Pemilu 2009 memang masih dua tahun lagi, akan tetapi ada beberapa fakta yang tidak bisa dipungkiri yang akan mengamputasi kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menjalankan pemerintahannya. Disadari atau tidak, Presiden SBY sejak dilantik sudah menanam duri di dalam sekam alias menyiapkan perangkap bagi dirinya sendiri. Keputusan untuk mengakomodasi kekuatan partai-partai politik di dalam kabinetnya justru semakin merongrong pemerintahannya dalam menjalankan amanat pemilu 2004, yaitu pemerintahan yang berlangsung hingga lima tahun, yaitu 2009. Di era Presiden sebelumnya, sudah jelas bahwa mengakomodasi kekuatan politik di dalam kabinet justru menanam duri dalam sekam. Seperti yang dilakukan Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur yang mencoba mengakomodasi semua kekuatan partai, seperti PDI Perjuangan, Golkar, PAN hingga akhirnya dijatuhkan oleh Wakil Presidennya sendiri, Megawati. Pada pemerintahan Megawati juga terjadi hal serupa, ketika menjelang pemilu 2004, anak buahnya mulai menanggalkan topengnya satu persatu, seperti Menko Polkam SBY, Menko Kesra Jusuf Kalla dan beberapa menteri yang diam-diam mendukung langkah SBY, seperti Hatta Rajasa. Pada akhirnya, Presiden SBY mengambil langkah yang sama berbahayanya seperti yang dilakukan oleh Gus Dur dan Megawati, menaman duri di dalam sekam. Presiden SBY telah membiarkan Wapres Jusuf Kalla mengambil alih posisi ketua umum Partai Golkar, bukan membiarkan koleganya seperti Aburizal Bakrie, Surya Paloh atau bahkan Agung Laksono memimpin Golkar. Ditambah lagi Menkop dan UKM Suryadharma Ali juga dibiarkan mengambil alih ketua umum PPP. Dari fakta-fakta yang tampak jelas, Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) akan terbelah menjadi empat kelompok. Pertama, adalah menteri pendukung Presiden SBY yang berasal dari kalangan militer dan Partai Demokrat, yaitu Seskab Sudi Silalahi, Menko Polhukam Widodo AS, Mendagri Muhammad Ma’ruf, Kepala BIN Syamsir Siregar, Menteri Pariwisata Jero Wacik dan Menpan Taufik Effendi. Kelompok kedua, adalah vis calon lawan Presiden SBY pada Pilpres 2009, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Kepala Bappenas Paskah Suzetta, Menteri Perindustrian Fahmi Idris yang akan mendukung Wapres Jusuf Kalla menjadi Presiden di pilpres 2009. Begitu juga dengan Menteri-menteri dari PPP, seperti Menkop dan UKM Suryadharma Ali, Meneg BUMN Sugiharto (PPP), Mensos Bachtiar Chamsyah, Menteri Percepatan Daerah Tertinggal Saifullah Yusuf. Mereka pasti akan mendukung calon presiden atau wapres dari PPP. Kelompok ketiga, adalah kelompok oportunis yaitu Menhub Hatta Rajasa dan Mendiknas Bambang Sudibyo, keduanya pasti akan oportunis melihat partainya tidak sebesar seperti saat pemilu 1999. Begitu juga menteri dari PKS, Mentan Anton Apriantono dan Meneg Perumahan Rakyat Jusuf Asy’ari akan mendukung Hidayat Nurwahid (mungkin) menjadi Cawapres atau mencari alternatif calon lainnya.. Menteri yang bakal oportunis lainnya adalah Mensesneg Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Kehutanan MS Ka’ban dari Partai Bintang Bulan, Menakertrans Erman Suparno dari PKB. Kelompok keempat adalah Menteri ‘titipan’ AS atau yang disebut Kwik Kian Gie Mafia Barkeley, yakni Menkeu Sri Mulyani, Menteri Perdagangan Marie Pangestu, dan Menko Perekonomian Boediono. Kelompok terakhir, adalah kelompok menteri ‘tidak jelas’. Tidak jelas, karena mereka adalah kelompok profesional seperti Menlu Hasan Wirayudha, atau tidak jelas sikap seperti Menkes Siti Fadilah Supari dari ormas