mana narasumber sekunder mengetahui dan mengenal narasumber primer (utama).
kesebelas, jika narasumber bersedia menemui Anda berpakaianlah yang sopan. Mungkin berpakaian sopan adalah salah satu elemen penting untuk menghargai narasumber. Bagaimana mungkin, anda dapat dihargai narasumber jika Anda tidak menghargainya dengan tidak berpakaian sopan.
Keduabelas, bertanyalah yang sopan hindari menghakimi narasumber. Sekalipun narasumber kita adalah orang yang diduga kuat tersangka dalam sebuah kasus. Tapi hindarilah pertanyaan-pertanyaan yang menghakimi. Karena pertama, anda bukanlah hakim yg memutuskan mana yg benar dan mana yang salah. Seorang jurnalis harus mengedepankan asas praduga tidak bersalah.
Ketiga belas, gunakanlah sedikit guyonan agar wawancara tidak berlangsung kaku. Biasanya wawancara yg berlangsung cair, bakal mengeluarkan informasi-informasi yang lebih banyak.
Keempat belas, jangan suka memotong pembicaraan. Memotong pembicaraan orang adalah hal yg tidak baik, karena anda tidak tengah melakukan talkshow yang waktunya sempit. Biarkanlah narasumber berbicara banyak. Jika memang dirasa terlalu melebar, cobalah kembalikan alur pembicaraan dengan sopan.
Kelima belas, pilih tempat yang netral. Jika Anda berhasil membujuk narasumber untuk bertemu dalam sebuah wawancara, jika materi yang akan ditanyakan sangat sensitif pilihlah tempat yang netral dan terbuka. Misalnya café di mall atau tempat terbuka lainnya. Hal ini dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, jika narasumber tidak senang dan marah terhadap materi yang ditanyakan.
Dalam setiap kasus tentu saja berbeda penanganannya. Dalam hal ini bergantung pada kreativitas seorang jurnalis untuk membuat strategi agar narasumber mau kita temui dan juga berbicara banyak sebagaimana yang diinginkan.
Yang pasti ada beberapa sikap yang harus dimiliki seorang jurnalis dalam melakukan tugas peliputan.
Pertama, jadikan profesi jurnalis sebagai panggilan hati. Banyak orang yang menjadikan profesi jurnalis hanya sebagai jembatan untuk meraih profesi tertentu. Misalnya, agar dekat dengan partai tertentu dan menjadi calon anggota DPR dari partai tersebut.
Kedua, jadilah pemberani. Seorang jurnalis sebenarnya juga sosok yang religius. Apapun agama Anda, pasti percaya bahwa yang maha kuat adalah Tuhan. Jika Anda memegang teguh seperti ini, maka siapapun, setinggi apapun posisinya, segarang apapun orangnya. Anda pasti memiliki keberanian melakukan wawancara.
Ketiga, bulatkan tekad. Seorang jurnalis harus memiliki tekad yang bulat. Jadi, tak ada cerita bahwa tak ada tugas yang tidak terselesaikan. Karena si jurnalis terus melakukan upaya dengan berbagai macam cara untuk menuntaskan misi yang diembannya.
Semisal, jika tidak ada kebulatan tekad. Si jurnalis pasti tidak akan mau jika diminta korlipnya untuk menongkrongi rumah M Nazarudin atau sebuah tempat yang diduga persembunyian Nazarudin.
Keempat, bersikap santunlah. Jurnalis bukanlah segerombolan preman yang garang dan menakutkan. Jangan mentang-mentang wartawan, Anda bisa bertindak seenaknya terhadap narasumber. Anda juga harus bisa menunjukkan bahwa seorang jurnalis adalah sosok yang santun dan menjaga etika dalam menjalankan tugasnya.
Bukannya menaiki kap mobil narasumber seperti yang terjadi pada kendaraan Nicky Astria atau menggedor mobil narasumber.
Kelima, bersabarlah. Seorang jurnalis harus memiliki tingkat kesabaran yang tinggi. Apalagi saat dituntut menunggu narasumber yang memiliki kesibukan yang seabreg atau pemeriksaan yang berlangsung lama.
Pada akhirnya tulisan di atas hanyalah teori-teori di atas kertas, sebagian berdasarkan pengalaman. Tapi, tentunya setiap pengalaman orang pasti berbeda-beda. Andalah penentu strategi di lapangan ada di tangan Ada.
Semoga berhasil!
*materi ini disampaikan dalam pelatihan jurnalistik reporter Okezone.com pada 17 Juni 2011.
Pembicara sebelumnya telah berbicara mengenai tekhnis reportase. Menyiapkan bagaimana untuk melakukan wawancara yang baik dan benar.
Lalu bagaimanakah jika dalam perjalannya seorang jurnalis menghadapi narasumber yang sulit untuk ditemui, apalagi dimintai komentarnya, bak menghadapi sebuah dinding yang kokoh dan juga tinggi.
Karena itu dibutuhkan strategi untuk menaklukkan tembok besar tersebut.
Pertama, kenali narasumber Anda. Jika Anda tidak mengenal dengan baik siapa yang akan wawancarai, bagaimana Anda bisa berkomunikasi dengan baik.
Misal, narasumber yang akan Anda temui adalah M Nazarudin. Carilah informasi siapa dia? Jabatannya di Partai Demokrat, jabatannya di Fraksi Partai Demokrat, jabatannya di DPR, selain di pemerintahan dia aktif di mana saja. LSM, organisasi kepemudaan, atau perusahaan.
Cari tahu juga mengenai sifatnya. Apakah dia orang yang arogan, pemarah, sombong, atau malah asyik dan mudah untuk diajak bicara apapun.
Hal ini terkadang perlu untuk diantisipasi, agar kita bisa mengukur pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada narasumber.
Kedua, perkenalkanlah diri anda kepada narasumber. Nama dan media Anda. Jelaskan secara lugas. Jika Anda berhasil mendapatkan nomor kontak M Nazarudin, hubungi dan perkenalkan diri Anda, media Anda.
Ketiga, sampaikan tujuan Anda mewawancarai dia? Apa topik wawancara Anda dan mengapa itu ditanyakan?. Jika perlu sampaikan kepada narasumber bahwa pernyataannya sangat penting dan ditunggu pembaca.
Keempat, sampaikan kepada narasumber kerugian yang bakal dia dapatkan jika tidak mau berkomentar. Informasi akan dimenangkan pihak lawan dan merugikan dirinya.
Kelima, jika tidak bersedia, mintalah narasumber untuk memberikan satu dua pernyataan. Misal “ya” atau “tidak”, “benar” atau “salah”.
Keenam, Jika sedari awal narasumber diketahui tidak suka dengan topik pembicaraan yang akan disampaikan. Cari tahu topik yang dia sukai, ini bisa dijadikan pintu masuk untuk isu yang ingin ditanyakan.
Ketujuh, Jika tetap tidak bisa. Tutup pembicaraan dengan sopan dan sampaikan mungkin di lain waktu bisa bekerjasama dengan baik.
Kedelapan, jika narasumber tidak mau jangan terus Anda menyerah. Masih banyak cara yang bisa Anda lakukan. Misalnya doorstop, Anda bisa mencegat narasumber di ruang-ruang publik. Saat dia ke luar rumah atau kantor. Tapi, jangan sekali-sekali memasuki ruang privat dan tetap jagalah kesopanan saat mencegat narasumber.
Kesembilan, jika narasumber adalah seorang pembicara. Jurnalis juga menyamar sebagai peserta dg membayar yg memiliki hak untuk bertanya.
Kesepuluh, jika narasumber utama tidak berhasil Anda dapatkan. Cari dan gunakanlah narasumber sekunder untuk menopang data dan informasi yang hendak Anda klarifikasi. Biasanya, narasumber sekunder ini termasuk keluarga, kerabat, rekan kerja, dan lain-lain. Akan tetapi, narasumber sekunder terkadang cukup kuat dalam memberikan informasi, tapi terkadang dia juga lemah. Tergantung kedekatan dan sejauh mana narasumber sekunder mengetahui dan mengenal narasumber primer (utama).
kesebelas, jika narasumber bersedia menemui Anda berpakaianlah yang sopan. Mungkin berpakaian sopan adalah salah satu elemen penting untuk menghargai narasumber. Bagaimana mungkin, anda dapat dihargai narasumber jika Anda tidak menghargainya dengan tidak berpakaian sopan.
Keduabelas, bertanyalah yang sopan hindari menghakimi narasumber. Sekalipun narasumber kita adalah orang yang diduga kuat tersangka dalam sebuah kasus. Tapi hindarilah pertanyaan-pertanyaan yang menghakimi. Karena pertama, anda bukanlah hakim yg memutuskan mana yg benar dan mana yang salah. Seorang jurnalis harus mengedepankan asas praduga tidak bersalah.
Ketiga belas, gunakanlah sedikit guyonan agar wawancara tidak berlangsung kaku. Biasanya wawancara yg berlangsung cair, bakal mengeluarkan informasi-informasi yang lebih banyak.
Keempat belas, jangan suka memotong pembicaraan. Memotong pembicaraan orang adalah hal yg tidak baik, karena anda tidak tengah melakukan talkshow yang waktunya sempit. Biarkanlah narasumber berbicara banyak. Jika memang dirasa terlalu melebar, cobalah kembalikan alur pembicaraan dengan sopan.
Kelima belas, pilih tempat yang netral. Jika Anda berhasil membujuk narasumber untuk bertemu dalam sebuah wawancara, jika materi yang akan ditanyakan sangat sensitif pilihlah tempat yang netral dan terbuka. Misalnya café di mall atau tempat terbuka lainnya. Hal ini dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, jika narasumber tidak senang dan marah terhadap materi yang ditanyakan.
Dalam setiap kasus tentu saja berbeda penanganannya. Dalam hal ini bergantung pada kreativitas seorang jurnalis untuk membuat strategi agar narasumber mau kita temui dan juga berbicara banyak sebagaimana yang diinginkan.
Yang pasti ada beberapa sikap yang harus dimiliki seorang jurnalis dalam melakukan tugas peliputan.
Pertama, jadikan profesi jurnalis sebagai panggilan hati. Banyak orang yang menjadikan profesi jurnalis hanya sebagai jembatan untuk meraih profesi tertentu. Misalnya, agar dekat dengan partai tertentu dan menjadi calon anggota DPR dari partai tersebut.
Kedua, jadilah pemberani. Seorang jurnalis sebenarnya juga sosok yang religius. Apapun agama Anda, pasti percaya bahwa yang maha kuat adalah Tuhan. Jika Anda memegang teguh seperti ini, maka siapapun, setinggi apapun posisinya, segarang apapun orangnya. Anda pasti memiliki keberanian melakukan wawancara.
Ketiga, bulatkan tekad. Seorang jurnalis harus memiliki tekad yang bulat. Jadi, tak ada cerita bahwa tak ada tugas yang tidak terselesaikan. Karena si jurnalis terus melakukan upaya dengan berbagai macam cara untuk menuntaskan misi yang diembannya.
Semisal, jika tidak ada kebulatan tekad. Si jurnalis pasti tidak akan mau jika diminta korlipnya untuk menongkrongi rumah M Nazarudin atau sebuah tempat yang diduga persembunyian Nazarudin.
Keempat, bersikap santunlah. Jurnalis bukanlah segerombolan preman yang garang dan menakutkan. Jangan mentang-mentang wartawan, Anda bisa bertindak seenaknya terhadap narasumber. Anda juga harus bisa menunjukkan bahwa seorang jurnalis adalah sosok yang santun dan menjaga etika dalam menjalankan tugasnya.
Bukannya menaiki kap mobil narasumber seperti yang terjadi pada kendaraan Nicky Astria atau menggedor mobil narasumber.
Kelima, bersabarlah. Seorang jurnalis harus memiliki tingkat kesabaran yang tinggi. Apalagi saat dituntut menunggu narasumber yang memiliki kesibukan yang seabreg atau pemeriksaan yang berlangsung lama.
Pada akhirnya tulisan di atas hanyalah teori-teori di atas kertas, sebagian berdasarkan pengalaman. Tapi, tentunya setiap pengalaman orang pasti berbeda-beda. Andalah penentu strategi di lapangan ada di tangan Ada.
Semoga berhasil!
*materi ini disampaikan dalam pelatihan jurnalistik reporter Okezone.com pada 17 Juni 2011.
Mencurigai Kursi Haram di DPR
Jum'at, 17 Juni 2011 - 13:22 wib
*diterbitkan di okezone.com
Nila setitik rusak susu sebelanga. Peribahasa ini cocok menggambarkan pemalsuan surat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sengketa pemilu di daerah pemilihan Sulawesi Selatan antara Dewi Yasin Limpo dari Hanura dengan Mestariani Habie dari Gerindra.