Muhammadiyah dan Menteri Agama Maftuh Basyuni dari Nahdlatul Ulama,. Kedua nama terakhir tidak dimasukan dalam kelompok PAN dan Muhammadiyah, karena memang keduanya tidak pernah terlibat aktif atau disertakan di dalam dua lembaga itu. Kapolri Jenderal Pol Sutanto juga masuk dalam kelompok ini, karena Sutanto bukanlah loyalis murni Presiden SBY, karena dalam beberapa kali sikapnya bertentangan dengan sikap Presiden SBY seperti RUU Kamnas. Berkali-kali Kapolri menolak institusi Polri dimasukkan ke dalam departemen atau berada di bawah menteri Mengatasi ini, pengamat politik Unair Saldi Isra dalam salah satu tulisannya mengusulkan dua hal agar tahun 2007 ini Presiden SBY membuat kontrak politik dengan jajaran di bawahnya untuk tetap menjalankan pemerintahan atau kalau tidak mengundurkan diri hingga selesainya pemerintahan, yakni Pilpres 2009. Pertanyaannya adalah apakah semua menteri akan tetap loyal hingga selesainya pemerintahan usai Pilpres 2009? terlebih kelompok lawan politik Presiden SBY dan oportunis. Berdasarkan kalkulasi politik, setahun sebelum pemilu semua kelompok pasti akan bergerak untuk ‘mengamankan’ kepentingan usai pemilu 2009. Hal itu bisa ditafsirkan berbagai hal seperti menganalisa, kasak-kusuk atau melobi, tawar-menawar calon presiden atau calon wakil presiden yang ‘menjual’ untuk Pilpres 2009, hingga yang paling lunak adalah mengumpulkan ‘modal perang’ untuk bertarung kelompoknya di Pilpres 2009. Mayoritas parpol di Indonesia memiliki antusias yang sangat tinggi untuk tetap merebut pemerintahan usai Presiden SBY, baik oposisi ataupun menteri-menteri KIB, kontrak politik mungkin hanya akan menjadi solusi di atas kertas yang tidak akan bisa menjamin apa-apa terhadap pembelotan anak buah Presiden SBY di kabinet, tidak bisa mencegah dan tidak bisa menjamin, apakah jika kontrak dilanggar para menteri akan digugat secara hukum ke pengadilan sebagai tindakan pidana, atau akan diajukan gugatan perdata oleh Presiden SBY terhadap pelanggaran kontrak. Menjelang pemilu, posisi menteri sudah tidak memiliki arti penting lagi. Seperti terjadi pada pemerintahan Presiden Megawati. Atau kasarnya, tidak dicopot pun para Menteri yang memiliki partai besar pasti akan keluar, karena sudah mengumpulkan ‘modal perang’ pada tahun-tahun sebelumnya. Tidak dicopot justru menguntungkan, karena bisa memanfaatkan uang dan posisi yang dimiliki untuk menantang presidennya. Pada masa Megawati, akibat mundurnya beberapa menteri seperti Menko Polkam SBY, Menko Kesra Jusuf kalla membuat Mendagri menjadi Pjs Menko Polkam dan Menko Kesra alias memiliki tiga jabatan Menteri. Pembelotan itu memang tidak bisa dicegah, karena itu adalah hal yang alami di dalam politik yang menjadikan kekuasaan sebagai panglima. Mengenai pelayanan publik yang akan terabaikan seperti yang diungkapkan Saldi Isra. Hal itu hanyalah konflik di tingkat elit saja, pelayanan pembuatan KTP, Kartu Keluarga, perizinan dan lain-lainnya tetap berjalan, karena tidak diurus hingga setingkat menteri. Akan tetapi, kinerja pemerintah akan berjalan di tempat, tidak memiliki kemajuan. Karena semuanya, dari presiden hingga menteri dan pejabat eselon di pemerintahan sibuk menjalankan ‘strategi dan logistik’ menuju Pilpres 2009. Melihat keadaan itu, semestinya dapat menjadi pelajaran penting bagi presiden hasil pilpres 2009 mendatang, apakah akan tetap melakukan akomodasi kekuatan partai politik agar selamat dari ‘terjangan-terjangan’ parlemen, akan tetapi tetap juga dikhianati di penghujung jabatannya? Kita lihat saja nanti. (uky) |