MK memutuskan kursi jatuh kepada Mestariani Habie pada tanggal 17 Agustus 2009. Akan tetapi, KPU malah memutuskan kursi jatuh kepada Dewi Yasin Limpo, berdasar keputusan KPU tanggal 14, yang diduga adalah palsu.
Dengan adanya dugaan pemalsuan ini, para politisi Senayan patut curiga kepada Andi Nurpati. Karena kini, setelah keluar dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi dapat jabatan sebagai Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi Publik di DPP Partai Demokrat.
Sekalipun surat MK yang dipalsukan tersebut tidak berkaitan dengan caleg dari Partai Demokrat, tapi tetap saja politisi Senayan gerah dengan peristiwa ini dan menduga ada konspirasi lebih besar terkunci di kotak pandora. Mungkin mereka curiga ada permainan Andi Nurpati terhadap kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009 lalu.
Karena itulah Panja Mafia Pemilu kini tengah diwacanakan di Komisi II DPR untuk dibentuk, guna menyusut dan mencari tahu apa saja dugaan kecurangan yang dilakukan Andi Nurpati. Mereka berharap Panja ini mampu menjadi kunci untuk membuka kotak Pandora.
Berkaca ke belakang, Partai Demokrat merupakan partai tengah yang penuh kejutan. Karena baru ikut pemilu tahun 2004 lalu langsung mencelat pada ke posisi kelima dengan memperoleh 7,45 persen atau 8.455.225 suara. Dengan bekal ini Partai berlambang mercy ini mendapatkan 57 kursi di DPR.
Dengan perolehan suara ini, Partai Demokrat bersama koalisinya berhasil menghantarkan SBY sebagai presiden pertama yang dipilih secara langsung. Lima tahun kemudian, berbeda dengan dua partai besar seperti Partai Golkar dan PDI Perjuangan yang terus menurun suaranya. Partai Demokrat justru melesat 100 persen lebih pada Pemilu 2009.
Pada pemilu ini, Demokrat langsung menyalip ke posisi pertama, mengangkangi Partai Golkar , PDI Perjuangan, dan Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Partai Demokrat berhasil mendapat 20,4 persen atau 21 juta suara . Suara ini naik 100 persen lebih dari pemilu 2004. Begitu juga dengan kursi yang mereka dapatkan di DPR, jika pada Pemilu 2004 hanya 57 kursi, kali ini mereka mendapat 150 kursi atau 26,4 persen.
Bisa saja latar belakang ini menjadi kecurigaan para politisi di Senayan terhadap Partai Demokrat. Apalagi mengingat dua anggota KPU pada pemilu 2004 dan 2009, kini menjadi orang penting di DPP Partai Demokrat. Yaitu Anang Urbaningrum, dulu anggota KPU 2004 kini Ketua Umum Partai Demokrat. Begitu juga Andi Nurpati.
Jika dugaan kecurangan ini benar adanya maka bisa menjadi malapetaka politik yang dahsyat bagi negeri ini. Karena suara dan aspirasi jutaan pemilih telah dikelabui oleh segelintir orang yang notabene adalah wasit permainan (KPU). Jika benar, para politisi dan juga penegak hukum telah kecolongan.
Ke depan sudah seharusnya wasit pemilu yang berlangsung lima tahunan ini harus lebih ketat lagi mengawasi tingkah polah para wasit. Agar dugaan kecurangan, manipulasi tidak terjadi lagi.
Isu ini juga menjadi tantangan besar yang harus dituntaskan Partai Demokrat, selain kasus M Nazarudin. Mereka harus membuktikan bahwa suara dan kursi yang mereka dapatkan dilakukan secara murni, bukan dengan manipulasi. Karenanya, terbukalah kepada masyarakat. Hanya itu caranya untuk mengembalikan kebenaran.
Apakah Demokrat siap menjawab tantangan ini?
*diterbitkan di okezone.com
Nila setitik rusak susu sebelanga. Peribahasa ini cocok menggambarkan pemalsuan surat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sengketa pemilu di daerah pemilihan Sulawesi Selatan antara Dewi Yasin Limpo dari Hanura dengan Mestariani Habie dari Gerindra.
MK memutuskan kursi jatuh kepada Mestariani Habie pada tanggal 17 Agustus 2009. Akan tetapi, KPU malah memutuskan kursi jatuh kepada Dewi Yasin Limpo, berdasar keputusan KPU tanggal 14, yang diduga adalah palsu.
Dengan adanya dugaan pemalsuan ini, para politisi Senayan patut curiga kepada Andi Nurpati. Karena kini, setelah keluar dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi dapat jabatan sebagai Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi Publik di DPP Partai Demokrat.
Sekalipun surat MK yang dipalsukan tersebut tidak berkaitan dengan caleg dari Partai Demokrat, tapi tetap saja politisi Senayan gerah dengan peristiwa ini dan menduga ada konspirasi lebih besar terkunci di kotak pandora. Mungkin mereka curiga ada permainan Andi Nurpati terhadap kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009 lalu.
Karena itulah Panja Mafia Pemilu kini tengah diwacanakan di Komisi II DPR untuk dibentuk, guna menyusut dan mencari tahu apa saja dugaan kecurangan yang dilakukan Andi Nurpati. Mereka berharap Panja ini mampu menjadi kunci untuk membuka kotak Pandora.
Berkaca ke belakang, Partai Demokrat merupakan partai tengah yang penuh kejutan. Karena baru ikut pemilu tahun 2004 lalu langsung mencelat pada ke posisi kelima dengan memperoleh 7,45 persen atau 8.455.225 suara. Dengan bekal ini Partai berlambang mercy ini mendapatkan 57 kursi di DPR.
Dengan perolehan suara ini, Partai Demokrat bersama koalisinya berhasil menghantarkan SBY sebagai presiden pertama yang dipilih secara langsung. Lima tahun kemudian, berbeda dengan dua partai besar seperti Partai Golkar dan PDI Perjuangan yang terus menurun suaranya. Partai Demokrat justru melesat 100 persen lebih pada Pemilu 2009.
Pada pemilu ini, Demokrat langsung menyalip ke posisi pertama, mengangkangi Partai Golkar , PDI Perjuangan, dan Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Partai Demokrat berhasil mendapat 20,4 persen atau 21 juta suara . Suara ini naik 100 persen lebih dari pemilu 2004. Begitu juga dengan kursi yang mereka dapatkan di DPR, jika pada Pemilu 2004 hanya 57 kursi, kali ini mereka mendapat 150 kursi atau 26,4 persen.
Bisa saja latar belakang ini menjadi kecurigaan para politisi di Senayan terhadap Partai Demokrat. Apalagi mengingat dua anggota KPU pada pemilu 2004 dan 2009, kini menjadi orang penting di DPP Partai Demokrat. Yaitu Anang Urbaningrum, dulu anggota KPU 2004 kini Ketua Umum Partai Demokrat. Begitu juga Andi Nurpati.
Jika dugaan kecurangan ini benar adanya maka bisa menjadi malapetaka politik yang dahsyat bagi negeri ini. Karena suara dan aspirasi jutaan pemilih telah dikelabui oleh segelintir orang yang notabene adalah wasit permainan (KPU). Jika benar, para politisi dan juga penegak hukum telah kecolongan.
Ke depan sudah seharusnya wasit pemilu yang berlangsung lima tahunan ini harus lebih ketat lagi mengawasi tingkah polah para wasit. Agar dugaan kecurangan, manipulasi tidak terjadi lagi.
Isu ini juga menjadi tantangan besar yang harus dituntaskan Partai Demokrat, selain kasus M Nazarudin. Mereka harus membuktikan bahwa suara dan kursi yang mereka dapatkan dilakukan secara murni, bukan dengan manipulasi. Karenanya, terbukalah kepada masyarakat. Hanya itu caranya untuk mengembalikan kebenaran.
Apakah Demokrat siap menjawab tantangan ini?
Kamis, 09 Juni 2011
Menguji (lagi) Dinasti Soeharto
Jum'at, 10 Juni 2011 - 11:46 wib
*diterbitkan di okezone.com
BARU-baru ini Partai Nasional Republik mendaftarkan diri ke Kementerian Hukum dan HAM sebagai calon peserta pemilu 2014. Sepintas tidak ada yang menarik, terkecuali nama Dewan Pembina partai tersebut tertera nama Tommy Soeharto.
Memang, Ketua Dewan Pendiri PNR, Neneng A Tuty, mengakui 990 pendiri partai ini mendapuk Tommy Soeharto sebagai daya tarik partai. Mereka berhasil, setidaknya menjadi daya tarik bagi media massa untuk mengetahuinya. Belum tentu pemilih.
Desas-desus Tommy bakal mendirikan partai sebenarnya sudah terdengar sejak jauh-jauh hari. Sejak dia terjegal persyaratan sebagai calon ketua umum partai Golkar pada September 2009 lalu. Sejak saat itu sudah berhembus kabar, Tommy akan membuat ‘sekoci baru’.
Tak hanya Tommy, putri sulung mantan Presiden Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut sebenarnya juga pernah membesut Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang ikut bertarung dalam pemilu 2004 dan 2009 lalu.
Sayangnya, Tutut gagal dalam melanjutkan warisan Soeharto yang berhasil menjadikan Partai Golkar selalu menjadi partai pemenang pemilu selama orde baru.
Pada pemilu 2004, PKPB memperoleh 2.399.290 atau 2,1 persen suara. Saat itu posisi partainya berada di peringkat 11, posisi pertama ditempati Partai Golkar disusul PDIP. Meskipun keduanya posisi pertama, suara kedua partai ini menurun cukup lumayan ketimbang pemilu 1999.
Pada pemilu selanjutnya, perolehan suara PKPB juga menurun 1.461.182 atau 1,4 persen suara dan turun menjadi peringkat ke-12. Pada pemilu ini, Golkar dan PDIP disalip Partai Demokrat di posisi pertama.
Kedua hasil pemilu ini merupakan pesan dari rakyat secara langsung, bahwa mereka tidak menginginkan kembalinya dinasti Soeharto ke tampuk kekuasaan. Uniknya, hasil kedua pemilu ini tidak berbanding lurus dengan hasil survei yang dilakukan Indobarometer berdekatan dengan kemunculan Partai Republik Nasional.
Lembaga survei yang dipimpin Muhammad Qodari ini mengungkapkan, masyarakat lebih mencintai Soeharto ketimbang pemimpin pascareformasi. Soeharto mendapat dukungan 36.5 persen, SBY 20,9 persen, Soekarno 9,8 persen, Megawati 9,2 persen, Habibie 4,4 persen, dan Gus Dur 4,3 persen.
Disebutkan juga, 40,9 persen dari 1.200 responden menilai orde baru lebih baik ketimbang masa reformasi. Hanya 22,8 persen yang menilai masa reformasi lebih baik.
Entah mana yang benar, apakah hasil survei yang melibatkan 1.200 orang atau hasil Pemilu 2004 dan 2009 yang melibatkan 220 jutaan rakyat di bilik suara. Tak ada yang salah memang jika keluarga Soeharto ikut bertarung lagi dalam Pemilu 2014. Karena setiap masyarakat memiliki hak untuk dipilih dan dipilih. Tapi, tak ada salahnya juga untuk membaca dua pesan masyarakat dari dua pemilu sebelumnya. Semoga saja, pesan dari rakyat selanjutnya dapat dibaca dengan baik dan tidak disesatkan beberapa pihak yang mungkin saja memanfaatkan keluarga Soeharto demi keuntungan sesaat.
*diterbitkan di okezone.com
BARU-baru ini Partai Nasional Republik mendaftarkan diri ke Kementerian Hukum dan HAM sebagai calon peserta pemilu 2014. Sepintas tidak ada yang menarik, terkecuali nama Dewan Pembina partai tersebut tertera nama Tommy Soeharto.
Memang, Ketua Dewan Pendiri PNR, Neneng A Tuty, mengakui 990 pendiri partai ini mendapuk Tommy Soeharto sebagai daya tarik partai. Mereka berhasil, setidaknya menjadi daya tarik bagi media massa untuk mengetahuinya. Belum tentu pemilih.
Desas-desus Tommy bakal mendirikan partai sebenarnya sudah terdengar sejak jauh-jauh hari. Sejak dia terjegal persyaratan sebagai calon ketua umum partai Golkar pada September 2009 lalu. Sejak saat itu sudah berhembus kabar, Tommy akan membuat ‘sekoci baru’.
Tak hanya Tommy, putri sulung mantan Presiden Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut sebenarnya juga pernah membesut Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang ikut bertarung dalam pemilu 2004 dan 2009 lalu.
Sayangnya, Tutut gagal dalam melanjutkan warisan Soeharto yang berhasil menjadikan Partai Golkar selalu menjadi partai pemenang pemilu selama orde baru.
Pada pemilu 2004, PKPB memperoleh 2.399.290 atau 2,1 persen suara. Saat itu posisi partainya berada di peringkat 11, posisi pertama ditempati Partai Golkar disusul PDIP. Meskipun keduanya posisi pertama, suara kedua partai ini menurun cukup lumayan ketimbang pemilu 1999.
Pada pemilu selanjutnya, perolehan suara PKPB juga menurun 1.461.182 atau 1,4 persen suara dan turun menjadi peringkat ke-12. Pada pemilu ini, Golkar dan PDIP disalip Partai Demokrat di posisi pertama.
Kedua hasil pemilu ini merupakan pesan dari rakyat secara langsung, bahwa mereka tidak menginginkan kembalinya dinasti Soeharto ke tampuk kekuasaan. Uniknya, hasil kedua pemilu ini tidak berbanding lurus dengan hasil survei yang dilakukan Indobarometer berdekatan dengan kemunculan Partai Republik Nasional.
Lembaga survei yang dipimpin Muhammad Qodari ini mengungkapkan, masyarakat lebih mencintai Soeharto ketimbang pemimpin pascareformasi. Soeharto mendapat dukungan 36.5 persen, SBY 20,9 persen, Soekarno 9,8 persen, Megawati 9,2 persen, Habibie 4,4 persen, dan Gus Dur 4,3 persen.
Disebutkan juga, 40,9 persen dari 1.200 responden menilai orde baru lebih baik ketimbang masa reformasi. Hanya 22,8 persen yang menilai masa reformasi lebih baik.
Entah mana yang benar, apakah hasil survei yang melibatkan 1.200 orang atau hasil Pemilu 2004 dan 2009 yang melibatkan 220 jutaan rakyat di bilik suara. Tak ada yang salah memang jika keluarga Soeharto ikut bertarung lagi dalam Pemilu 2014. Karena setiap masyarakat memiliki hak untuk dipilih dan dipilih. Tapi, tak ada salahnya juga untuk membaca dua pesan masyarakat dari dua pemilu sebelumnya. Semoga saja, pesan dari rakyat selanjutnya dapat dibaca dengan baik dan tidak disesatkan beberapa pihak yang mungkin saja memanfaatkan keluarga Soeharto demi keuntungan sesaat.
Kamis, 28 April 2011
Teroris dari Gang Pesanggrahan
Syukri Rahmatullah
Kamis 28 April 2011.
Di tengah perjalanan pulang kantor ponsel saya bergetar, ternyata di salah satu forum BB mengabarkan ‘polisi tangkap sutradara film aceh, diduga teroris’. Mendapat info ini, saya pantulkan ke email kantor agar ditindaklanjuti.
Sepintas tak ada yang aneh dari informasi itu, saya menganggapnya hal biasa yang sama seperti informasi lainnya yang datang mengabarkan sebuah kejadian. Ternyata keesokan harinya, sutradara tersebut adalah otak pelaku bom buku yang dikirim ke kantor Ulil, Yapto, dan Ahmad Dhani.
Yang mengejutkan pelaku berinisial ‘P’ itu kabarnya adalah alumni mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN), tempat saya pernah menimba ilmu selama empat tahun.
Dari sini saya masih bersikap biasa, karena sebelumnya pernah ada penggerebekan di salah satu kos-kosan mahasiswa yang ternyata dihuni teroris, kasus ini juga melibatkan alumni Universitas Islam Negeri (UIN).
Yang lebih mengejutkan ternyata pria berinisial ‘P’ ini bernama Pepi dan dia ternyata adalah orang yang pernah kongkow dengan saya dan kawan-kawan di Gang Pesanggrahan, samping kampus UIN.
Pepi hanya salah satu dari banyak orang yang mungkin berbeda dengan kami -aktivis gerakan UIN- tapi tetap saja berteman dan kongkow. Seingat saya, Pepi bukanlah aktivis, dia tidak pernah terlibat dalam gerakan mahasiswa,
Kejutan belum selesai, Pepi ternyata adalah pemimpin dari 19 orang lainnya yang berhasil dia pengaruhi untuk membuat dan menyebarkan bom buku. Ternyata ada beberapa lagi alumni UIN yang terlibat, sebut saja Muhammad Maulana Sani alias Maulana alias Alan. Dia pernah kuliah di jurusan sastra Arab UIN Syahid Jakarta.
Ada lagi Hendi Suhartono alias Tono alias Zokaw. Dia S1 fakultas filsafat Ushuludin UIN. Ada juga Muhammad Fadil, dia juga satu jurusan dengan Tono alias Jokaw.
Selain alumni UIN ada juga yang bukan jebolan kampus atau hanya lulusan SMA yang terlibat, seperti Mohammad Syarif alias Aip alias Culik.
Saya kurang hapal benar dengan Pepi. Mungkin jika melihat wajahnya akan mengingat kembali dia adalah orang yang pernah nongkrong di Jalan Pesanggrahan. Tapi, ada beberapa nama yang saya ingat dan masih hapal wajahnya.
Misalnya M Maulana yang biasanya kami panggil Alan. Jika benar dia adalah angkatan 1997 dan pernah ngekos di lantai 2 persis dekat samping pintu kampus, dia adalah Alan yang kami kenal.
Beberapa teman yang sama-sama sering kongkow juga mengenal Jokaw. Tapi, jujur saya lupa wajahnya, sama seperti Pepi. Mungkin jika melihatnya saya akan mengenalnya.
Ada satu lagi yang saya kenal dan ini sudah pasti dia. Dia adalah Muhammad Syarif alias Aip. Kami biasa memanggilnya Culik. Dia adalah warga yang tempat tinggalnya berdekatan dengan kampus. Melalui tongkrongan saya sempat mengenal dia, bahkan dia pernah mengikuti beberapa aksi demontrasi yang pernah kami lakukan di luar kampus sebagai massa cair.
Sampai sekarang saya seolah tak percaya jika mereka benar-benar terlibat dalam kasus terorisme. Karena, mereka bukan berasal dari kelompok organisasi rohis kampus seperti KAMMI atau dekat dengan kelompok pengajian masjid atau kelompok kecil lainnya.
Mereka, dulunya, adalah orang-orang abangan, anak tongkrongan, yang sering menghabiskan waktu dengan minum di malam hari, dan lain-lain yang jauh dari
aktivitas keagamaan. Jadi jujur saya heran.
Dari peristiwa ini saya mendapatkan dua kesimpulan. Pertama, keyakinan seseorang bisa saja mudah berubah. Dari yang tadinya disebut ‘anak nakal’ malah sekarang berjihad. Tergantung ruang (kondisi sekitar dia) dan juga waktu.
Kedua, jangan pernah merasa benar-benar mengenali dengan baik sekeliling Anda. Bisa jadi dia teman Anda sekarang, tapi kemudian berubah menjadi orang yang tidak Anda kenal sama sekali.
Yang pasti jagalah diri Anda da keluarga dari serbuan ‘pengaruh’ kelompok Islam keblinger. Yang mengaku mengenal Tuhan padahal mereka jauh dari Tuhan. Semoga Allah memberikan mereka hidayah…amien.
Kamis 28 April 2011.
Di tengah perjalanan pulang kantor ponsel saya bergetar, ternyata di salah satu forum BB mengabarkan ‘polisi tangkap sutradara film aceh, diduga teroris’. Mendapat info ini, saya pantulkan ke email kantor agar ditindaklanjuti.
Sepintas tak ada yang aneh dari informasi itu, saya menganggapnya hal biasa yang sama seperti informasi lainnya yang datang mengabarkan sebuah kejadian. Ternyata keesokan harinya, sutradara tersebut adalah otak pelaku bom buku yang dikirim ke kantor Ulil, Yapto, dan Ahmad Dhani.
Yang mengejutkan pelaku berinisial ‘P’ itu kabarnya adalah alumni mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN), tempat saya pernah menimba ilmu selama empat tahun.
Dari sini saya masih bersikap biasa, karena sebelumnya pernah ada penggerebekan di salah satu kos-kosan mahasiswa yang ternyata dihuni teroris, kasus ini juga melibatkan alumni Universitas Islam Negeri (UIN).
Yang lebih mengejutkan ternyata pria berinisial ‘P’ ini bernama Pepi dan dia ternyata adalah orang yang pernah kongkow dengan saya dan kawan-kawan di Gang Pesanggrahan, samping kampus UIN.
Pepi hanya salah satu dari banyak orang yang mungkin berbeda dengan kami -aktivis gerakan UIN- tapi tetap saja berteman dan kongkow. Seingat saya, Pepi bukanlah aktivis, dia tidak pernah terlibat dalam gerakan mahasiswa,
Kejutan belum selesai, Pepi ternyata adalah pemimpin dari 19 orang lainnya yang berhasil dia pengaruhi untuk membuat dan menyebarkan bom buku. Ternyata ada beberapa lagi alumni UIN yang terlibat, sebut saja Muhammad Maulana Sani alias Maulana alias Alan. Dia pernah kuliah di jurusan sastra Arab UIN Syahid Jakarta.
Ada lagi Hendi Suhartono alias Tono alias Zokaw. Dia S1 fakultas filsafat Ushuludin UIN. Ada juga Muhammad Fadil, dia juga satu jurusan dengan Tono alias Jokaw.
Selain alumni UIN ada juga yang bukan jebolan kampus atau hanya lulusan SMA yang terlibat, seperti Mohammad Syarif alias Aip alias Culik.
Saya kurang hapal benar dengan Pepi. Mungkin jika melihat wajahnya akan mengingat kembali dia adalah orang yang pernah nongkrong di Jalan Pesanggrahan. Tapi, ada beberapa nama yang saya ingat dan masih hapal wajahnya.
Misalnya M Maulana yang biasanya kami panggil Alan. Jika benar dia adalah angkatan 1997 dan pernah ngekos di lantai 2 persis dekat samping pintu kampus, dia adalah Alan yang kami kenal.
Beberapa teman yang sama-sama sering kongkow juga mengenal Jokaw. Tapi, jujur saya lupa wajahnya, sama seperti Pepi. Mungkin jika melihatnya saya akan mengenalnya.
Ada satu lagi yang saya kenal dan ini sudah pasti dia. Dia adalah Muhammad Syarif alias Aip. Kami biasa memanggilnya Culik. Dia adalah warga yang tempat tinggalnya berdekatan dengan kampus. Melalui tongkrongan saya sempat mengenal dia, bahkan dia pernah mengikuti beberapa aksi demontrasi yang pernah kami lakukan di luar kampus sebagai massa cair.
Sampai sekarang saya seolah tak percaya jika mereka benar-benar terlibat dalam kasus terorisme. Karena, mereka bukan berasal dari kelompok organisasi rohis kampus seperti KAMMI atau dekat dengan kelompok pengajian masjid atau kelompok kecil lainnya.
Mereka, dulunya, adalah orang-orang abangan, anak tongkrongan, yang sering menghabiskan waktu dengan minum di malam hari, dan lain-lain yang jauh dari
aktivitas keagamaan. Jadi jujur saya heran.
Dari peristiwa ini saya mendapatkan dua kesimpulan. Pertama, keyakinan seseorang bisa saja mudah berubah. Dari yang tadinya disebut ‘anak nakal’ malah sekarang berjihad. Tergantung ruang (kondisi sekitar dia) dan juga waktu.
Kedua, jangan pernah merasa benar-benar mengenali dengan baik sekeliling Anda. Bisa jadi dia teman Anda sekarang, tapi kemudian berubah menjadi orang yang tidak Anda kenal sama sekali.
Yang pasti jagalah diri Anda da keluarga dari serbuan ‘pengaruh’ kelompok Islam keblinger. Yang mengaku mengenal Tuhan padahal mereka jauh dari Tuhan. Semoga Allah memberikan mereka hidayah…amien.
Menguji Ketajaman Pedang Keadilan
Syukri Rahmatullah
Kamis, 28 April 2011 - 11:49 wib
LEMBAGA peradilan kembali diuji. Kali ini dalam kasus mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar. Apakah pedang hukum mampu menunjukkan keadilan atau justru sebaliknya.
Kasus Antasari Azhar belakangan ini kembali disorot setelah adanya surat kaleng yang datang kepada kuasa hukum terpidana penembakan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, Daniel Daen Sabon, yaitu Mbalembout.
Mbalembout mengaku menerima surat tersebut pada 17 April lalu. Surat yang diketik itu dikirimkan melalui pos. Apakah surat kaleng ini benar?
Memang surat kaleng ini tidak bisa dijadikan bukti hukum bahwa kasus ini merupakan konspirasi segelintir elit yang ingin ‘menendang’ Antasari dari KPK.
Tapi pengakuan ini bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya, mantan Kapolres Jakarta Selatan, Komisaris Besar Polisi Williardi Wizard membuat pengakuan mengejutkan di pengadilan. Dia mengaku adanya rekayasan berita acara pemeriksaan yang dilakukan petinggi Polri dalam kasus ini.
Williardi mengungkap, seorang penyidik memintanya merekayasan BAP agar menyudutkan Antasari Azhar. Dia diiming-imingi akan dibebaskan dari kasus ini. Karena janji tak dipenuhi, Williardi pun membongkar rekayasa tersebut dan mencabut BAP yang telah dia lakukan.
Rekayasa berita acara pemeriksaan, memaksakan seseorang menjadi tersangka, atau salah tangkap bukan hal baru di negeri ini. Masih ingat kasus Imam Chambali alias Kemat di Jombang tahun 2008 lalu?.
Saat itu, Kemat bersama David Eko Priyanto, dan Mamat Sugianto alias Sugik ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan seorang pria bernama Asrori alias Aldo di Kebun Tebu Dusun Braan Desa Kedungmulyo, Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Jombang, 24 September lalu.
Korban yang tidak dikenal ketiganya ini dibunuh di sebuah rumah kosong lalu dibawa ke kebun tebu untuk dibakar dengan pelumas mobil. Tak tahan disiksa di dalam penjara, Kemat dan David akhirnya terpaksa mengakui. Sedangkan Sugik menolak mengaku dan terus dipukuli. Kemat pun divonis 17 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jombang Jawa Timur.
Belakangan polisi ternyata salah identifikasi, ternyata mayat tersebut bukanlah Asrori, melainkan Fauzin Suyanto. Fauzin merupakan korban pembunuhan yang dilakukan Ryan, seorang gay dari Jombang yang ditangkap karena membunuh pacar sesama jenis di Depok, Jawa Barat.
Kasus salah hukum juga pernah dialami Sengkon dan Karta pada tahun 1970-an. Keduanya ditangkap dan menjalani hukuman bertahun-tahun karena sebuah kejahatan yang tak dilakukannya.
Keduanya malah bertemu pembunuh asli Sulaiman dan Siti Haya, yaitu Gunel. Dia ditangkap dan dipenjara karena kasus lain. Karena kasihan melihat Sengkon sekarat dan hampir meninggal dunia di LP Cipinang, akhirnya Gunel pun mengaku jujur bahwa dia lah pembunuh sebenarnya.
Dalam hal ini penulis tidak bermaksud menyamakan bahwa kasus Antasari Azhar sama dengan kasus Kemat dan Sengkon-Karta. Tetapi, dalam kasus Antasari Azhar ini penegak hukum kembali diuji, apakah mampu menegakkan keadilan atau hanya menjadi kepanjangan tangan dari pelaku konspirasi yang sengaja menjerat seseorang agar masuk ke dalam penjara.
Setidaknya pengakuan Williardi patut menjadi perhatian bahwa kepolisian kita masih memaksakan kehendaknya dengan melakukan rekayasa berita acara pemeriksaan. Jika praktek seperti ini masih terus berlangsung, maka keadilan yang seharusnya bisa tercipta melalui lembaga hukum sangat mustahil diharap.
Kasus Antasari Azhar ini merupakan tantangan berat bagi lembaga peradilan untuk membuktikan jika memang benar masih ada keadilan di negeri ini.
*http://suar.okezone.com/read/2011/04/28/59/450898/menguji-ketajaman-pedang-keadilan
Berantas Gerakan Cuci Otak NII KW9
Syukri Rahmatullah
Rabu, 20 April 2011 - 13:55 wib
PENCULIKAN yang marak kembali terjadi di Tanah Air disinyalir dilakukan kelompok Negara Islam Indonesia (NII) KW9.
Setidaknya ada dua peristiwa penculikan yang menunjukkan pola yang sama dan mengarah kepada aktivitas NII KW9. Yaitu penculikan terhadap sembilan orang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan penculikan terhadap pegawai perempuan dari Kementerian Perhubungan bernama Lian Febriarni.
Fenomena penculikan orang untuk dicuci otaknya agar ikut kepada gerakan mereka ini sudah terjadi sejak tahun 1990-an. Akan tetapi, sampai saat ini gerakan cuci otak tersebut masih terjadi.
Gerakan cuci otak yang dilakukan NII KW9 ini memang terbilang unik. Pola hit and run yang mereka lakukan tak hanya menyulitkan orangtua korban dalam proses pencarian anak mereka yang berhasil direkrut aktivis NII KW9.
Dari beberapa mantan korban ‘penculikan’ yang sempat berbincang dengan penulis, ada beberapa kesimpulan mengenai pola yang dilakukan aktivis NII KW9 ini adalah mengincar korbannya. Pertama, yang diincar mereka adalah orang yang dalam usia labil. Makanya yang banyak diculik adalah dari kalangan sekolah menengah atas dan mahasiswa yang masih dalam proses pencarian jati diri.
Kedua, mereka mengincar orang yang tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup. Atau sekalipun pernah mengenyam pendidikan agama, tidak teguh dalam bersikap.
Makanya, dalam proses merekrut korban. Aktivis NII juga melihat terlebih dahulu kapasitas korban dalam pengetahuan agamanya. Jika korban diajak diskusi soal agama dan tidak kritis atau ngeyel, maka ini adalah calon potensial untuk menjadi target mereka.
Di awal pertemuan, biasanya aktivis NII ini tampil dengan penampilan yang perlente, jauh dari kesan agamis yang berjubah dan berjenggot tebal. Akan tetapi, mereka memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengagitasi korbannya dengan sejumlah dalil-dalil alquran untuk membenarkan argument mereka.
Setelah korban masuk dalam kategori potensial, barulah aktivis NII KW9 tersebut membawa mereka ke dalam lingkungan pertama mereka untuk mendapat doktrin lebih lanjut. Salah satu kawan saya mengaku pernah dibawa ke dalam suatu rumah dan di sana dia mendapatkan doktrin setiap saat dan diharuskan membaca buku-buku mereka. Dia tidak diperbolehkan pulang.
Dalam fase ini, ada juga yang berhasil kabur dan mengalami syok. Karena tidak kuat dengan doktrin dan keharusan membaca buku yang membenarkan argumentasi mereka itu.
Biasanya yang berhasil kabur itu, akan terus dikejar dengan dihubungi ataupun didatangi rumah atau tempat tinggalnya. Jika tidak berhasil dibawa kembali, biasanya aktivis NII ini akan berpindah tempat mencari tempat tinggal baru untuk menghilangkan jejak jika si korban membocorkan lokasi tempat mereka.
Menelusuri NII ini tidaklah mudah, karena mereka tergolong ketat dalam menyeleksi kadernya. Ada banyak fase, sehingga korban yang baru saja berhasil masuk ke dalam kelompok mereka tidak mudah dapat bertemu dengan pemimpin NII KW9 regional apalagi di tingkat pusat.
Melihat tipologi di atas sebenarnya yang menjadi pokok utama adalah mengenai penyesatan pembelajaran agama. Karenanya, saat ini sangat penting untuk mengenal latar belakang guru ngaji atau ustaz yang mengajar agama. Di mana dia menimba ilmu agama dan seperti apa tempat dia menimba ilmu.
Kemudian, yang penting juga adalah pendampingan keluarga. Karena, kebanyakan yang terjadi adalah keluarga kurang mendampingi korban dalam proses pembelajaran agama. Sehingga, ketika doktrin agama yang menyesatkan masuk sangat sulit untuk ditanggulangi.
Hal ini sebagaimana terjadi kepada pelaku pengeboman di Cirebon yaitu M Syarif. Orangtuanya, Abdul Ghofur mengaku anaknya berubah setelah mengikuti salah satu pengajian. Dalam sebuah kesempatan, M Syafir mengkafirkan ayahnya dalam berdiskusi soal agama.
Selain dua pencegahan di atas. Yang lebih penting adalah tindakan dari pemerintah melalui aparat keamanan. Aparat keamanan seharusnya lebih sikap dalam menyikapi pergerakan NII KW9 ini. Karena gerakan ini sudah terjadi di Indonesia sejak dua dasawarsa lalu dan korbannya juga cukup banyak.
Sudah sepatutnya NII KW9 ini menjadi target operasi intelijen Tanah Air. Karena kelompok ini dapat mengancam kedaulatan negara. Jangan menunggu penculikan lagi terjadi!
Rabu, 20 April 2011 - 13:55 wib
PENCULIKAN yang marak kembali terjadi di Tanah Air disinyalir dilakukan kelompok Negara Islam Indonesia (NII) KW9.
Setidaknya ada dua peristiwa penculikan yang menunjukkan pola yang sama dan mengarah kepada aktivitas NII KW9. Yaitu penculikan terhadap sembilan orang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan penculikan terhadap pegawai perempuan dari Kementerian Perhubungan bernama Lian Febriarni.
Fenomena penculikan orang untuk dicuci otaknya agar ikut kepada gerakan mereka ini sudah terjadi sejak tahun 1990-an. Akan tetapi, sampai saat ini gerakan cuci otak tersebut masih terjadi.
Gerakan cuci otak yang dilakukan NII KW9 ini memang terbilang unik. Pola hit and run yang mereka lakukan tak hanya menyulitkan orangtua korban dalam proses pencarian anak mereka yang berhasil direkrut aktivis NII KW9.
Dari beberapa mantan korban ‘penculikan’ yang sempat berbincang dengan penulis, ada beberapa kesimpulan mengenai pola yang dilakukan aktivis NII KW9 ini adalah mengincar korbannya. Pertama, yang diincar mereka adalah orang yang dalam usia labil. Makanya yang banyak diculik adalah dari kalangan sekolah menengah atas dan mahasiswa yang masih dalam proses pencarian jati diri.
Kedua, mereka mengincar orang yang tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup. Atau sekalipun pernah mengenyam pendidikan agama, tidak teguh dalam bersikap.
Makanya, dalam proses merekrut korban. Aktivis NII juga melihat terlebih dahulu kapasitas korban dalam pengetahuan agamanya. Jika korban diajak diskusi soal agama dan tidak kritis atau ngeyel, maka ini adalah calon potensial untuk menjadi target mereka.
Di awal pertemuan, biasanya aktivis NII ini tampil dengan penampilan yang perlente, jauh dari kesan agamis yang berjubah dan berjenggot tebal. Akan tetapi, mereka memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengagitasi korbannya dengan sejumlah dalil-dalil alquran untuk membenarkan argument mereka.
Setelah korban masuk dalam kategori potensial, barulah aktivis NII KW9 tersebut membawa mereka ke dalam lingkungan pertama mereka untuk mendapat doktrin lebih lanjut. Salah satu kawan saya mengaku pernah dibawa ke dalam suatu rumah dan di sana dia mendapatkan doktrin setiap saat dan diharuskan membaca buku-buku mereka. Dia tidak diperbolehkan pulang.
Dalam fase ini, ada juga yang berhasil kabur dan mengalami syok. Karena tidak kuat dengan doktrin dan keharusan membaca buku yang membenarkan argumentasi mereka itu.
Biasanya yang berhasil kabur itu, akan terus dikejar dengan dihubungi ataupun didatangi rumah atau tempat tinggalnya. Jika tidak berhasil dibawa kembali, biasanya aktivis NII ini akan berpindah tempat mencari tempat tinggal baru untuk menghilangkan jejak jika si korban membocorkan lokasi tempat mereka.
Menelusuri NII ini tidaklah mudah, karena mereka tergolong ketat dalam menyeleksi kadernya. Ada banyak fase, sehingga korban yang baru saja berhasil masuk ke dalam kelompok mereka tidak mudah dapat bertemu dengan pemimpin NII KW9 regional apalagi di tingkat pusat.
Melihat tipologi di atas sebenarnya yang menjadi pokok utama adalah mengenai penyesatan pembelajaran agama. Karenanya, saat ini sangat penting untuk mengenal latar belakang guru ngaji atau ustaz yang mengajar agama. Di mana dia menimba ilmu agama dan seperti apa tempat dia menimba ilmu.
Kemudian, yang penting juga adalah pendampingan keluarga. Karena, kebanyakan yang terjadi adalah keluarga kurang mendampingi korban dalam proses pembelajaran agama. Sehingga, ketika doktrin agama yang menyesatkan masuk sangat sulit untuk ditanggulangi.
Hal ini sebagaimana terjadi kepada pelaku pengeboman di Cirebon yaitu M Syarif. Orangtuanya, Abdul Ghofur mengaku anaknya berubah setelah mengikuti salah satu pengajian. Dalam sebuah kesempatan, M Syafir mengkafirkan ayahnya dalam berdiskusi soal agama.
Selain dua pencegahan di atas. Yang lebih penting adalah tindakan dari pemerintah melalui aparat keamanan. Aparat keamanan seharusnya lebih sikap dalam menyikapi pergerakan NII KW9 ini. Karena gerakan ini sudah terjadi di Indonesia sejak dua dasawarsa lalu dan korbannya juga cukup banyak.
Sudah sepatutnya NII KW9 ini menjadi target operasi intelijen Tanah Air. Karena kelompok ini dapat mengancam kedaulatan negara. Jangan menunggu penculikan lagi terjadi!
Langganan:
Postingan (Atom)